Penerapan Protokol Kesehatan di Tempat Pengungsian Merapi Belum Optimal
Penerapan protokol kesehatan di tempat pengungsian warga yang terdampak aktivitas Gunung Merapi perlu diperkuat. Hal ini karena implementasi protokol kesehatan di sejumlah lokasi pengungsian ternyata belum optimal.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Penerapan protokol kesehatan di tempat pengungsian warga yang terdampak aktivitas Gunung Merapi perlu diperkuat. Implementasi protokol kesehatan di sejumlah lokasi pengungsian ternyata belum optimal. Padahal, penerapan protokol kesehatan secara ketat sangat penting untuk mencegah risiko penularan penyakit Covid-19.
Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Rahmawati Husein mengatakan, protokol kesehatan di lokasi pengungsian harus diterapkan dalam empat aspek, yakni sarana prasarana, sistem operasi, aktivitas pengungsi, dan layanan kesehatan.
Aspek sarana prasarana meliputi penyediaan fasilitas yang mendukung penerapan protokol kesehatan, misalnya pembagian masker untuk para pengungsi, penyediaan tempat cuci tangan dan sabun, hingga pemasangan bilik penyekat di lokasi pengungsian.
”Pemasangan bilik-bilik itu penting untuk mengurangi kontak fisik. Penyediaan tempat cuci tangan juga harus diperbanyak. Jangan sampai warga harus mengantre saat mau cuci tangan sehingga malah berkerumun,” ujar Rahmawati saat dihubungi, Sabtu (14/11/2020), di Yogyakarta.
Seperti diberitakan, pada Kamis (5/11/2020) pukul 12.00, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menaikkan status Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III). BPPTKG juga menyatakan, potensi bahaya dari erupsi Merapi saat ini berupa guguran lava, lontaran material, dan awan panas dengan jangkauan maksimal 5 kilometer (km) dari puncak.
Kenaikan status itu kemudian diikuti pengungsian sebagian warga yang tinggal di daerah rawan. Sebagian besar merupakan warga kelompok rentan, yakni orang lanjut usia, anak-anak, ibu hamil, dan penyandang disabilitas. Saat ini, pengungsian tersebar di empat kabupaten, yakni Sleman di DIY serta Magelang, Boyolali, dan Klaten di Jawa Tengah.
Selain kesiapan sarana prasarana, Rahmawati memaparkan, penerapan protokol kesehatan dalam sistem operasi pengelolaan pengungsian juga sangat penting. Aspek sistem operasi berkaitan dengan pengaturan proses pengungsian, sejak evakuasi hingga penempatan warga di lokasi pengungsian.
Rahmawati menuturkan, dalam proses evakuasi warga, petugas harus memastikan tidak muncul kerumunan yang memperbesar risiko penularan Covid-19. Selain itu, saat warga diangkut menggunakan kendaraan, harus dipastikan mereka tidak berdesak-desakan.
”Saat menjemput pengungsi dengan truk, kalau biasanya dilakukan sekali angkut, sekarang mungkin harus diangkut tiga kali agar tidak desak-desakan. Kalau berkerumun risikonya tinggi,” kata Rahmawati, yang juga dosen tata kelola bencana di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain itu, proses keluar masuk di lokasi pengungsian juga harus diatur dengan ketat. Kunjungan tamu dari luar, termasuk kedatangan para pejabat, ke lokasi pengungsian sebaiknya dibatasi. Hal ini penting untuk mencegah risiko penularan dari pengunjung kepada pengungsi atau sebaliknya. ”Tamu-tamu dari luar sebaiknya dibatasi,” tuturnya.
Para sukarelawan yang bertugas di lokasi pengungsian juga mesti dibatasi. Menurut Rahmawati, para sukarelawan yang hendak bertugas di pengungsian harus menjalani tes cepat atau tes usap terlebih dulu. Hal ini penting untuk meminimalkan kemungkinan menularkan penyakit Covid-19 kepada pengungsi.
Ia memaparkan, semua yang masuk dan keluar lokasi pengungsian juga mesti didata dengan baik. Pendataan penting untuk memudahkan tracing atau penelusuran kontak jika terjadi penularan Covid-19 di lokasi pengungsian. Selain itu, pintu masuk dan keluar lokasi pengungsian idealnya juga hanya satu dan diawasi ketat petugas sehingga semua orang yang masuk dan keluar terdata dengan baik.
Sementara itu, aspek aktivitas pengungsi berkaitan dengan pengaturan kegiatan warga di lokasi pengungsian yang harus disesuaikan dengan protokol kesehatan. Rahmawati mengingatkan, aktivitas warga di pengungsian jangan sampai menimbulkan kerumunan dan kontak fisik. Oleh karena itu, jika ada sukarelawan yang ingin membuat aktivitas bersama pengungsi, mereka harus memastikan kegiatan tersebut tak menimbulkan kerumunan dan kontak fisik.
Untuk memastikan penerapan protokol kesehatan secara ketat, Rahmawati menuturkan, harus ada petugas atau sukarelawan yang mengingatkan para pengungsi secara rutin. ”Harus ada orang yang bertugas menegakkan disiplin supaya protokol kesehatan di lokasi pengungsian bisa dijalankan. Misalnya, setiap beberapa jam sekali bisa diingatkan untuk cuci tangan,” katanya.
Rahmawati menambahkan, pemerintah juga harus memastikan adanya layanan kesehatan di lokasi pengungsian. Oleh karena itu, harus ada petugas kesehatan beserta peralatan yang memadai di tempat pengungsian. Hal ini penting agar warga yang diduga terinfeksi Covid-19 bisa dideteksi secara dini dan segera mendapatkan penanganan.
”Sistem rujukannya juga harus disiapkan. Misalnya, kalau ada warga yang sesak napas, entah karena Covid-19 atau karena debu vulkanik, harus sudah disiapkan ambulansnya dan mau dirujuk ke rumah sakit mana,” ujarnya.
Implementasi
Rahmawati menuturkan, pada Rabu (11/11/2020), dirinya sempat memantau lokasi pengungsian warga yang terdampak aktivitas Merapi di empat kabupaten, yakni Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten. Berdasarkan hasil pantauan, masih ada beberapa kondisi kurang memenuhi protokol kesehatan.
Contohnya, pendataan pengunjung keluar dan masuk lokasi pengungsian belum dilakukan secara ketat. Oleh karena itu, masih ada pengunjung yang bisa masuk ke tempat pengungsian tanpa harus didata oleh petugas.
Selain itu, Rahmawati juga melihat adanya kegiatan di lokasi pengungsian yang masih menimbulkan kerumunan dan kontak fisik. Kondisi itu menunjukkan, penerapan protokol kesehatan di tempat pengungsian masih harus diperkuat.
Saat ini, pemerintah dan pihak-pihak terkait masih memiliki waktu untuk menyiapkan penerapan protokol kesehatan di lokasi pengungsian secara lebih baik. Sebab, hingga sekarang, status Gunung Merapi masih Siaga dan belum dinaikkan ke Awas (Level IV) sehingga belum seluruh warga di daerah bahaya mengungsi.
”Sekarang, kan, masih Siaga, belum Awas. Kalau sudah Awas, seluruh warga di radius tertentu kan harus diungsikan. Jadi, justru saat ini kesempatan untuk mempersiapkan sebaik mungkin,” ujarnya.
Di tempat terpisah, epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, mengatakan, pada masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, jumlah warga yang ditempatkan di satu lokasi pengungsian sebaiknya tidak terlalu banyak. Hal ini untuk meminimalkan kerumunan warga di satu tempat yang bisa meningkatkan risiko penularan Covid-19.
”Pengungsian itu, kan, biasanya skala besar. Padahal, semakin besar kerumunan akan semakin meningkatkan risiko penularan,” ujar Riris.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memperbanyak lokasi pengungsian agar warga tidak berkumpul di satu lokasi saja dengan jumlah besar. ”Harusnya pengungsian itu dalam situasi sekarang tidak terlalu besar. Kalau dulu kan misalnya satu stadion dipakai. Sekarang, pengungsian itu lebih baik kecil-kecil, tapi jumlahnya banyak,” ujarnya.
Pemerintah juga sebaiknya tidak menugaskan sukarelawan dari luar daerah untuk membantu di lokasi pengungsian. Hal ini penting untuk meminimalkan risiko penularan Covid-19 dari relawan kepada pengungsi.
”Relawan sebaiknya tidak diambil dari luar karena semakin banyak orang masuk juga akan semakin meningkatkan risiko penularan,” tuturnya.