Berbekal Pengalaman di Jakarta Utara, ER Buka Klinik Aborsi Ilegal di Bekasi
Pelaku aborsi ilegal tidak punya latar belakang keahlian sebagai tenaga medis, apalagi dokter. Ia hanya pengalaman kerja di klinik serupa sebelumnya. Pelaku dan pasien sama-sama terancam hukuman berat.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Polda Metro Jaya mengungkap praktik aborsi ilegal di sebuah rumah pribadi di Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat. Selain meringkus pelaku usaha aborsi, polisi juga menangkap RS, seorang ibu yang baru saja menggugurkan janinnya. RS mengaku memilih aborsi karena keluarganya kesulitan ekonomi.
Ini menunjukkan pangsa pasar bisnis aborsi ilegal bukan hanya perempuan yang hamil karena hubungan seks di luar nikah. ”Menurut pengakuannya, suami sakit dan ada keterbatasan ekonomi sehingga dia harus menggugurkan takut nanti menanggung (biaya besar) pada saat melahirkan,” ucap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, Rabu (10/2/2021), di Jakarta.
Kepala Unit V Subdirektorat III/Sumber Daya Lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Egidio Fernando menambahkan, RS menggugurkan calon anak keduanya. Berdasarkan hasil pendalaman, RS mengaku mencari tempat aborsi atas inisiatif pribadi tanpa campur tangan suami. Ia kemudian datang ke tempat praktik yang dijalankan ER bersama suaminya, ST.
ER tidak memiliki kompetensi sebagai tenaga kesehatan, apalagi dokter. Kerjanya cuma berdasarkan pengalaman pernah bekerja di klinik aborsi. (Yusri Yunus)
Egidio memimpin tim menggerebek rumah ER dan ST pada Senin (1/2/2021) sekitar pukul 14.00 setelah sebelumnya menerima informasi adanya praktik aborsi ilegal di rumah pribadi di Kelurahan Padurenan, Kecamatan Mustika Jaya. Di sana, polisi menemukan barang bukti berupa satu kantong plastik janin RS yang usianya 8-10 minggu dan baru saja digugurkan.
Yusri mengatakan, ER berperan menjalankan pengguguran kandungan, sedangkan ST membantunya dalam hal pemasaran di media sosial, berhubungan dengan calo yang mencari pasien, dan menerima uang jasa aborsi. ER dan ST mengaku baru empat hari membuka praktik di rumah tersebut. RS merupakan pasien kelima mereka di sana.
Meski demikian, menurut Yusri, ER pada September 2020 sudah membuka praktik selama sebulan di lokasi lain di Bekasi. Dari 15 orang yang datang untuk meminta menggugurkan kandungan di sana, ia ”mengoperasi” 12 ibu janin.
”ER tidak memiliki kompetensi sebagai tenaga kesehatan, apalagi dokter. Kerjanya cuma berdasarkan pengalaman pernah bekerja di klinik aborsi,” ujar Yusri.
Tersangka ER memang pada awal dekade 2000-an selama lebih kurang empat tahun menjadi karyawan sebuah klinik aborsi ilegal di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tugasnya melakukan pembersihan. Peralatan yang digunakan pun meniru dari klinik aborsi tempat kerja ER dulu.
Namun, ER hanya berani menangani pengguguran kandungan berusia maksimal delapan minggu atau dua bulan. Sebab, alat-alatnya tidak memadai untuk usia kandungan lebih tua dan pembuangan limbah hasil aborsi lebih mudah mengingat janin baru berupa gumpalan darah. ER biasa membuang limbah ke salah satu kali di Bekasi.
Para pelaku memasarkan jasa mereka melalui salah satu alamat laman di internet dengan nama klinik kuret kandungan legal di Jakarta. Calon pasien yang mengakses informasi lewat laman itu bakal terhubung ke salah satu nomor Whatsapp untuk berkomunikasi dengan pelaku.
Jika sudah bersepakat, calon pasien diminta datang ke salah satu gerai ayam cepat saji di Mustika Jaya lalu dijemput ke rumah ER dan ST. Keduanya mematok harga Rp 5 juta per tindakan, tetapi Rp 3 juta diberikan kepada para calo yang membantu mereka mencarikan pasien. Saat penggeledahan, polisi mendapatkan uang total Rp 39,4 juta.
ER, ST, dan RS dijerat dengan Pasal 194 juncto Pasal 75 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan atau Pasal 77A juncto Pasal 45A UU No 35/2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 53 Ayat 1 dan Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ancaman hukuman bagi mereka penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.