Aktivis Perempuan di Sumbar Desak RUU PKS Disahkan
Perempuan penyandang disabilitas termasuk kalangan paling rentan terhadap kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual dan pemerkosaan, terutama disabilitas netra dan disabilitas rungu.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Aktivis perempuan di Sumatera Barat yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan menuntut agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. Pengesahan RUU PKS itu mendesak karena tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk di Sumbar.
Tuntuan itu mereka sampaikan dalam aksi diam saat peringatan Hari Perempuan Internasional di pinggir jalan depan kantor DPRD Sumbar, Padang, Senin (8/3/2021). Dalam aksi tersebut, sekitar 50 orang aktivis perempuan menyampaikan keresahan mereka melalui tulisan di kertas karton, tanpa bersuara.
Setiap lampu merah menyala, sebagian aktivis perempuan tersebut berdiri di tengah jalan, di depan para pengendara yang berhenti. Mereka memperagakan tulisan di kertas karton masing-masing. Pesan yang disampaikan, antara lain, ”Kapan aku tidak disalahkan?”, ”Aku perempuan dihina karena pakaian”, dan ”Aku menolak, aku diancam hendak dibunuh”.
Direktur Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti mengatakan, aksi diam merupakan gambaran kekecewaan terhadap pemerintah yang tidak kunjung mengesahkan RUU PKS. Padahal, RUU ini sangat penting dalam upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan yang masih terus terjadi.
”Sebenarnya hati dan pikiran kami berteriak, tapi kami diam karena merasa sudah sangat kecewa. Pemerintah menganggap kekerasan seksual sangat sepele. Mereka lupa kekerasan seksual itu adalah persoalan sangat rumit. Ketika korban tidak pernah dipulihkan, ia tidak akan menemukan titik terang dalam kehidupan, seperti lingkaran setan,” kata Meri.
Pemerintah menganggap kekerasan seksual sangat sepele. (Rahmi Meri Yenti)
Menurut Meri, Jaringan Peduli Perempuan terdiri atas 20 organisasi. Perwakilan organisasi yang ikut aksi, antara lain, WCC Nurani Perempuan, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sumbar, Lembaga Bantuan Hukum Padang, Forum Komunitas Dampingan WCC Nurani Perempuan, Sekolah Gender, Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, mahasiswa, dan seniman.
Menurut Meri, selain mencegah kekerasan seksual, di dalam RUU PKS juga diatur tentang pemulihan bagi korban kekerasan. Aturan ini sangat penting karena jika korban tidak dipulihkan dampaknya sangat buruk bagi kehidupan mereka di masa mendatang.
Meri berharap tidak ada lagi masyarakat Sumbar yang menolak RUU PKS. Akhir 2020, beberapa kelompok masyarakat dan mahasiswa menolak RUU PKS dengan menuding bahwa RUU ini pro zina dan LGBT. Meri membantah tuduhan itu, justru RUU PKS bertujuan untuk membebaskan negara dari tindak kekerasan seksual.
”Kami juga mengharapkan Pemprov Sumbar dan DPRD Sumbar ikut mendorong DPR RI agar segera mengesahkan RUU PKS,” ujar Meri.
Paling rentan
Anggota HWDI Sumbar, Silvia, mengatakan, perempuan penyandang disabilitas termasuk kalangan paling rentan terhadap kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual dan pemerkosaan, terutama disabilitas netra dan disabilitas rungu. Penyandang disabilitas sulit melawan tindak kekerasan seksual karena keterbatasan fisik mereka, apalagi ketika di bawah ancaman.
Selain itu, kata Silvia, perempuan penyandang disabilitas juga kesulitan mengungkap kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Penyandang disabilitas netra, misalnya, sulit memberikan bukti. Sementara penyandang disabilitas rungu sulit mengomunikasikan kekerasan seksual yang dialaminya kepada orang lain.
”Segera sahkan RUU PKS. Aturan ini bisa melindungi perempuan dari kekerasan seksual, termasuk perempuan penyandang disabilitas,” kata Silvia, yang juga Ketua Ekonomi Kreatif HWDI Sumbar.
Meri menyebutkan, berdasarkan data WCC Nurani Perempuan, data kekerasan berbasis jender masih relatif tinggi meskipun ada penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus paling banyak berupa kekerasan seksual, seperti perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan berbasis jender online (KBGO), dan eksploitasi seksual.
Pada 2020 ada 94 kasus kasus kekerasan berbasis jender yang dilaporkan ke WCC Nurani Perempuan, yaitu 34 kasus perkosaan, 32 kekerasan dalam rumah tangga, dan 13 pelecehan seksual, 6 KBGO, 3 eksploitasi seksual, 2 perdagangan manusia, 2 penganiayaan, 1 sodomi, dan 1 jenis lainnya.
Menurut Meri, angka kasus itu memang berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2019, jumlah kasus kekerasan berbasis jender yang dilaporkan ke WCC Nurani Perempuan sebanyak 105 kasus. Adapun selama periode 2017-2020, jumlah kasus lebih dari 590 kasus.
”Penurunan data dipengaruhi pandemi Covid-19. Korban ketakutan mengakses lembaga layanan karena semasa pandemi intensitas korban di rumah bersama pelaku sangat tinggi. Jika melapor, mereka takut kembali mengalami tindakan kekerasan dari pelaku,” ujar Meri.
Meri mengatakan, KBGO juga mulai muncul akhir-akhir ini, diduga akibat kemajuan teknologi dan informasi. Korban umumnya merupakan kalangan mahasiswa. Bentuk KBGO itu, misalnya, perempuan diancam pacarnya bahwa foto/video ciuman mereka disebar ke publik bila tidak mau melakukan tindakan yang lebih vulgar, seperti panggilan video seks.
Perempuan yang tertekan dan takut, menurut Meri, kemudian terpaksa melakukan panggilan video seks. ”Ini menjadi bahan bagi pelaku untuk terus menguasai tubuh korban. Perempuan merasa tidak merdeka atas dirinya, terus mengikuti keinginan pelaku, sampai terjadi hubungan seksual sebenarnya,” ujar Meri.
Meri menyarankan, para perempuan memahami bagian-bagian dari tubuhnya yang tidak perlu diumbar ke orang lain. Kalaupun akhirnya itu terjadi dan diancam disebarkan ke publik, mereka harus segera mencari lembaga layanan untuk mengomunikasi dan mengonsultasikannya sehingga tidak terjebak lebih jauh.