Kepolisian Resor Kota Padang, Sumatera Barat, mengungkap kasus praktik aborsi di kota tersebut. Enam tersangka ditangkap dalam kasus ini.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kepolisian Resor Kota Padang, Sumatera Barat, mengungkap kasus praktik aborsi ilegal di kota tersebut. Enam tersangka ditangkap, baik penjual obat keras untuk aborsi sekaligus yang membantu proses aborsi ilegal maupun pasangan pemuda yang melakukan aborsi.
Praktik aborsi ini terungkap dari penangkapan suami-istri pemilik Apotek Indah Farma di sentra apotek kawasan Tarandam, Kelurahan Ganting Parak Gadang, Padang Timur, Kamis (11/2/2021) pukul 03.00. Mereka terbukti menyimpan dan menjual obat keras untuk aborsi kepada petugas yang menyamar.
Kepala Polresta Padang Komisaris Besar Imran Amir di Padang, Senin (15/2/2021), mengatakan, dari penangkapan tersangka pemilik apotek I (50) dan S (50) itu, polisi kemudian mengembangkan kasus. Pada Jumat (12/2/2021), polisi menangkap dua pasangan pelaku aborsi pelanggan I dan S, yaitu oknum mahasiswa AHS (20) dan ND (20) serta pekerja lepas FH (20) dan AH (25).
”Berdasarkan jejak digital di ponsel dan transaksi yang telah dilakukan (oleh I dan S), dari Januari sampai sekarang, hampir 60 pasangan berhubungan dengan pemilik Apotek Indah Farma untuk melakukan aborsi,” kata Imran.
Menurut Imran, I dan S sudah menjual obat untuk aborsi, memandu aborsi, dan melakukan aborsi secara langsung terhadap pelanggannya sejak 2018. Sebagian besar orang yang mereka bantu untuk aborsi adalah pasangan hamil di luar pernikahan.
Imran menjelaskan, Apotek Indah Farma beroperasi 24 jam. Penjualan obat keras yang disalahgunakan untuk aborsi ini berlangsung pada pukul 01.00-04.00. Modus mereka menghindari razia adalah menaruh obat itu di mobil pada pagi hingga pukul 22.00, setelah itu baru membawanya ke apotek.
”Obat ini semestinya dijual melalui resep dokter dan harus melalui pertanggungjawaban kedokteran. Prosedur ini tidak dijalankan, mereka menjual obat ini secara bebas. Sudah hampir ratusan ribu butir yang mereka jual,” ujar Imran.
Selain menjual obat untuk aborsi, tersangka I juga memandu pasangan yang memakai obat tersebut untuk melakukan aborsi. Suami tersangka S itu memberikan petunjuk melakukan aborsi melalui pesan Whatsapp. Tersangka I juga bersedia membantu aborsi secara langsung dengan sistem kuret apabila pasangan tersebut tidak bisa melakukannya sendiri.
Tarif yang mereka pasang, ungkap Imran, antara lain Rp 300.000 untuk paket obat dengan usia kandungan dua pekan. Sementara itu, untuk aborsi sistem kuret, tarifnya Rp 2 juta hingga Rp 5 juta, tergantung tingkat usia kandungan. ”Semakin tinggi usia kandungan, semakin mahal karena risikonya semakin besar,” ujarnya.
Berdasarkan jejak digital di ponsel dan transaksi yang telah dilakukan (oleh I dan S), dari Januari sampai sekarang, hampir 60 pasangan berhubungan dengan pemilik Apotek Indah Farma untuk melakukan aborsi. (Imran Amir)
Polisi masih menyelidiki keterlibatan oknum tenaga kesehatan yang membantu atau mengajarkan I dalam melakukan aborsi. Selain itu, Polresta Padang bekerja sama dengan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Padang untuk mendalami dan menindak praktik serupa di apotek lain di kawasan Tarandam.
Atas perbuatan mereka, keenam tersangka dikenai Pasal 194 juncto Pasal 196 juncto Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 55 juncto Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
Selain itu, para tersangka juga dikenai Pasal 77 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara.
Tersangka S mengatakan, dalam kasus ini, ia berperan sebagai pengelola apotek, sementara peracik obat adalah suaminya, I. S dan I awalnya menjual obat untuk aborsi dan membantu proses aborsi karena ada pasangan suami-istri yang meminta bantuan. ”Alasan aborsi karena anak mereka masih kecil dan jarak kelahirannya rapat. Suami saya berusaha mencarikan obatnya, akhirnya dapat,” kata S.
Sejak saat itu, S dan I terus menjual obat untuk aborsi dan membantu proses aborsi kepada pasangan-pasangan lainnya. S mengatakan, suaminya memahami karakter obat-obatan yang dipelajari secara turun-temurun dari keluarga.
Menurut S, ia dan suami nekat menjual obat aborsi dan membantu proses aborsi karena banyak pasangan yang meminta bantuan. Selain itu, mereka juga berani menjual obat untuk aborsi ini karena apotek lain di kawasan itu juga melakukannya.
”Hampir semua apotek di kawasan Tarandam menjual obat itu. Itu salah satu alasan saya berani menjualnya karena di setiap apotek (obat) itu ada. Kalau saya sendiri yang menjualnya, mana berani. Kedua, ada permintaan. Sama suami saya, banyak (pelanggan) yang suka karena ada petunjuk untuk lebih cepat mengeluarkan (janin),” tutur S.
Kepala Balai Besar POM Padang Firdaus Umar mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Polresta Padang tentang kasus ini. Senin ini, balai bertemu dengan polisi untuk melihat secara langsung obat yang dijual oleh I dan S, apakah ada izin edarnya atau tidak.
Menurut Firdaus, dari informasi awal, apotek ini punya izin dan mendapat pasokan obat secara legal dari pedagang besar farmasi. ”Kami berasumsi obatnya legal, ada izin edarnya. Yang jadi masalah, mereka menjual tidak sesuai peruntukan. Obat ini bukan untuk aborsi karena obat aborsi dilarang. Namun, mereka memanfaatkan efek samping obat itu untuk melakukan tindak pidana,” ujarnya.
Firdaus melanjutkan, ia sudah memerintahkan stafnya untuk memeriksa Apotek Indah Farma. Jika ditemukan indikasi pelanggaran, Balai Besar POM Padang bisa memberikan sanksi administrasi, mulai dari sanksi peringatan, penutupan apotek, hingga pencabutan izin apotek, tergantung tingkat pelanggarannya.
Berdasarkan pantauan Kompas, Senin siang, Apotek Indah Farma di kawasan Tarandam tidak disegel dan masih buka. Petugas apotek melayani pelanggan yang berkunjung seperti biasa.
Terkait dugaan apotek lain melakukan praktik serupa, Firdaus mengatakan, balai akan melakukan operasi penertiban untuk semua apotek. Namun, sering kali petugas tidak menemukan produk tersebut di lapangan. ”Ke depan kami berupaya agar operasinya lebih tersistem dan pemeriksaan menyeluruh sehingga penemuannya lebih signifikan,” ujarnya.