Awan Panas dan Guguran Lava di Merapi Berpotensi Terus Terjadi
Pergerakan magma dari dalam tubuh Gunung Merapi menuju ke permukaan diperkirakan masih terus terjadi. Oleh karena itu, ke depan, Gunung Merapi berpotensi terus mengeluarkan awan panas dan guguran lava.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pergerakan magma Gunung Merapi menuju ke permukaan diperkirakan masih akan terjadi. Akibatnya, awan panas dan guguran lava berpotensi terus dikeluarkan dari gunung ini.
Sebelumnya, Gunung Merapi disebut telah memasuki fase erupsi yang ditandai munculnya guguran lava pijar sejak Senin (4/1/2021) malam. Setelah itu, pada Kamis (7/1/2021), Merapi mulai mengeluarkan awan panas guguran.
Pada Sabtu, pukul 08.45, Merapi kembali mengeluarkan awan panas guguran dengan tinggi kolom 200 meter. Awan panas tercatat di seismogram dengan amplitudo maksimal 45 milimeter dan durasi 120 detik. Awan panas menuju ke arah hulu Kali Krasan dengan jarak luncur 600 meter.
Selain itu, Sabtu antara pukul 00.00-06.00, Merapi mengeluarkan 15 kali guguran lava pijar dengan jarak luncur terjauh 800 m ke arah hulu Kali Krasak. Sementara pada Sabtu pukul 06.00-12.00, Merapi mengalami tujuh kali guguran lava dengan jarak luncur maksimum 500 m ke arah hulu Kali Krasak.
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida dalam konferensi pers daring, di Yogyakarta, Sabtu (9/1/2021), mengatakan, guguran lava dan lava pijar terjadi saat lava atau magma sampai ke permukaan dan runtuh. Saat malam, lava yang runtuh atau gugur akan tampak berpijar karena memiliki suhu yang tinggi. Fenomena itu kemudian disebut guguran lava pijar.
”Saat siang, guguran lava itu tidak tampak berpijar,” kata Hanik.
Hanik memaparkan, hingga kini diperkirakan masih terjadi pergerakan magma dari dalam tubuh Merapi menuju ke permukaan. Hal itu terlihat dari masih tingginya aktivitas seismik atau kegempaan di gunung itu.
Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG Agus Budi Santoso menuturkan, perilaku erupsi kali ini berbeda. Sebelumnya, aktivitas kegempaan dan deformasi langsung turun drastis setelah erupsi. Adapun sekarang tidak terjadi penurunan aktivitas kegempaan dan deformasi secara drastis meski sudah erupsi.
”Kalau dulu, termasuk deformasi, turunnya itu langsung seperti berhenti. Kalau sekarang, ada penurunan setelah erupsi, tapi aktivitasnya masih tinggi dibandingkan dengan erupsi-erupsi sebelumnya,” ungkap Agus.
Dengan begitu, Merapi masih berpotensi erupsi eksplosif. Namun, statusnya masih ditetapkan Siaga. Potensi bahaya akibat erupsi masih sama dengan sebelumnya, jarak maksimal 5 kilometer dari puncak. Jarak luncur awan panas dan guguran lava dari Merapi yang selama ini muncul juga belum melebihi radius 5 km dari puncak.
Selain itu, Merapi juga mengalami pertumbuhan kubah lava baru. Kubah lava baru itu ada di pinggir kawah di sisi barat daya puncak, tepatnya di atas lava sisa erupsi tahun 1997. ”Kubah lava baru itu muncul sejak 4 Januari 2021,” ujar Hanik.
Hanik memaparkan, hingga sekarang, BPPTKG belum bisa memastikan berapa volume kubah lava baru itu. Kubah lava baru itu masih sangat kecil sehingga belum dihitung secara pasti berapa volumenya.
Selain itu, posisi keluarnya magma yang berada di pinggir kawah atau lereng membuat kubah lava baru itu sulit mengalami pertumbuhan atau penambahan volume. Namun, apabila kondisi magma menjadi lebih kental, penambahan volume kubah lava baru juga bisa terjadi.
Selain itu, Hanik menyatakan, di tengah kawah puncak Merapi juga terdapat gundukan yang diduga material magma baru. Namun, BPPTKG belum bisa memastikan gundukan material itu akan mengalami pertumbuhan dan berkembang menjadi kubah lava atau tidak.
Menurut Hanik, kendati gundukan material berada di lokasi berbeda dengan kubah lava baru di sisi barat daya, kedua gundukan material bisa dianggap berasal dari satu jalur rekahan yang sama. Dengan demikian, ujarnya, tidak berpotensi memunculkan dua potensi bencana berbeda.
”Kalau kita lihat cracking (rekahan) yang ada, ini bisa juga menjadi satu kesatuan,” ucapnya.