Sensasi Se’i, Menanti Rasa Gurih yang Terus Dicari
Dulu dan sekarang, se’i masih menjadi kuliner favorit masyarakat Nusa Tenggara Timur. Sajiannya adalah daging sapi, babi, kambing, hingga ikan yang dimasak dengan cara diasapi bara kayu kosambi lalu ditutupi daun kosambi muda. Rasanya gurih bikin penasaran merasakannya lagi.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
Dulu dan sekarang, se’i masih menjadi kuliner favorit masyarakat Nusa Tenggara Timur. Sajiannya adalah daging sapi, babi, kambing, hingga ikan yang dimasak dengan cara diasapi bara kayu kosambi lalu ditutupi daun kosambi muda. Rasanya gurih, bikin penasaran untuk mencicipinya lagi.
Tenar di Kupang sejak tahun 2000-an, depot makan yang menyajikannya jarang sepi. Depot Se’i Aroma, Se’i Bambu Kuning, dan rumah makan Se’i Pondok Daud bergantian dikunjungi penikmat kuliner. Tidak hanya warga setempat, masakan ini dicari warga dari luar daerah. Tak sedikit yang memesannya untuk dibagikan kepada tetangga atau kerabat di rumah.
Se’i berasal dari bahasa daerah Rote. Penamaannya diambil dari proses pembuatannya. Daging diiris memanjang, kemudian dibakar atau dipanggang. Dulu, warga setempat menggunakan daging rusa. Namun, karena hewan itu kini sangat dilindungi, beragam daging jadi penggantinya. Meski identik dengan olahan daging babi, kini ada juga se’i sapi, kambing, hingga se’i ikan.
Belakangan, selera lidah pun dibuat bervariasi. Tidak hanya memproduksi daging siap saji, pengusaha membuat diversifikasi menu. Selain diolah secara tradisional, se’i masa kini, yang dicampur kue atau roti, mulai diperkenalkan kepada konsumen.
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang, yang menekuni teknologi hasil ternak, Gemini EM Malelak, di Kupang, Kamis (7/2/2019), mengatakan, pembuatan se’i terbilang sederhana, tapi butuh kedisiplinan tinggi.
Setelah diiris memanjang, se’i diolah tanpa bahan kimia. Bumbunya hanya garam dan bawang putih. Setelah itu, daging diletakkan di atas panggangan setinggi 5 sentimeter. Panas dari bara api kayu kosambi akan memanggang daging sampai matang. Daging lalu ditutup daun kosambi hijau dan muda hingga matang. Setelah diolah, se’i biasanya bisa tahan hingga lima hari ke depan.
Malelak mengatakan, se’i yang nikmat tidak bisa dipisahkan dari kayu dan daun kosambi. Aromanya setara dengan sensasi yang ditimbulkan penyedap rasa buatan. Tak heran, sempat ada isu bohong mengatakan bahwa se’i diolah menggunakan bahan-bahan kimia itu.
Meski belum ada penelitian lebih lanjut tentang khasiat kosambi (Schleichera oleosa), tanaman ini sudah lama dikenal multiguna. Kayu ini tangguh hidup di daerah kering seperti NTT. Strukturnya yang keras tapi lentur membuatnya cocok dijadikan arang untuk bahan pembakaran.
Hampir semua bagian tumbuhan ini bisa dikonsumsi. Daging buah dijadikan asinan. Selain menjadi penutup se’i yang tengah dimasak, daunnya bisa dimakan sebagai lalapan.
Malelak mengatakan, se’i tetap bisa dikonsumsi lebih lama. Hal ini untuk menjawab kebutuhan waktu pengiriman se’i ke luar NTT yang kerap membutuhkan waktu 5-7 hari. Salah satu caranya ditambah garam Inggris. Ia mengatakan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Kupang mengizinkan pemakaiannya dengan dosis tertentu, 1 kg se’i dicampur 500 gram garam Inggris. Adonan itu lantas direndam sekitar 18 jam.
Jadi kuliner andalan, beberapa kalangan menganggap harga se’i yang dijual saat ini terbilang tinggi. Tak banyak pilihan bagi konsumen, terutama yang berkantong terbatas. Se’i biasa dijual Rp 180.000 per kilogram dan Rp 90.000 untuk kemasan berukuran 500 gram. Inovasi roti isi se’i bisa jadi pelipur lara. Harganya Rp 6.000 per buah. Namun, tetap saja cita rasa otentik yang dicari konsumen.
Penikmat se’i yang juga Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia NTT Marthen Mulik mengatakan, pengusaha sebaiknya mempertimbangkan kemampuan konsumen. Tidak semuanya bisa menyisihkan banyak uang untuk membeli se’i dengan harga tinggi.
”Misalnya ada yang dijual Rp 10.000-Rp 20.000 per bungkus. Ini menjadi penting agar semua orang bisa merasakan kuliner khas ini,” kata Mulik.
Tertarik merasakan se’i, silakan datang ke NTT, sekaligus menikmati keindahan alam dan keramahan warganya. Namun, bagi konsumen yang belum cukup modal datang ke sana, bisa mengunjungi rumah makan se’i yang kini mulai hadir di Bali dan Surabaya, Jawa Timur. Jangan khawatir, kebanyakan produsennya adalah warga NTT yang merantau ke sana. Rasa se’i yang gurih tetap jadi andalan utama.