Nelayan Natuna Minta Bukti Alat Tangkap Ramah Lingkungan
Nelayan tradisional di Natuna meminta bukti kesiapan nelayan cantrang berganti alat tangkap yang ramah lingkungan. Dikhawatikan, nelayan pantura hanya mengganti nama cantrang dengan istilah lain.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan tradisional di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, meminta bukti kesiapan nelayan pantai utara Jawa Tengah mengganti cantrang menjadi alat tangkap ramah lingkungan. Mereka khawatir nelayan pantura sekadar mengganti nama cantrang dengan istilah lain. Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta segera menyuguhkan hasil penelitian matang.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Senin (15/2/2021), mengatakan, hampir mustahil mengubah cantrang menjadi alat tangkap ramah lingkungan dalam hitungan bulan. Pasalnya, desain kapal nelayan dibuat berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan sehingga penggantian alat mengharuskan nelayan merombak total desain kapal. Hal itu butuh waktu lama dan biaya besar.
Pada 11 Februari lalu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Tegal Riswanto bertemu dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono di Jakarta. Dalam pertemuan itu, perwakilan nelayan Tegal menyatakan kesiapan mereka menggunakan alat penangkap ikan ramah lingkungan. Menurut rencana, komitmen tersebut akan dideklarasikan secara terbuka di Kota Tegal pada hari ini.
"Menurut kami, ini hanya permainan yang dilakukan untuk memanipulasi informasi kepada para nelayan anticantrang. Komitmen mengganti cantrang dengan alat tangkap ramah lingkungan itu perlu dibuktikan melalui publikasi yang terbuka berdasarkan hasil penelitian matang," kata Hendri saat dihubungi lewat telepon dari Batam.
Ketegangan soal alat tangkap cantrang berawal dari munculnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas. Dalam Pasal 23 Ayat 4 disebutkan, kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton (GT) diizinkan beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) di WPP 711, Laut Natuna Utara.
Nelayan Natuna dan Kepri pada umumnya menolak izin operasi cantrang di Laut Natuna Utara. Mereka berpendapat, penggunaan cantrang akan memicu penangkapan ikan berlebih. Alat tangkap itu dinilai eksploitatif karena mengeruk segala jenis ikan sampai ke dasar, dan mengakibatkan kerusakan karang yang menjadi habitat ikan dengan nilai ekonomi tinggi.
Nelayan Natuna dan Kepri pada umumnya menolak izin operasi cantrang di Laut Natuna Utara. Mereka berpendapat, penggunaan cantrang akan memicu penangkapan ikan berlebih.
Dalam Seminar Daring Sosialisasi dan Diskusi Publik Permen KP 59/2021, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini mengatakan, berbagai jenis konflik bisa dihindari karena penerapan cantrang akan diatur batas jalurnya. Pemerintah juga menjamin tak akan ada penambahan kapal cantrang baru. Alat tangkap pun harus sesuai dengan standar nasional (SNI) yang tidak merusak lingkungan.
Menanggapi hal itu, Hendri mengatakan, nelayan lokal akan turun mengecek sendiri apabila nanti ada kapal dari pantai utara Jawa beroperasi di Laut Natuna Utara. Menurut dia, dari hasil tangkapan kapal itu akan terlihat jenis alat tangkap yang digunakan. Bila ikan kecil dan karang ikut terangkat, berarti alat yang digunakan adalah cantrang yang tidak ramah lingkungan.
Menurut Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Parid Ridwanuddin, sikap pemerintah yang ngotot melegalisasi penggunaan cantrang lewat Permen KP No 59/2020 itu menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada nelayan besar skala industri. Padahal, nelayan tradisional, yang jumlahnya sekitar 90 persen dari total 2,2 juta nelayan Indonesia, seharusnya lebih diprioritaskan.
Parid juga menyoroti poin dalam Permen KP No 59/2020 yang membatasi daerah operasi nelayan tradisional di Jalur Penangkapan Ikan I. Pada zona perairan 0-4 mil itu, nelayan kecil akan kesulitan menangkap ikan karena harus bertarung dengan proyek reklamasi, industri tambang, dan pembuangan limbah.
”Menempatkan nelayan kecil di zona 0-4 mil itu bukan melindungi nelayan tradisional, melainkan itu justru semakin membuat mereka rentan. Menurut saya, (kebijakan) itu adalah suatu kemunduran,” ucapnya.