Pekerja Migran Asal Pati Dianiaya Majikan di Singapura hingga Buta
Sugiyem berangkat ke Singapura melalui Batam, Kepulauan Riau, pada 2015. Ia masuk dengan jalur nonprosedural sehingga tidak terdata di dinas tenaga kerja dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Pekerja migran Indonesia atau PMI asal Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Sugiyem (49), dianiaya majikannya hingga bermasalah pada penglihatan dan pendengarannya. Penanganan dilakukan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia berkoordinasi dengan Kedutaan Besar RI di Singapura.
Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaan BP2MI Semarang Rodli, Kamis (5/11/2020), mengatakan, pihaknya mendapat informasi itu dari salah satu lembaga swadaya masyarakat di Pati. Tinjauan pun dilakukan tim ke rumah Sugiyem, Rabu (28/10/2020).
Rodli menuturkan, Sugiyem berangkat ke Singapura melalui Batam, Kepulauan Riau, pada 2015 dengan jalur nonprosedural sehingga tidak terdata di dinas tenaga kerja dan BP2MI. Pada empat tahun pertama, ia bekerja pada satu majikan dengan dua kali kontrak.
Pada Agustus 2019, agen di Singapura memindahkannya ke majikan kedua. ”Di awal-awal bekerja, tak terjadi apa-apa. Namun, sejak April 2020, majikan perempuan sering marah-marah. Saat memuncak, Sugiyem dipukul dengan gantungan baju plastik hingga beberapa lapis,” ujarnya.
Kekerasan oleh majikan terus berlanjut hingga membuat mata Sugiyem satu per satu tak bisa melihat. Sugiyem juga mengalami luka di telinga kiri yang membuat ada gangguan pendengaran dan bagian punggung. Bahkan, tangan kanannya sempat disetrika yang menyisakan bekas luka yang sudah mengering.
Bahkan, tangan kanannya sempat disetrika yang menyisakan bekas luka yang sudah mengering.
Rodli mengatakan, dari pengakuan Sugiyem, majikannya marah karena tak puas dengan pekerjaan yang dilakukannya. Namun, selanjutnya, alasan kemarahan semakin tak rasional. Adapun Sugiyem, yang pernah bekerja 12 tahun di Arab, berkomunikasi dengan majikannya dengan bahasa Melayu.
Sugiyem juga dilarang pulang oleh majikannya. ”Hingga akhirnya ia mengaku disantet. Dari situ, baru majikannya membolehkan pulang. Sugiyem diantar majikannya sampai bandara pada 23 Oktober. Sempat transit di Bandara Soekarno-Hatta semalaman, Sugiyem tiba di Bandara Ahmad Yani, Semarang, 24 Oktober,” katanya.
Adapun pembayaran upah Sugiyem, sebesar 560 dollar Singapura atau sekitar Rp 5,9 juta per bulan, tak ada masalah atau selalu dibayarkan. Bahkan, saat pulang, majikannya memberi uang tambahan Rp 2 juta dan membiayai biaya perjalanan pulang sepenuhnya.
BP2MI Semarang telah mengirim laporan resmi kepada KBRI di Singapura, yang diterima pada Selasa (3/11/2020). ”Hari ini (Kamis), tim kami ke rumah Sugiyem lagi untuk melengkapi laporan, yakni dengan merekam pernyataan langsung dari Sugiyem melalui video,” ujar Rodli.
Sebelumnya, melalui siaran pers, pada Selasa, pihak KBRI di Singapura memastikan bahwa alamat majikan yang disebutkan Sugiyem benar adanya. Keberadaan Sugiyem di Singapura legal atau sesuai ketentuan. KBRI berkoordinasi erat dengan instansi terkait di Indonesia untuk mendapatkan bukti-bukti kekerasan.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja Pati Tri Hariyama menuturkan, Sugiyem memang tidak terdaftar secara resmi sebagai PMI. Namun, Pemkab Pati tetap memberi bantuan kepada Sugiyem dan terus berkoordinasi dengan pihak BP2MI Semarang.
Kepada warga Pati yang hendak bekerja ke luar negeri, Tri mengimbau agar selalu menempuh prosedur yang benar. Sebab, jika terjadi kasus, penanganannya akan lebih cepat karena profilnya terdata. ”Kejadian kemarin itu di luar prosedur, tetapi tetap didampingi semaksimal mungkin,” katanya.