Kupat Tahu, Pengaruh Tionghoa yang Melegenda di Magelang
Kupat tahu menjadi hidangan khas yang menjadi ikon Magelang. Kendati asal-usul rumusan resep atau racikannya tidak diketahui, diduga kuat hidangan ini juga dipengaruhi budaya Tionghoa.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·7 menit baca
Tidak pernah ada yang tahu perihal sejarah tentang bagaimana meramu, merumuskan resep bagaimana paduan tahu, ketupat, kacang, kecap, dan aneka sayur menjadi hidangan yang membangkitkan selera. Namun, mengabaikan semua jejak historis tersebut, kuliner kupat tahu di Magelang, Jawa Tengah, telah ada sejak puluhan tahun silam dan terus bertahan hingga sekarang.
Di wilayah Kota dan Kabupaten Magelang, terdapat puluhan—dan mungkin ratusan—penjaja kupat tahu, baik yang mendirikan warung di ruang permanen maupun yang berdagang secara berkeliling di kampung-kampung. Rata-rata mereka tampil dengan menambahkan nama pemilik warung sebagai ”merek dagang” dari sajian kupat tahu masing-masing. Kelanggengan usaha kupat tahu ini terjadi karena rata-rata perintis awal usaha kemudian mewariskan usaha ini secara turun-temurun ke generasi penerusnya.
Sri Kuntariati (61) adalah salah satu penerus usaha kupat tahu dengan label ”Tahu Pojok Magelang” dari ayahnya, almarhum Ahmad Setu Danuri. Sebenarnya tidak ada yang bisa membuktikan siapa perintis yang memulai usaha kupat tahu pertama di Magelang. Namun, berdasarkan cerita dari ayahnya, usaha kupat tahu yang dijalankannya dimulai tahun 1942. Ketika itu belum ada orang lain yang menjual kupat tahu. Ahmad saat itu berjualan kupat tahu dengan memakai gerobak yang dipikul dan mangkal di sudut Alun-alun Magelang, tepat di bawah pohon beringin.
”Karena berlokasi di pojok, di sudut alun-alun itulah, kupat tahu dari almarhum bapak kemudian kondang dengan sebutan kupat tahu atau tahu Pojok,” ujarnya.
Tahun 1950, Ahmad mulai berpindah lokasi dan mendapatkan tempat untuk berdagang, menempati kios di Jalan Tentara Pelajar, Kota Magelang. Karena sudah berdiri sejak lama itulah, kupat tahu Pojok yang kini dikelola Sri bersama delapan adiknya telah memiliki banyak pelanggan yang juga telah ”turun-temurun”.
”Berawal dari kakek atau neneknya, kemudian akhirnya anak dan cucunya juga menjadi pelanggan di warung kami,” ujar Sri.
Lamanya menjalankan usaha juga ditonjolkan oleh usaha kupat tahu Pelopor yang berlokasi di kawasan Blabak, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Meneruskan usaha dari neneknya, Sodiq (45) merasa perlu untuk menjelaskan ”senioritas” warung dengan memasang label dengan tulisan bahwa warung tersebut sudah berdiri sejak tahun 1965.
Semula, neneknya memulai usaha dengan nama warung Mbok Bakowi dan menjual menu kupat tahu bersama aneka menu lainnya, seperti bakmi rebus dan nasi goreng. Namun, belakangan menu kupat tahu pun berkembang lebih populer dibandingkan menu-menu lainnya.
Sama seperti Sri, Sodiq juga mendapatkan cerita bahwa usaha kupat tahu neneknya dimulai saat belum ada orang lain memulai usaha serupa. Namun, seiring waktu, usaha semacam tumbuh menjamur.
Warung kupat tahu Mbok Bakowi sempat menemui masalah regenerasi sehingga terpaksa tutup selama 10 tahun. Namun, tahun 2000, usaha ini kembali dibuka oleh Sodiq. Mengingatkan kenangan masa lalu sebagai warung perintis, warung tersebut diberi nama kupat tahu Pelopor. Di tengah kondisi ramainya usaha kupat tahu, Sodiq, atas bantuan dari rekan ibunya, berinisiatif mendaftarkan nama kupat tahu Pelopor untuk mendapatkan hak paten di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sekalipun tampilan hidangan ini terlihat sama, setiap pemilik warung kupat tahu mengaku memiliki ciri khas dan cita rasa berbeda dengan warung lainnya. Keistimewaan rasa ini, antara lain, diperoleh dari racikan kecap, yang biasanya dibuat sendiri oleh setiap warung. Dengan rasa percaya diri memakai racikan sendiri, penjaja kupat tahu menolak memakai kecap pabrikan.
”Rasa kecap pabrikan tidak akan nyambung dengan ramuan bumbu kacang, tahu, dan bahan-bahan lain di kupat tahu,” ujar Sodiq.
Dengan keyakinan dan resep yang telah diwariskan turun-temurun itulah, dia tidak pernah berkeinginan mencoba-coba memakai kecap pabrikan atau kecap produksi dari pelaku usaha lainnya.
Berbeda dengan kecap produksi pabrik yang biasanya memakai kedelai hitam, kecap produksi Sodiq biasanya hanya memakai gula merah, ditambah dengan racikan aneka bumbu rempah.
Setiap hari, dengan tangannya sendiri, Sodiq membuat 150 liter kecap. Kecap tersebut bisa digunakan untuk melayani kebutuhan penjualan kupat tahu yang mencapai sekitar 500 porsi per hari.
Hal serupa diungkapkan oleh Sri. Karena begitu istimewanya kecap ini, dia pun enggan mengungkapkan lebih detail bahan-bahan yang dipakai.
Selain kecap, keistimewaan lain pada hidangan kupat tahu adalah ketupat dan tahu yang digunakan. Tidak membuat sendiri, ketupat dan tahu ini dibeli dari produsen yang sudah menjadi langganan tetap ayahnya.
Khusus untuk tahu, Sri mengatakan, yang dibelinya berbeda dibandingkan tahu yang dijual bebas di pasaran. Oleh karena itu, harga tahu yang dipakainya pun mencapai tiga kali lipat dibandingkan tahu biasa. Untuk kebutuhan tiap hari, dia bisa membeli 150 kotak tahu per hari.
Keistimewaan ketupat ini juga diakui oleh produsennya. Yati (49), salah seorang penjual kupat asal Kampung Malangan, Kota Magelang, mengatakan, ketupat yang dijualnya merupakan produksi milik salah seorang kerabat, yang sudah menjalankan usaha selama lebih dari 20 tahun.
Jika biasanya ketupat dibuat hanya dengan dikukus selama 3-4 jam, di tangan kerabatnya, ketupat diproses selama delapan jam.
Dengan proses inilah, ketupat yang dibuat pun ”istimewa” dibandingkan produk serupa lainnya.
”Karena diproses, dimasak lama, ketupat ini tidak cepat basi dan bisa tetap enak dimakan hingga dua hari setelah dimasak,” ujarnya.
Sekalipun tidak terlalu sering terlibat dalam proses memasak ketupat, Yati mengatakan, sejauh ini masalah yang sesekali dihadapi kerabatnya, dalam proses memasak ketupat, hanyalah kesulitan mendapatkan janur saat musim hujan.
”Saat kesulitan mendapatkan janur, saya biasa membantu memesan dan membelinya secara daring,” ujarnya.
Marti (60), salah seorang pedagang ketupat di Pasar Rejowinangun, Kota Magelang, juga mengungkapkan prinsip masak serupa. Menjalankan usaha keluarga yang sudah dirintis sejak tahun 1950-an, dia pun mengandalkan proses memasak dalam waktu lama, sekitar delapan jam, untuk menghasilkan ketupat pulen dan tahan lama.
Marti biasanya menggunakan 50 kilogram beras, yang kemudian bisa diolah menjadi 1.000 ketupat lebih. Puluhan tahun menjalankan usaha, dia kini sudah memiliki puluhan pelanggan, 10 orang di antaranya pelaku usaha kupat tahu.
Pengaruh Tionghoa
Koordinator Komunitas Magelang Kota Toea, Bagus Priyana, mengatakan, rekam jejak sejarah tentang keberadaan kupat tahu memang tidak diketahui. Namun, foto pedagang dengan gerobak makanan pikulan yang diduga adalah gerobak kupat tahu pernah ada dalam majalah Magelang Vooruit terbitan tahun 1936. Dalam foto itu terdapat foto ketupat, yang diletakkan di bawah anglo. Pedagang tersebut terlihat difoto di depan Gunung Tidar sebagai latar belakang.
Bagus mengaku, dirinya juga tidak memiliki data atau bukti sejarah tentang asal muasal resep atau racikan kupat tahu. Namun, keberadaan tahu sebagai salah satu bahan utama dan kecap sebagai bumbu andalan mengindikasikan bahwa pengaruh Tionghoa ada dalam menu ini.
Dalam buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara yang ditulis Aji ”Chen” Bromokusumo disebutkan, tahu adalah warisan dari para imigran Tionghoa, yang menyebar merata ke seluruh penjuru Nusantara.
Adapun kecap juga menjadi bahan tambahan dalam makanan, ditengarai muncul sejak 3.000 tahun lalu, dan berasal dari daratan Tiongkok. Cerita tentang kedelai dan kecap ini juga ada dalam buku The History of Java karya Sir Thomas Stamford Raffles.
Di Magelang, pada era tahun 1930-1980-an, marak bermunculan industri kecap. Sedikitnya ada enam merek kecap yang populer, yang saat ini dijual dalam kemasan botol. Di luar itu, di daerah Sablongan, Kota Magelang, juga pernah dijual kecap dengan sistem curah.
Sejarah tentang banyaknya industri kecap ini diduga juga memicu perilaku masyarakat untuk membuat kecap, sesuai selera masing-masing, yang kemudian juga diterapkan saat membuka usaha dan meracik hidangan kupat tahu.
Masih dalam buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara, juga disebutkan bahwa ketupat atau kupat diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Adapun ketupat juga memiliki kemiripan dengan lontong dari hidangan lontong Cap Go Meh yang menjadi hidangan khas warga Tiongkok.
Berdasarkan sensus penduduk Magelang yang dimuat di majalah Magelang Vooruit edisi 29 Agustus-13 September 1936, disebutkan bahwa hingga tahun 1934, terdata 4.495 warga Tiongkok pernah tinggal di Magelang. Dengan melihat data tersebut, pengaruh Tiongkok dipastikan ada dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kuliner di Magelang.
Hidangan kupat tahu, menurut Bagus, diduga merupakan hasil kreativitas dari warga saja. Namun, unsur budaya lain, seperti dari warga Tionghoa, jelas menjadi unsur yang turut berpengaruh di dalamnya.