Tauwa, Semangkuk Tawa Saat Pandemi
Tauwa atau tahwa atau kembang tahu, minuman hangat dari China, menjadi salah satu jajanan yang populer di Nusantara, bahkan menjadi penganan alternatif yang diyakini bermanfaat di masa pandemi Covid-19 saat ini.
Teriakan seseorang, Tauwa! Tauwa! Tauwa! dan suara mesin sepeda motor mengagetkan diri yang hendak mandi, Sabtu (6/2/2021) selepas pukul 09.00 WIB. Tubuh yang hanya berbalut handuk dengan bergegas berganti ke celana pendek dan kaos oblong lalu berlari ke depan rumah di Surabaya, Jawa Timur, mencari sumber teriakan.
Si peneriak ternyata sudah lewat, tetapi pasti akan balik karena jalan buntu. Dua-tiga menit kemudian, sepeda motor yang dikendarai oleh seorang lelaki itu mendekat dan segera dihentikan. Lelaki yang saat ditanya nama mengaku sebagai Herlambang (55) alias Pak Lam, warga Pakis, Surabaya, merupakan penjual minuman tradisional tauwa atau tahwa atau kembang tahu.
Berbagai bahan ditaruh dalam kotak yang dipasang di tempat duduk belakang. Bagian luar kanan dan kiri kotak dari alumunium itu ada tulisan biru tauwa dan kacang kuwa. Kotak terbagi jadi tiga bagian. Yang pertama untuk menaruh dandang berisi kembang tahu. Yang kedua untuk menaruh mangkuk, sendok, serbet, botol dan ceret plastik berisi air jahe. Yang ketiga dibagi lagi menjadi tiga bagian untuk kacang kuah, kacang kowa, dan santan.
Pak Lam juga membawa cemilan kacang goreng. Duh, sayang, Pak Lam tidak melengkapi dagangannya dengan cakwe atau roti goreng yang tentu nikmat dicelup dan dimakan sebagai penyempurna tauwa komplet itu. ”Tauwa kompletnya, tujuh ribu rupiah, Mas,” katanya yang segera saya bayar dengan Rp 10.000 dengan tambahan tiga bungkus plastik kecil kacang goreng.
.cSeporsi tauwa itu hampir penuh di mangkuk persegi hijau. Tiada cakwe, roti tawar kupas pun jadi. Saya menambahkan sesendok teh madu dan taburan meses warna wani. Saat dinikmati, rasanya beragam, tetapi seolah membuat diri ”mati dalam tawa” atau gembira.
Menikmati tauwa juga dilakukan Heri Kusbiantoro (40), yang dijajakan oleh pedagang kaki lima di pinggir Jalan Merbabu, Kota Malang, Rabu (10/2/2021) siang. Meski tidak ada kursi, lelaki asli Malang itu tak ambil pusing. Ia langsung duduk santai di bawah pohon berumur puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang banyak tumbuh di tempat itu.
Masker yang sebelumnya menutup separo wajah ia singkap ke bawah dagu. Sendok demi sendok kudapan berkuah itu masuk ke mulutnya. Selain rasanya yang manis bercampur pedas jahe, tekstur tahwa yang halus membuat sang penikmat tidak mengalami kesulitan saat mengonsumsi. Tinggal sruput, telan, selesai.
“Saya sering makan semenjak ada pandemi. Hampir setiap hari. Biasanya beli di dekat RS Soepraoen karena jaraknya dekat dengan rumah,” ujar Heri yang siang itu menikmati tahwa bersama salah satu rekannya.
Menghangatkan tubuh
Menurut Hari, tahwa, atau di daerah dikenal dengan sebutan kembang tahu, bukan sekadar makanan penghilang lapar dan dahaga. Kandungan rempah di dalamnya mampu menghangatkaan badan. Apalagi, saat kota berhawa dingin itu diselimuti mendung dan hujan sepanjang hari.
Kebetulan, Heri memang gemar mengonsumsi jamu tradisional. ”Di badan rasanya enak, fit, hangat. Sehat karena ada jahenya. Apalagi saat ini sedang musim pandemi, saya kira tahwa bisa menjadi salah satu cara menjaga kebugaran tubuh,” ucapnya lagi.
Tingginya animo masyarakat menikmati makanan yang disebut-sebut berasal dari China ini diakui para pedagang tahwa. Mereka mengaku setiap hari bisa menghabiskan ratusan porsi. Memang, dua bulan terakhir jumlahnya agak sedikit menurun karena Pemerintah Kota Malang menerapkan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Jika tidak ada PPKM mereka bisa berjualan sejak sekitar pukul 10.00-22.30. Namun, setelah ada pembatasan, sekitar 20.30 mereka sudah tutup. ”Sehari bisa habis empat dandang atau sekitar 400 porsi. Sebelum pembatasan bisa mencapai 500 porsi,” ujar Syafril (21) salah satu pedagang tahwa merek ”Mas Agus” di Jalan Aris Munandar, Kelurahan Kidul Dalem, Klojen.
Siang itu pembeli yang datang ke warung tahwa—yang berada di sekitar wilayah Pasar Besar Malang ini—terus menyambung. Padahal, saat itu jelang jam makan siang. Satu pembeli pulang, satu pembeli datang. Dengan harga Rp 7.000 per porsi, mereka bisa menikmati di tempat atau dibawa pulang.
Warung Syafril tak hanya menyediakan tahwa, tetapi juga menu lain, seperti ronde atau tahwa plus ronde. Syafril sendiri telah empat tahun berjualan ronde di tempat itu. Warung dia buka tujuh hari dalam sepekan, kecuali hari besar.
Seperti halnya Syafril, pedagang tahwa lain mengaku ratusan porsi tahwa habis dalam sehari. Salah satu pedagang tahwa merek ”Faiz Tahwa” di Jalan Merbabu, yang enggan disebut nama aslinya, mengatakan, sehari bisa habis 100 porsi untuk tahwa saja.
Dengan harga Rp 6.000 per porsi, pembeli tidak hanya berasal dari masyarakat keturunan Tionghoa, tetapi juga umum. ”Tidak hanya pandemi saja ramainya, sebelum pandemi juga banyak yang beli. Selama pandemi banyak konsumen yang beli karena mereka butuh sesuatu yang bisa menghangatkan badan,” tuturnya.
Puding halus dan gurih
Kembang tahu merupakan puding amat halus yang gurih. Rebusan jahe ditambah gula terasa manis dan hangat. Kacang kuah lembut dan manis gurih. Kacang kowa yang merupakan agar-agar atau jeli dari kacang hijau dan kacang tanah juga manis gurih dan nikmat diseruput. Tambahan madu, meses, kacang goreng, dan roti tawar menyempurnakan dan mengenyangkan. Kehangatan menjalar sejak dari kerongkongan hingga ke perut dan seolah tubuh mendapat kekuatan dan diliputi kegembiraan.
Tauwa merupakan minuman penganan yang tradisional dan cukup populer di Surabaya dan Jawa Timur. Tauwa dijajakan keliling oleh pedagang dengan sepeda atau sepeda motor. Ada juga tauwa sebagai salah satu menu restoran atau rumah makan, khususnya milik warga keturunan Tionghoa atau peranakan.
Baca Juga: Menikmati Akulturasi di Meja Makan
Selain itu, tauwa dijajakan di warung atau kedai seperti milik Cak Man di tepi Jalan Gunungsari, sekitar 1,5 kilometer dari kediaman. Sejak bertugas kembali di Surabaya pada 2017, Tauwa dan Kacang Kuah Cak Man sudah belasan kali didatangi sebelum ke kantor atau peliputan.
Tauwa sip, komplet dengan cakwe, roti goreng, bahkan penganan lain, yakni ote-ote atau bala-bala dan tahu isi. Bagian luar kedai ada meja dan kursi serta balai bambu dinaungi pohon rindang dan menjadi lokasi paling favorit pengunjung Cak Man.
Digemari
Dalam masa pandemi Covid-19 yang belum juga mereda sejak serangan pada Maret 2020, minuman tradisional, seperti tauwa, yang salah satu bahannya merupakan tanaman obat keluarga (jahe), menjadi digemari. Salah satu cara perawatan pasien Covid-19 termasuk yang dijalani oleh penulis ialah banyak minum hangat atau panas untuk melawan virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) dalam tubuh. Tauwa menjadi minuman alternatif selain jamu atau minuman hangat lainnya yang diyakini membantu pemulihan tubuh dari serangan Covid-19.
Kehangatan dan tekstur kembang tahu, kacang kuah, dan kowa yang lembut nyaman bagi tubuh. Minuman ini bisa sebagai makanan utama atau pendamping. Disajikan saat masih panas bahkan disimpan di kulkas sehingga menjadi dingin, minuman ini tetap nikmat. Ketika terasa nikmat, suasana hati cenderung positif atau gembira. Suasana yang tanpa tertekan atau stres juga membantu percepatan pemulihan diri pasien Covid-19.
Untuk itu, tidak aneh jika di Surabaya mulai muncul, meski sedikit, penjual tauwa keliling. Biasanya, penjual tauwa ialah lelaki berusia lanjut atau setidaknya di atas 50 tahun. Namun, kami menemukan sejumlah penjual tauwa masih berusia kurang dari 30 tahun yang merupakan perantau dari luar Surabaya. Mereka menjajakan tauwa secara keliling dari kedai atau warung.
Baca Juga: Para Pelirik Teh
”Sekitar dua tahun jualan tauwa, ambil dari juragan, lumayan untuk hidup, Mas,” kata Suhardi (28), penjual tauwa di Jalan Gunung Sari. Situasi pandemi yang membuat remuk perekonomian memaksa Suhardi, asal Bojonegoro, bertahan dengan menjual tauwa karena pekerjaan lain sulit. Menurut dia, dagangan cukup laku meski tidak selalu habis menandakan minuman tradisional ini tetap digemari meski tak membuat heboh atau viral di jagat media sosial.
Peranakan
Tauwa bukan merupakan minuman buatan masyarakat Nusantara. Dilihat dari bahannya, yakni kedelai yang dibuat menjadi kembang tahu, minuman ini sudah pasti berasal dari daratan China. Sejumlah artikel dan program siaran kuliner di internet menginformasikan bahwa tauwa dikembangkan dalam masa pemerintahan Dinasti Han (202 SM-220).
Tauwa kemudian dibawa oleh orang-orang Tionghoa ke Nusantara, diperkenalkan, mendapat sedikit modifikasi, dan menjadi bagian dari kekayaan kuliner Nusantara. Dalam buku Monggo Dipun Badhog karya Dhukut Imam Widodo, di Surabaya, tauwa, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, merupakan kuliner yang pada awalnya menjadi menu di kedai-kedai peranakan. Kemudian, tauwa menyebar dengan dijajakan keliling.
Sampai dengan 1990, saat sepeda motor masih dianggap kemahalan oleh sebagian masyarakat, tauwa dijual dengan dipikul. Menjajakan makanan dan minuman serta komoditas dengan pikulan ketika itu merupakan pemandangan yang lazim, terutama di Jawa. Namun, saat ini, penjual komoditas yang dipikul amat jarang, apalagi tauwa, karena tergantikan oleh gerobak, sepeda, atau sepeda motor.
Herlambang, penjual tauwa keliling, mengatakan, sudah sejak 2000 berjualan tauwa sebagai penghidupan keluarga. Istri menjadi pembantu dan berjualan penganan dan kebutuhan pokok di lapak rumah. Kemampuan membuat tauwa diketahui dari ayahanda yang semasa hidup juga berjualan tauwa di Surabaya.
”Saya kurang tahu dari mana Bapak membuat tauwa, mungkin dahulu pernah kerja di orang (peranakan) dan tahu cara bikinnya dari sana,” kata Pak Lam ini. Ayahanda yang telah berpulang semasa hidup berjualan tauwa dengan dipikul lalu di sepeda.
Berjualan tauwa keliling juga sudah dilakoni Muhamad Pagi (58) selama 40 tahun. Awalnya hingga 12 tahun pertama ayah dua anak ini menjajakan tauwa yang diambil dari juragan di Kutisari. Selepas itu, hingga kini, ayah dua anak yang tinggal di Medokan Sawah itu mengolah sendiri tauwanya.
Baca Juga: Kecap, Meleburnya Tionghoa-Nusantara
Setiap hari paling tidak 5 kilogram kedelai diolah menjadi tauwa dan, jika habis dalam 100 porsi, dia bisa membawa uang Rp 1 juta per hari. ”Dulu, tauwa hanya dinikmati warga tertentu yang tinggal di perumahan. Kalau sekarang, peminatnya hampir semua orang, anak-anak hingga lansia,” katanya.
Kereta angin yang dikayuh alias sepeda merupakan kendaraan pertama untuk berjualan tauwa. Rezeki dari berjualan terus ada dan sebagian ditabung bertahun-tahun sehingga dapat membeli sepeda motor. Sejak 2010, Pak Lam berjualan tauwa dengan sepeda motor. Sepeda lebih banyak digunakan oleh anak atau istri untuk menunjang aktivitas mereka.