Enam perwakilan nelayan dari Kepulauan Riau pergi ke Jakarta untuk menemui Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono. Sebuah tujuan yang sangat sederhana sebetulnya, tetapi penuh dengan lika-liku dalam prosesnya.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Hendri (49) tak menghiraukan ganasnya ombak musim angin utara yang mengocok feri Oceanna sepanjang 45 menit perjalanan dari Tanjung Pinang ke Batam, Kepulauan Riau, Jumat (22/1/2021). Wajahnya berkerut geram dan dua jempolnya tak henti memuntahkan kalimat-kalimat protes di kolom chat aplikasi Zoom.
Sore itu, ia tengah dalam perjalanan ke Bandara Hang Nadim, Batam, untuk mengejar penerbangan pulang ke Natuna. Satu hari sebelumnya, ia dan perwakilan nelayan dari seluruh daerah di Kepri bertemu pejabat provinsi di Tanjung Pinang terkait operasional kapal cantrang dari pantai utara Jawa yang mengganggu dan memicu konflik sosial.
”Kami hanya ditemui Asisten I dan Kepala Dinas Perikanan Kepri. Gubernur Isdianto sedang di Jakarta mengurus sengketa pilkada,” kata Ketua Aliansi Nelayan Natuna itu.
Legalisasi cantrang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas yang terbit 18 November 2020.
Kepada pejabat provinsi yang berkantor di Tanjung Pinang, Hendri menyampaikan, izin penggunaan cantrang di Laut Natuna Utara akan memicu penangkapan ikan berlebih. Nelayan Kepri tidak ingin perairan Kepri berakhir sama dengan Laut Jawa yang sumber daya perikanannya kini sudah terkuras habis.
Nelayan Kepri tidak ingin perairan Kepri berakhir sama dengan Laut Jawa yang sumber daya perikanannya kini sudah terkuras habis.
Baru satu minggu Permen KP No 59/2020 terbit, konflik antarnelayan pecah di Natuna. Nelayan Pulau Serasan menangkap kapal cantrang asal Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kapal dari pantura Jawa itu menangkap ikan di perairan yang jaraknya hanya 8 mil (sekitar 15 kilometer) dari garis pantai Pulau Kepala.
”Cantrang itu menangkap ikan dari yang sudah besar sampai yang masih anakan. Alat itu mengeruk sampai ke dasar sehingga juga merusak karang yang menjadi rumah ikan,” ujar Hendri.
Kembali ke dalam feri, belum hilang rasa jengkel karena gagal bertemu gubernur, Hendri mengalami peristiwa lain yang tak kalah menyebalkan. Tak seorang pun nelayan Kepri diberi kesempatan bicara dalam seminar daring Sosialisasi dan Diskusi Publik Permen KP No 59/2020 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
Menjelang akhir diskusi, salah satu narasumber, Fadilla Octaviani dari Indonesia Ocean Justice Intiative, sempat meminta agar perwakilan nelayan Kepri diperkenankan menyampaikan pendapatnya mengenai Permen KP No 59/2020. Namun, usul itu diabaikan.
”Selalu begitu, kami tidak pernah dikasih kesempatan bicara. Maka, kami sepakat sekalian saja ke Jakarta untuk mendatangi Pak Menteri,” ucap Hendri.
Mengemis perhatian
Demi suara mereka sampai telinga pemerintah pusat, para perwakilan nelayan Kepri, Hendri dan kawan-kawan, harus menghabiskan belasan juta rupiah. Sepanjang Januari 2021, perjalanan panjang melalui darat, laut, dan udara rela mereka lakoni dari rumah mereka di pulau-pulau jauh untuk menemui para pejabat di Tanjung Pinang dan Jakarta.
Kamis (28/1/2021), enam perwakilan nelayan Kepri datang ke Jakarta didampingi wakil dinas dan anggota DPRD Kabupaten Anambas dan DPRD Kabupaten Natuna. Namun, sampai sore mereka menunggu, Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono tidak muncul juga. Dan, akhirnya mereka hanya ditemui Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini.
Belum tercapai tujuan untuk menemui Menteri KP, empat pejabat daerah yang mendampingi para nelayan Kepri malah sudah pulang duluan. ”Aduh, mereka itu tidak serius berjuang. Masak langsung pulang begitu saja setelah mendapat cap perjalanan dinas,” ucap Hendri.
Meski demikian, enam perwakilan nelayan Kepri tetap bertahan di Jakarta. Tengah malam, mereka mendapat jawaban dari Menteri KP yang mengatakan tidak seorang pun protokoler KKP memberi tahu ada rombongan dari Kepri yang ingin bertemu dengannya.
Sepotong pesan Whatsapp itu sudah cukup memulihkan semangat mereka bertemu Sang Menteri. Jumat (29/1/2021), mereka kembali menunggu Menteri Wahyu dari pagi hingga sore di Gedung Mina Bahari IV. Akhirnya, pukul 16.30 mereka melihat menteri yang ditunggu-tunggu lewat di pintu utama gedung itu.
”Kami berteriak memanggil beliau dan memberi tahu bahwa kami nelayan dari Kepri. Untunglah, Pak Menteri menoleh lalu meminta protokoler menjadwalkan pertemuan dengan kami hari itu juga,” ujar Hendri.
Janji sang menteri
Dalam pertemuan dengan nelayan Kepri itu, Menteri Wahyu menjawab keresahan nelayan tradisional terkait penggunaan alat tangkap cantrang. Ia menegaskan, KKP masih melakukan kajian mendalam dan evaluasi terhadap beberapa poin Permen KP No 59/2020.
”Saya cinta keberlanjutan dan saya akan menjaga benar ekosistem laut Indonesia supaya tidak rusak. Saya memiliki waktu 3 tahun 10 bulan untuk membangun roadmap (di sektor) kelautan dan perikanan agar anak cucu Saudara bisa menikmati hasil ekosistem yang terjaga,” kata Wahyu kepada para perwakilan nelayan Kepri.
Wahyu memastikan kebijakan selanjutnya yang dikeluarkan KKP akan melalui kajian matang dan proses komunikasi yang melibatkan semua pihak. Dalam waktu dekat, ia juga berjanji akan turun untuk mendengar keluhan dan harapan para nelayan secara langsung.
Sementara itu, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Parid Ridwanuddin mengatakan, Permen KP No 59/2020 harus dibatalkan karena cacat hukum. Peraturan itu ditetapkan Edhy Prabowo tujuh hari sebelum ditetapkan menjadi tersangka suap perizinan budidaya lobster oleh KPK.
”Nelayan tradisional itu jumlahnya 90 persen dari sekitar 3 juta nelayan Indonesia. Seharusnya kebutuhan mereka yang diprioritaskan dalam regulasi, tetapi Permen KP No 59/2020 ini justru terlihat hanya mewadahi kebutuhan pengusaha besar,” ujar Parid.
Ia juga menyoroti poin dalam Permen KP No 59/2020 yang membatasi daerah operasi nelayan tradisional di Jalur Penangkapan Ikan I. Di zona perairan 0-4 mil itu, nelayan kecil akan kesulitan menangkap ikan karena harus bertarung dengan proyek reklamasi, industri tambang, dan pembuangan limbah.
”Menempatkan nelayan kecil di zona 0-4 mil itu bukan melindungi nelayan tradisional, tetapi itu justru semakin membuat mereka rentan. Menurut saya, (kebijakan) itu adalah suatu kemunduran,” ucap Parid.