Saatnya Memberi Waktu bagi Merapi…
Gunung Merapi telah memberi berkah pada masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Saat ada peningkatan aktivitas vulkanik seperti sekarang, saatnya memberi waktu kepada Merapi menjalankan siklus alamiahnya.
Lebih dari dua minggu setelah statusnya dinaikkan menjadi Siaga (Level III), Gunung Merapi masih dalam status yang sama. Sejumlah pihak mulai bertanya-tanya, kapan sebenarnya akan erupsi? Bahkan, ada yang mempertanyakan, apakah peningkatan status Merapi dari Waspada (Level II) ke Siaga tidak terlalu dini?
Pertanyaan itu pula yang dilontarkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gandung Pardiman saat berkunjung ke kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Yogyakarta, Kamis (19/11/2020). BPPTKG merupakan lembaga di bawah Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang bertanggung jawab memantau aktivitas Merapi.
Dalam kunjungan itu, Gandung bertanya pada pimpinan BPPTKG mengenai perkiraan waktu terjadinya erupsi Merapi. Anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar itu juga bertanya, apakah keputusan BPPTKG menaikkan status Merapi menjadi Siaga pada 5 November lalu tidak terlalu cepat? ”Apa tidak terlalu dini menaikkan dari Waspada ke Siaga?” ujar anggota DPR dari daerah pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu.
Sejak adanya kenaikan status menjadi Siaga, banyak warga lereng Gunung Merapi telah mengungsi. Mereka tersebar di empat kabupaten, yakni Sleman di DIY serta Magelang, Boyolali, dan Klaten di Jawa Tengah. ”Kesadaran warga untuk mengungsi sekarang kan sudah tinggi,” kata Gandung, yang berkunjung ke BPPTKG bersama sejumlah anggota Komisi VII DPR.
Baca juga: Memahami Karakter Erupsi Gunung Merapi
Gandung juga menyebut, saat ini mulai muncul beberapa persoalan terkait pengungsian warga. Sebagian pengungsi mulai mengeluhkan kondisi kesehatannya. ”Sekarang sudah banyak keluhan, lebih-lebih sekarang sedang ada pandemi Covid-19,” tuturnya.
Oleh karena itu, BPPTKG diharapkan bisa menjawab pertanyaan kapan kira-kira erupsi Merapi akan terjadi.
Menanggapi pertanyaan itu, Kepala BPPTKG Hanik Humaida mengatakan, sampai saat ini belum ada teknologi yang bisa memastikan kapan waktu terjadinya erupsi gunung api. Oleh karena itu, BPPTKG juga tidak bisa memastikan kapan Gunung Merapi akan erupsi. ”Teknologi apa pun belum ada yang bisa menentukan kapan suatu gunung api akan mengalami erupsi,” ujarnya.
Baca juga: BPPTKG: Dua Kemungkinan Skenario Erupsi Merapi
Hanik menuturkan, hingga sekarang, para ilmuwan hanya bisa menangkap tanda-tanda sebelum gunung api mengalami erupsi. Berdasarkan tanda-tanda itu, para ilmuwan dan petugas pengamat gunung api juga bisa memperkirakan seberapa besar potensi bahaya dari erupsi yang akan terjadi. Berdasarkan tanda-tanda dan perkiraan potensi bahaya itu, BPPTKG kemudian memberi peringatan mengenai aktivitas Merapi.
Dasar kuat
Hanik juga menyatakan, keputusan BPPTKG menaikkan status Merapi menjadi Siaga pada 5 November 2020 memiliki dasar yang kuat. Salah satu dasar keputusan itu adalah terjadinya peningkatan aktivitas kegempaan di Merapi. Bahkan, hasil kajian BPPTKG menunjukkan, aktivitas kegempaan di Merapi saat ini sudah melebihi kondisi menjelang erupsi tahun 2006.
Berdasar data BPPTKG, selama tiga hari terakhir sebelum kenaikan status pada 5 November 2020, Merapi mengalami rata-rata 29 kali gempa vulkanik dangkal, 272 kali gempa fase banyak, 57 kali gempa guguran, serta 1 kali gempa frekuensi rendah dalam sehari. Jumlah gempa itu lebih tinggi dibandingkan aktivitas gempa di Merapi sebelum munculnya kubah lava pada erupsi tahun 2006.
Pada erupsi 2006, kubah lava mulai muncul pada 26 April 2006. Selama tiga hari terakhir sebelum 26 April 2006, Merapi mengalami rata-rata 6 kali gempa vulkanik dangkal, 193 kali gempa fase banyak, 20 kali gempa guguran, serta 1 kali gempa frekuensi rendah dalam sehari. ”Kami menaikkan status ke Siaga karena aktivitas kegempaan di Merapi sekarang sudah melebihi kondisi tahun 2006,” kata Hanik.
Baca juga: Energi Guguran di Merapi Meningkat, Magma Kian Mendekati Permukaan
Selain kegempaan, faktor lain yang mendasari kenaikan status Merapi adalah terjadinya deformasi atau perubahan bentuk pada tubuh gunung api. Setelah terjadinya erupsi di Merapi pada 21 Juni 2020, memang teramati adanya deformasi atau perubahan bentuk pada tubuh gunung api tersebut.
Deformasi teramati dari adanya pemendekan jarak tunjam berdasarkan pengukuran jarak elektronik (electronic distance measurement/EDM) dari pos pemantauan Merapi di wilayah Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Teknologi apapun belum ada yang bisa menentukan kapan suatu gunung api akan mengalami erupsi. (Hanik Humaida)
Pemendekan jarak tunjam itu menunjukkan terjadinya deformasi berupa penggembungan atau inflasi di tubuh Gunung Merapi yang menjadi indikasi adanya magma yang naik menuju ke permukaan. Semakin besar pemendekan jarak, semakin besar pula penggembungan yang terjadi.
Data BPPTKG menunjukkan, dalam kurun waktu Juni-September 2020, laju pemendekan jarak tunjam hanya 3 milimeter (mm) per hari. Sementara itu, pada 4 November 2020, laju pemendekan jarak tunjam telah mencapai 11 sentimeter (cm) per hari. Beberapa hari setelah status Siaga, pemendekan jarak tunjam meningkat menjadi 12 cm per hari.
Baca juga: Memahami Deformasi Gunung Merapi dan Potensi Bahayanya
Dengan adanya peningkatan kegempaan dan deformasi itu, Hanik mengatakan, Gunung Merapi berpotensi mengalami erupsi yang bisa membahayakan warga. Ancaman bahaya dari erupsi Merapi saat ini berupa berupa guguran lava, lontaran material, dan awan panas dengan jarak maksimal 5 km dari puncak.
Radius bahaya itu lebih luas dibanding radius bahaya saat Gunung Merapi berstatus Waspada sejak 21 Mei 2018, yakni 3 km dari puncak. Peningkatan potensi bahaya itulah yang kemudian membuat BPPTKG menaikkan status Merapi menjadi Siaga. ”Kalau kita menaikkan status, itu, kan, dasarnya potensi bahaya,” ungkap Hanik.
Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG Agus Budi Santoso mengatakan, peningkatan kegempaan yang terjadi di Merapi itu memunculkan dua kemungkinan skenario erupsi ke depan. Skenario pertama, Merapi akan mengalami erupsi ekplosif di mana magma keluar dengan disertai letusan atau ledakan. Namun, erupsi eksplosif tersebut diprediksi tidak sebesar erupsi Merapi tahun 2010.
Sementara itu, skenario kedua adalah terjadinya erupsi efusif dengan laju ekstrusi magma yang cepat. Dalam erupsi efusif, magma mengalami ekstrusi atau keluar ke permukaan tanpa disertai letusan seperti dalam erupsi eksplosif. Magma yang keluar itu kemudian membentuk kubah lava di puncak Merapi.
Apabila kubah lava itu terus tumbuh, kubah tersebut berpotensi mengalami keruntuhan dan menyebabkan munculnya awan panas. Dalam erupsi efusif, semakin cepat laju ekstrusi magma, makin cepat pula kemungkinan munculnya awan panas.
Agus menyatakan, skenario pertama dan kedua itu sama-sama bisa berdampak pada minimnya waktu yang tersedia bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk menyiapkan diri. Padahal, persiapan yang memadai sangat penting untuk mencegah timbulnya korban akibat erupsi.
”Kami berpikir, ini ada dua kemungkinan. Yang pertama adalah erupsi eksplosif. Kemungkinan kedua, erupsi efusif tapi dengan laju ekstrusi yang sangat cepat. Kalau seperti ini, waktu yang tersedia untuk pemerintah daerah dan masyarakat untuk mempersiapkan diri dari bahaya erupsi itu kemungkinan sangat pendek. Kami khawatir dengan persiapan yang kurang, akan timbul korban,” ungkap Agus.
Masa status Siaga
Atas pertimbangan itulah BPPTKG akhirnya memutuskan menaikkan status Gunung Merapi menjadi Siaga. Agus juga mengingatkan, masa Siaga saat ini masih lebih pendek dibandingkan masa Siaga menjelang erupsi tahun 2006. ”Saat ini, masa Siaga berlangsung dua minggu. Sebenarnya ini belum cukup lama kalau dibandingkan dengan yang dulu-dulu, seperti tahun 2001 dan 2006,” ujarnya, Kamis (19/11/2020).
Berdasarkan arsip pemberitaan Kompas, pada tahun 2001, status Gunung Merapi dinaikkan dari Waspada menjadi Siaga pada 10 Januari. Setelah itu, pada 10 Februari 2001, status Merapi naik menjadi Awas (Level IV) yang merupakan level tertinggi status gunung api. Oleh karena itu, status Siaga di Merapi pada tahun 2001 berlangsung sekitar sebulan.
Kondisi yang kurang lebih sama juga terjadi pada tahun 2006. Sebelum terjadinya erupsi tahun 2006, status Merapi dinaikkan menjadi Siaga pada 12 April 2006. Setelah itu, pada 13 Mei 2006, status Merapi naik menjadi Awas. Artinya, pada tahun 2006, selisih waktu antara status Siaga ke Awas juga sekitar satu bulan.
Sementara itu, pada erupsi besar tahun 2010, situasinya berbeda drastis. Catatan pemberitaan Kompas menunjukkan, pada tahun 2010, status Merapi dinaikkan dari Waspada ke Siaga pada 21 Oktober. Empat hari kemudian atau pada 25 Oktober 2010, status Merapi langsung dinaikkan menjadi Awas karena terjadi peningkatan aktivitas yang sangat signifikan. Setelah itu, pada 26 Oktober 2010 atau sehari sesudah status Awas ditetapkan, Merapi mulai mengalami erupsi eksplosif besar.
Agus mengatakan, pada tahun 2010, waktu yang tersedia untuk mengantisipasi erupsi tergolong pendek. Waktu persiapan yang pendek itu tentu diharapkan tak terulang lagi. Oleh karena itu, semua pihak diminta memahami keputusan BPPTKG menaikkan status Merapi menjadi Siaga pada 5 November lalu.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan, keputusan BPPTKG harus diikuti semua pihak. Ini karena BPPTKG merupakan lembaga yang memiliki kompetensi melakukan pemantauan terhadap aktivitas Gunung Merapi. Apalagi, selama ini BPPTKG juga mempunyai peralatan dan sumber daya manusia untuk terus memantau kondisi Merapi.
”Sesuai dengan perintah Bapak Presiden, setiap kebijakan yang berhubungan dengan kebencanaan harus mengacu kepada riset, harus mengacu pada data-data yang diberikan ahlinya. Kita semua harus ikuti itu,” ujar Doni.
Yang juga harus diingat, Gunung Merapi telah memberi berkah tanah subur serta material pasir dan batu yang bisa ”dipanen” para petambang. Jadi, kapan Merapi erupsi kali ini? Jawabnya pada mitigasi bencana yang sudah dan terus dilakukan.