Uji klinis fase I dilakukan pada Desember 2020 hingga akhir Januari 2021. Dari 27 subyek yang disuntik vaksin, sebanyak 20 orang mengeluhkan efek ringan sistemik. Sementara delapan orang mengeluhkan efek lokal.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Vaksin Nusantara, yang berbasis sel dendritik autolog atau komponen dari sel darah putih, saat ini masih menunggu izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan sebelum memulai uji klinis fase II. Tim peneliti memastikan penapisan sukarelawan vaksin dipastikan ketat, yakni hanya mereka yang benar-benar sehat dan memenuhi kriteria.
Vaksin Nusantara, yang sebelumnya bernama AV-COVID-19, ialah vaksin yang diteliti bersama oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, RSUP Dr Kariadi Semarang, Universitas Diponegoro (Undip), dan AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat. Uji klinis fase I sudah tuntas dan saat ini masih menunggu izin dari BPOM untuk lanjut ke fase II.
Uji klinis fase I dilakukan pada Desember 2020 hingga akhir Januari 2021. Dari 27 subyek yang disuntik vaksin, sebanyak 20 orang mengeluhkan efek ringan sistemik, seperti nyeri otot, pusing, dan demam. Adapun delapan orang mengeluhkan efek ringan lokal, seperti kemerahan dan pegal-pegal. Namun, menurut tim peneliti, hal itu ialah efek umum vaksinasi dan dapat sembuh sendiri, tanpa membutuhkan pengobatan.
Anggota tim peneliti Vaksin Nusantara, Yetty Movieta Nency, di RSUP Dr Kariadi Semarang, Jawa Tengah, Kamis (18/2/2021), mengatakan, pada uji klinis fase II, akan ada 180 subyek yang akan disuntik vaksin. Fase itu, antara lain, untuk memastikan keamanan serta pengaturan dosis. Apabila fase itu selesai, akan ke fase III, sebnyak 1.600 subyek, untuk melihat keamanan, efikasi, serta bagaimana efikasi tersebut dalam populasi besar.
”Screening sangat ketat. Harus benar-benar sehat. Mereka dengan penyakit penyerta kami singkirkan dulu. Itu dilakukan untuk menghindari bias. Kami ingin tahu persis apa efek samping yang terjadi dari vaksin dan bukan bawaan dari subyek. Untuk rentang usia, sama seperti uji klinis vaksin lain, yakni 18-59 tahun,” kata Yetty.
Adapun vaksin berbasis sel dendritik berbeda dengan vaksin lainnya. Subyek atau penerima vaksin diambil darah terlebih dulu, kemudian diambil sel darah putih, lalu diambil sel dendritiknya. Di laboratorium, sel itu lalu dikenalkan dengan rekombinan dari SARS-CoV-2. Lalu diinkubasi, sebelum nantinya disuntikkan kembali kepada subyek. Ada rentang seminggu dari awal darah diambil hingga disuntikkan kembali pada subyek.
Yetty menuturkan, kendati tujuannya sama, yakni membentuk kekebalan dalam tubuh, vaksin berbasis sel dendritik memiliki sejumlah kelebihan. Di antaranya, sumber vaksin berasal dari subyek sendiri sehingga lebih aman. Harganya diperkirakan sekitar 10 dollar AS atau Rp 140.000 (kurs Rp 14.000 per dollar AS), setara dengan sejumlah vaksin lain yang sudah beredar.
Adapun Vaksin Nusantara diprakarsai mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Sebelumnya, Terawan menuturkan, vaksin itu dikembangkan agar bisa disuntikkan pada orang dengan komorbid atau penyakit penyerta sehingga konsep generalisasi mesti diubah menjadi personal atau vaksinasi individu. (Kompas.id, 17/2)
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo siap mendukung penuh pengembangan Vaksin Nusantara. Ia juga mendukung percepatan proses penelitian vaksin tersebut, serta akan memfasilitasi apabila dibutuhkan rumah sakit lain di wilayah Jateng.
”Kalau nanti umpama butuh tempat lain untuk penelitian, umpama butuh rumah sakit lain sebagai tempat riset, saya siap mendukung penuh. Tujuh rumah sakit daerah milik Pemprov akan saya berikan semuanya untuk itu. Apalagi ini dari Jawa Tengah, menurut saya ini sangat penting untuk dikawal,” kata Ganjar, Kamis.
Rumit
Ahli biologi molekuler, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, menuturkan, vaksin berbasis sel dendritik aman karena yang dipakai ialah sel dari penerima vaksin itu sendiri. Namun, perlu dipastikan bahwa pihak laboratorium tidak salah memasukkan sel. Artinya, sel dendritik dari subyek A, yang telah diberi senyawa nantinya harus disuntikkan lagi ke subyek A, bukan ke B atau C.
Namun, yang menjadi masalah bukan persoalan aman atau tidak, tetapi prosesnya yang rumit, mulai dari mengambil darah, memisahkan sel, menumbuhkan sel dendritik di laboratorium, memperbanyak jumlah, hingga menyuntikannya lagi ke individu. ”Kerumitan yang ada dan waktu yang lama itu menghambat program vaksinasi,” kata Ahmad lewat pesan singkat.
Di tengah situasi pandemi Covid-19, dengan jumlah penderita yang terus meningkat di Indonesia, dibutuhkan vaksinasi yang efisien. Pengembangan vaksin dengan metode rumit pun dinilai Ahmad membuang-buang waktu.
Kerumitan yang ada dan waktu yang lama itu menghambat program vaksinasi.
Saat ini, sejumlah institusi berlomba-lomba berinovasi dalam penanganan pandemi Covid-19. Ahmad menyarankan agar tetap melibatkan dan mengonsultasikan penelitian kepada ilmuwan lintas bidang.
”(Itu perlu) agar teman-teman yang berinovasi itu mendapat gambaran utuh. Alhamdulillahirobbil alamin, semakin banyak ilmuwan yang tergabung dalam grup WA (Whatsapp) sehingga bisa saling mengkritik. Yang masalah adalah ketika ilmuwan mulai berpikir eksklusif,” kata Ahmad.