Lava Sisa Erupsi Tahun 1954 Runtuh, Status Merapi Masih Siaga
Gunung Merapi terus mengalami guguran material. Pada Minggu (22/11/2020), terjadi peristiwa guguran yang menyebabkan runtuhnya lava sisa erupsi Merapi tahun 1954. Meski begitu, status Merapi masih Siaga (Level III).
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terus mengalami guguran material. Sebagian material guguran itu berasal dari lava sisa erupsi Merapi periode sebelumnya. Pada Minggu (22/11/2020) pagi, misalnya, terjadi guguran yang menyebabkan runtuhnya lava sisa erupsi Merapi tahun 1954.
Berdasarkan data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), guguran lava sisa erupsi 1954 itu terjadi pada Minggu pukul 06.50. Peristiwa tersebut teramati dari kamera pemantau (CCTV) aktivitas Merapi yang dipasang di wilayah Deles, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Guguran itu tercatat pada seismogram BPPTKG dengan amplitudo 75 milimeter (mm) dan durasi 82 detik.
Kepala BPPTKG Hanik Humaida menjelaskan, guguran material yang terjadi pada Minggu pagi itu berasal dari tebing lava 1954 yang berada di dinding kawah Gunung Merapi bagian utara. Berdasarkan kajian BPPTKG, runtuhnya lava sisa erupsi tahun 1954 itu tidak berpengaruh pada aktivitas Gunung Merapi. Sebab, material yang gugur itu meluncur ke dalam kawah Merapi.
”Material tersebut jatuh ke dalam kawah dan hingga saat ini tidak berpengaruh pada aktivitas Gunung Merapi,” ujar Hanik melalui keterangan tertulis, Senin (23/11/2020), di Yogyakarta.
Dalam ilmu vulkanologi, lava merupakan istilah untuk menyebut magma yang sudah keluar di permukaan gunung api. Saat gunung api erupsi, terkadang tidak semua lava di puncak gunung jatuh ke bawah. Oleh karena itu, sebagian lava tersebut tetap tertinggal selama bertahun-tahun di puncak. Di Merapi, lava sisa erupsi sebelumnya itu berupa batuan yang kemudian membentuk dinding kawah di puncak.
Hanik mengatakan, peristiwa guguran material itu merupakan sesuatu yang wajar karena saat ini aktivitas Gunung Merapi sedang meningkat. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tetap tenang serta selalu mengikuti informasi resmi dari BPPTKG dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di wilayah masing-masing.
Peristiwa guguran material itu merupakan sesuatu yang wajar karena saat ini aktivitas Gunung Merapi sedang meningkat.
”Guguran seperti ini merupakan kejadian yang biasa terjadi pada saat Gunung Merapi mengalami kenaikan aktivitas menjelang erupsi. Masyarakat diimbau tetap tenang dan mematuhi rekomendasi dari BPPTKG serta arahan dari BPBD dan pemerintah daerah setempat,” ungkap Hanik.
Hanik menambahkan, hingga kini, aktivitas vulkanik di Gunung Merapi masih cukup tinggi. Hal ini, antara lain, terlihat dari cukup tingginya aktivitas kegempaan yang terjadi di gunung api tersebut. Sebagian besar aktivitas kegempaan di Merapi itu terjadi pada wilayah dangkal.
Gempa-gempa dangkal itulah yang kemudian berpengaruh pada kestabilan material lava sisa-sisa erupsi sebelumnya. Material lava lama yang masih tertinggal di puncak Merapi itu pun menjadi tidak stabil sehingga gugur atau runtuh ke bawah.
”Setelah statusnya ditetapkan menjadi Siaga (Level III) sejak 5 November 2020 lalu, hingga saat ini aktivitas kegempaan di Gunung Merapi tercatat masih cukup tinggi. Kegempaan dangkal yang dominan terjadi pada aktivitas kali ini mengakibatkan ketidakstabilan material lama di puncak,” ujarnya.
Guguran material yang terjadi pada Minggu pagi itu berasal dari tebing lava 1954 yang berada di dinding kawah Gunung Merapi bagian utara.
Lava lain
Selain lava sisa erupsi 1954, ada beberapa lava sisa erupsi periode sebelumnya yang juga runtuh. Berdasarkan data BPPTKG, ada beberapa lava sisa erupsi sebelumnya yang telah runtuh, misalnya lava sisa erupsi tahun 1997 yang berada di dinding kawah Merapi sisi selatan, lava sisa erupsi tahun 1998 di sisi barat, serta lava sisa erupsi tahun 1888 yang juga berada di sisi barat.
Selama beberapa waktu terakhir, jumlah guguran material yang terjadi di Gunung Merapi memang tergolong cukup tinggi. Data BPPTKG menunjukkan, jumlah guguran material di Merapi bisa mencapai puluhan kali dalam sehari. Pada Minggu (22/11/2020), misalnya, terjadi 50 kali guguran di Merapi, sedangkan pada Sabtu (21/11/2020) terjadi 60 kali guguran.
Hanik menuturkan, guguran material di Merapi itu kebanyakan mengarah ke sisi barat dan barat laut serta ke arah bukaan kawah di sisi selatan-tenggara. Berdasarkan data BPPTKG, kebanyakan guguran itu menuju beberapa sungai yang berhulu di Merapi, yakni Kali Senowo dan Kali Lamat di Kabupaten Magelang, Jateng, serta Kali Gendol di Kabupaten Sleman, DIY. Adapun jarak terjauh guguran material itu adalah 3 kilometer (km) dari puncak.
Meski guguran material terus terjadi, data BPPTKG menunjukkan, magma di dalam tubuh Gunung Merapi belum sampai ke permukaan. Informasi itu diketahui berdasarkan foto yang diambil petugas BPPTKG menggunakan drone atau pesawat nirawak pada 16 November 2020. Berdasarkan analisis terhadap foto itu, BPPTKG juga menyatakan, belum ada kubah lava baru di puncak Merapi.
Belum teramatinya kubah lava baru itu menunjukkan, magma dari dalam tubuh Gunung Merapi belum sampai ke permukaan. Oleh karena itu, guguran material yang beberapa hari terakhir terjadi di Merapi juga bukan merupakan guguran lava baru.
Dengan kondisi itu, BPPTKG masih menetapkan Gunung Merapi dalam status Siaga. Potensi bahaya dari erupsi Merapi saat ini juga masih sama, yakni berupa guguran lava, lontaran material, dan awan panas dengan jarak maksimal 5 km dari puncak.
Sementara itu, dalam kesempatan sebelumnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo meminta semua pihak mengikuti arahan BPPTKG terkait aktivitas Gunung Merapi. Hal ini karena BPPTKG merupakan lembaga yang memiliki kompetensi memantau aktivitas Merapi.
”Sesuai dengan perintah Bapak Presiden, setiap kebijakan yang berhubungan dengan kebencanaan harus mengacu pada riset, harus mengacu pada data yang diberikan ahlinya. Kita semua harus ikuti itu,” ujar Doni.