Antisipasi ”Awas” Merapi, Dibutuhkan Lokasi Pengungsian Baru
Salah satu yang harus segera dilakukan adalah menyiapkan tambahan tempat pengungsian. Semua didasarkan pada protokol kesehatan Covid-19.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah di sekitar Gunung Merapi diminta bersiap mengantisipasi kemungkinan peningkatan aktivitas gunung api tersebut. Salah satunya, menyiapkan tambahan tempat pengungsian karena jumlah warga yang mengungsi bakal bertambah jika aktivitas meningkat.
Staf Ahli Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada, Djati Mardiatno, mengatakan, pemerintah daerah (pemda) harus segera melakukan kalkulasi berapa jumlah warga yang berpotensi mengungsi saat terjadi kenaikan aktivitas Gunung Merapi. Kalkulasi itu penting sebagai dasar untuk menyiapkan tempat pengungsian tambahan.
”Dusun-dusun yang berada di kawasan rawan bencana (KRB) sudah dipetakan semua. Jadi, tinggal dilihat data jumlah penduduknya,” kata Djati saat dihubungi, Senin (16/11/2020), di Yogyakarta.
Sebelumnya, pada Kamis (5/11/2020) pukul 12.00, status Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dinaikkan dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III). Kenaikan status itu kemudian diikuti pengungsian sebagian warga yang tinggal di daerah rawan.
Saat ini, pengungsian tersebar di empat kabupaten, yakni Sleman di DIY serta Magelang, Boyolali, dan Klaten di Jawa Tengah. Namun, hingga sekarang masih ada warga di daerah rawan yang belum mengungsi. Oleh karena itu, jumlah pengungsi masih berpotensi bertambah, terutama apabila terjadi peningkatan status Merapi menjadi Awas (Level IV).
Djati memaparkan, dalam penyiapan tempat pengungsian tambahan, pemda tidak boleh hanya mempertimbangkan jumlah warga yang akan mengungsi. Namun, penerapan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 juga mesti dipertimbangkan.
Oleh karena itu, tempat pengungsian yang disiapkan mesti memungkinkan para pengungsi menerapkan aturan jaga jarak. Ini berarti, jumlah warga yang menempati satu lokasi pengungsian tidak boleh terlalu banyak.
”Pelaksanaan protokol kesehatan selama pengungsian itu harus ketat. Kalau sesuai protokol kesehatan, kan, harus jaga jarak. Kemudian juga harus ada fasilitas cuci tangan dan penyediaan masker yang memadai,” ungkap Djati.
Pemilihan lokasi tempat pengungsian juga mesti dilakukan cermat. Selain mempertimbangkan keamanan dari ancaman erupsi Merapi, pengungsian juga tidak boleh berlokasi di zona merah atau wilayah dengan risiko tinggi penularan penyakit Covid-19.
Hal itu penting untuk meminimalkan risiko penularan penyakit Covid-19 di kalangan pengungsi. ”Jangan sampai warga yang semula tinggal di wilayah zona hijau diungsikan ke zona merah,” tutur Djati.
Di sisi lain, tempat pengungsian idealnya juga tidak terletak terlalu jauh dari tempat tinggal para pengungsi. ”Kalau masih memungkinkan memanfaatkan fasilitas yang ada di sekitar kampung tempat tinggal warga, saya kira enggak apa-apa. Kalau diungsikan ke tempat yang terlalu jauh kan kasihan juga,” ujarnya.
Djati menyatakan, pemda di sekitar Gunung Merapi sebenarnya sudah memiliki standar operasional prosedur (SOP) saat Merapi mengalami peningkatan aktivitas. SOP tersebut disusun berdasar pengalaman penanganan erupsi-erupsi sebelumnya, misalnya tahun 2006 dan tahun 2010.
”Kalau untuk teknis pelaksanaan evakuasi dan penyediaan sarana pendukung pengungsian, saya kira sudah siap karena kita sudah punya pengalaman,” tutur Djati.
Jangan sampai warga yang semula tinggal di wilayah zona hijau diungsikan ke zona merah. (Djati Mardiatno)
Namun, ia mengingatkan, SOP yang digunakan oleh pemda harus mengadopsi protokol kesehatan untuk mencegah penularan penyakit Covid-19. Sebab, hingga sekarang, pandemi Covid-19 belum tertangani secara menyeluruh sehingga penularan penyakit tersebut masih terus terjadi.
”Kalau apa yang harus dilakukan, rencana kontinjensi dan SOP-nya kan sudah ada. Yang mungkin perlu dilakukan adalah bagaimana pelaksanaan protokol kesehatan selama evakuasi dan di lokasi pengungsian,” ujarnya.
Aktivitas tinggi
ecara terpisah, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida mengatakan, selama beberapa hari terakhir, aktivitas Gunung Merapi masih relatif tinggi. Hal itu, antara lain, teramati dari masih tingginya aktivitas kegempaan di Merapi.
Pada Minggu (15/11/2020), misalnya, Merapi mengalami 230 kali gempa fase banyak, 36 kali gempa vulkanik dangkal, 91 kali gempa guguran, 49 kali gempa embusan, 1 kali gempa frekuensi rendah, serta 1 kali gempa tektonik. Di sisi lain, Merapi juga mengalami deformasi atau perubahan bentuk tubuh berupa penggembungan dengan laju 12 sentimeter (cm) per hari.
Namun, Hanik menambahkan, apabila dilihat sejak penetapan status Siaga pada 5 November lalu, aktivitas Gunung Merapi belum mengalami peningkatan signifikan. ”Kondisi Merapi saat ini stabil, tapi aktivitasnya masih tinggi. Jadi, stabil tapi tinggi,” katanya dalam webinar bertema ”Antisipasi Erupsi Merapi di Tengah Pandemi”, Minggu malam, di Yogyakarta.
Oleh karena itu, hingga sekarang, BPPTKG masih menetapkan Merapi dalam status Siaga. Adapun potensi bahaya dari erupsi Merapi saat ini juga masih sama, yakni berupa guguran lava, lontaran material, dan awan panas dengan jangkauan maksimal 5 kilometer dari puncak.
Hanik menambahkan, status Gunung Merapi ditentukan berdasarkan ancaman bahaya dari aktivitas vulkanik gunung api tersebut. Oleh karena itu, selama belum ada peningkatan ancaman bahaya, status Gunung Merapi tidak akan dinaikkan.
”Kalau kami menaikkan status, yang menjadi pertimbangan adalah ancaman bahayanya. Kalau ancaman bahayanya sudah mulai membesar, kami akan menaikkan status,” ujarnya.