Berbasis Sel Dendritik, Vaksin Nusantara Diklaim Lebih Aman
Vaksin Nusantara, yang sebelumnya bernama AV-COVID-19, ialah vaksin yang diteliti dan dikembangkan bersama oleh Kementerian Kesehatan, RSUP Dr Kariadi Semarang, Undip, dan AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Vaksin Nusantara, yang berbasis sel dendritik autolog atau komponen dari sel darah putih, saat ini tengah dikembangkan dan telah selesai uji klinis fase I. Vaksin itu diyakini aman karena bersifat personal sehingga dapat dijadikan vaksin alternatif bagi orang-orang dengan penyakit penyerta.
Vaksin Nusantara, yang sebelumnya bernama AV-COVID-19, ialah vaksin yang diteliti bersama oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, RSUP Dr Kariadi Semarang, Universitas Diponegoro (Undip), dan AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat. Uji klinis fase I sudah tuntas dan kini tengah proses menjelang fase II.
Anggota tim peneliti Vaksin Nusantara, Yetty Movieta Nency, di RSUP Dr Kariadi Semarang, Rabu (17/2/2021), mengatakan, prosedur vaksin berbasis sel dendritik berbeda dengan vaksin Covid-19 yang kini sudah beredar. Subyek atau penerima vaksin diambil darah terlebih dulu, kemudian diambil sel darah putih, lalu diambil sel dendritiknya.
”Di laboratorium, kami kenalkan sel itu dengan rekombinan dari SARS-CoV-2. Dengan demikian, sel tersebut jadi bisa mengenali dan mengantisipasi SARS-CoV-2. Setelah itu disuntikkan kembali ke subyek vaksin. Jadi, ada rentang seminggu dari awal diambil hingga disuntikkan kembali karena vaksin harus diinkubasi dulu,” kata Yetty.
Ia menjelaskan, kelebihan Vaksin Nusantara, antara lain, 90 persen buatan Indonesia. Hanya antigen atau rekombinan SARS-CoV-2 yang disediakan oleh AIVITA. Selain itu, harga vaksin nantinya diperkirakan sekitar 19 dollar AS atau Rp 266.000 (kurs Rp 14.000 per dollar AS), setara dengan sejumlah vaksin lain yang sudah beredar.
Vaksin Nusantara juga diklaim lebih aman karena berasal dari subyek vaksin sendiri. ”Jadi, akan memicu tubuh sendiri untuk menimbulkan kekebalan. Dengan demikian, bisa menjadi alternatif dari vaksin, antara lain, bagi orang dengan penyakit berat yang saat ini tak masuk kriteria vaksinasi,” lanjut Yetty.
Yetty mengemukakan, uji klinis fase I telah dilakukan pada Desember 2020 hingga akhir Januari 2021. Dari 27 subyek yang disuntikkan vaksin, sebanyak 20 orang mengeluhkan efek ringan sistemik, seperti nyeri otot, pusing, dan demam. Adapun sebanyak delapan orang mengeluhkan efek lokal, seperti kemerahan dan pegal-pegal. Namun, hal itu ialah efek umum vaksinasi dan tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut.
”Sementara, terkait efektivitas, saat evaluasi minggu keempat, pembentukan antibodi cukup baik. Apabila melihat hasil seperti itu, kami optimistis penelitian ini akan berlanjut ke fase II, III, dan bisa diedarkan,” ucap Yetty.
Menurut dia, penelitian saat ini tengah berproses menuju fase II, menunggu persetujuan uji klinis dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kendati diupayakan percepatan karena tengah pandemi Covid-19, keamanan tetap menjadi yang utama.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Wakil Rektor III Undip Dwi Cahyo Utomo mengatakan, vaksin itu tengah dikembangkan karena membutuhkan proses yang cermat. Komitmen Undip terkait penanganan pandemi Covid-19 tak hanya itu, tetapi juga ada teknologi plasma zeta green yang sedang fokus pengujian untuk menangkap virus di udara. Selain itu, layanan robot untuk pencegahan kontak fisik yang terus dikembangkan.
”Namun, dalam riset harus terpenuhi pengujian-pengujian ilmiah yang ketat sebelum secara masif dapat digunakan publik, termasuk terkait kelayakan diedarkan. Mohon doa agar karya Undip untuk bangsa dapat bermanfaat,” ujar Dwi.
Sebelumnya, pemrakarsa Vaksin Nusantara yang juga mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, mengatakan, vaksin tersebut memang dibuat agar bisa disuntikkan pada orang dengan komorbid atau penyakit penyerta, termasuk autoimun. Oleh karena itu, konsep generalisasi mesti diubah menjadi personal atau vaksinasi individu.
Ia berharap akan ada percepatan dalam pengembangannya agar segera digunakan untuk mengatasi pandemi Covid-19. ”Kami akan masuk ke uji klinis II. Karena ini pandemi, harus ada (langkah) extraordinary (luar biasa) sehingga bisa berjalan baik. Vaksin ini juga produk Indonesia," kata Terawan saat mengunjungi RSUP Dr Kariadi Semarang, Selasa, seperti disiarkan Kompas TV.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades menuturkan, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, pihaknya mendorong percepatan pengembangan Vaksin Nusantara. Di sisi lain, ia memastikan Komisi IX akan terus mengawal pengembangan vaksin tersebut.
Ia juga meminta BPOM tak hanya menunggu laporan dari setiap tahapan uji klinis. ”Namun, (BPOM) juga terlibat dan memastikan pembuatan Vaksin Nusantara dapat memenuhi standar dan ketentuan yang berlaku guna menjaga keamanan dan reputasi dari vaksin,” kata Melki seperti dikutip dari situs DPR.go.id.