Saat Kesehatan Reproduksi Masih Dilekatkan dengan Pelajaran Biologi
Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi bagi remaja belum mendapatkan porsi yang cukup untuk dikupas di sekolah dan di rumah. Cara penyampaian materi ini pun harus tepat agar tidak keliru ditafsirkan anak.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah remaja mengaku belum mendapatkan pengetahuan yang memadai soal kesehatan reproduksi. Padahal, mereka menganggap isu ini penting untuk didiskusikan secara terbuka dengan guru dan orangtua.
Michelle (17), siswa kelas XII di salah satu SMA di Bogor, Jawa Barat, mendapat pelajaran tentang kesehatan reproduksi sewaktu SD. Waktu itu, guru biologi menerangkan tentang fungsi organ tubuh manusia.
”Tetapi waktu itu materinya sangat umum banget, materi IPA soal penjelasan soal fungsi organ tubuh. Di SMP dan SMA, materi kespro (kesehatan reproduksi) tak lagi diajarkan secara spesifik, termasuk dari guru bimbingan konseling (BK),” katanya ketika dihubungi, Kamis (5/11/2020).
Baca juga: Hoaks tentang Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Mengintai Siswa
Selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi Covid-19, katanya, ada jadwal mengajar guru BK sekali seminggu selama satu jam pelajaran. Berhubung dia kelas III, materi BK banyak diisi dengan pengenalan tentang universitas atau pendidikan tinggi.
”Sesekali guru BK masuk membahas tentang cara kerja otak dan cara mengontrol emosi. Namun,pendidikan seksual tidak dibahas secara spesifik,” ujarnya.
Michelle beruntung karena orangtuanya cukup peduli mengenai isu ini. Ketika ada berita tentang remaja hamil di luar nikah, orangtuanya selalu mengingatkan agar dia tak bergaul dengan lawan jenis. Kendati demikian, obrolan mengenai hal ini terasa agak canggung. Ini karena jarak usia membuat obrolan tak sebebas ketika berbincang dengan teman sebaya.
Menurut dia, pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi sangat penting untuk dipelajari. Lebih baik sekolah memberikan materi tersebut ketimbang remaja belajar sendiri. Sebab, belajar sendiri punya kekurangan, yaitu tak ada panduan sejauh pengetahuan itu terverifikasi.
Baca juga: 3.000 Anak Umur 10-14 Tahun Melahirkan
Michelle memiliki batasan tertentu dalam pergaulan, terutama dengan lawan jenis. Boleh saja menjalin hubungan dekat selama hubungan itu bertujuan untuk saling dukung. ”Misalnya ketika cowok itu pintar. Kalau lagi dekat sama dia, kan kita juga ikut terpacu untuk belajar,” katanya.
Di SMP dan SMA, materi kesehatan reproduksi tak lagi diajarkan secara spesifik.
Furkhan Afiansah (17), siswa kelas X di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Jakarta Barat, menjelaskan, dirinya tak begitu akrab dengan materi pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi. Selama PJJ, guru BK hanya mengatur absensi siswa setiap hari.
Furkhan merupakan lulusan Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di Jakarta. Saat masih di MTsN, guru BK mengajar sekali seminggu. Materinya lebih banyak membahas tentang sikap dan perilaku.
Guru agama juga kadang membahas tentang larangan dalam pergaulan, seperti larangan pacaran. Larangan ini tidak sepenuhnya berhasil. Sebagian temannya di MTsN sudah banyak yang berpacaran. ”Kadang, guru-guru mata pelajaran lain waktu di MTsN sering juga meledek. Masih kecil kok sudah pacaran,” katanya saat ditemui di Rawa Belong, Jakarta Barat.
Furkhan sebenarnya menaruh perasaan terhadap salah seorang teman perempuannya. Mereka sering mengobrol lewat aplikasi percakapan. Mereka pun sering mengerjakan tugas bersama. Akan tetapi, hubungan mereka tak pernah sampai ke tingkat pacaran.
”Saya banyak terima curhatan dari teman-teman yang pacaran. Menurut saya, pacaran cuma buang-buang tenaga,” katanya.
”Tidak boleh pacaran dulu. Kalau sudah bisa cari uang, baru boleh pacaran,” timpal Mama Furkhan mendengar penuturan anaknya itu.
Guru agama juga kadang membahas tentang larangan dalam pergaulan, seperti larangan pacaran. Namun, larangan ini tidak sepenuhnya berhasil. Sebagian temannya di MTsN sudah banyak yang berpacaran.
Riski Wijaya (18), siswa kelas IX SMP swasta di Jakarta Barat, mengaku pernah pacaran sekali. Saat kelas VII, ia berpacaran dengan kakak kelas. ”Waktu itu kami ketemu terus langsung saya ’tembak’, ternyata diterima. Namun, pacarannya cuma berlangsung seminggu,” jelasnya.
Dalam hubungan yang singkat itu, Riski pernah mengajak pacarnya jalan-jalan ke Monumen Nasional (Monas). Hubungan itu putus di tengah jalan lantaran terkendala biaya. ”Dia sering minta dijajanin, kan susah. Uang jajan saya cuma Rp 10.000 per hari,” katanya.
Dalam berhubungan dengan lawan jenis, Riski tak mendapat pengetahuan dari luar. Guru BK di sekolah pun tak membahas tentang tema ini. Ketertarikan terhadap perempuan muncul begitu saja saat dia memasuki akil balig.
Ibunda Riski, Siti Soleha (50), tidak terlalu ambil pusing dengan kisah cinta monyet anaknya. Namun, dia bisa mengidentifikasi ketika anaknya sedang kasmaran. Hal itu dia ketahui ketika anaknya sering menelepon tengah malam dan terlihat rapi saat berangkat ke sekolah.
Kendati demikian, dia tak ingin terlalu mendikte anaknya. Kalau terlalu nyinyir, dia khawatir anaknya akan memberontak. ”Saya enggak pernah nanya-nanya. Lagian Riski ini anaknya nggak banyak ngobrol. Dia bicara secukupnya saja. Namun, saya selalu ingetin agar enggak mencelakai anak orang,” katanya.
Guru BK Alnoferi (30) menjelaskan, guru BK sebenarnya mengajarkan pengenalan kesehatan reproduksi. Di tingkat SLTA, materi ini dibahas di kelas XI. ”Biasanya membahas tentang hubungan antara organ reproduksi dan kepribadian. Bagaimana mereka harus menjaga kebersihan alat reproduksi dan bagaimana harus bersikap terhadap lawan jenis saat remaja,” ujar guru BK di salah satu SMK di Nias Selatan, Sumatera Utara, ini.
Dia melanjutkan, layanan konseling kesehatan reproduksi bersifat umum dan khusus. Disebut umum karena hal itu menyangkut dengan teori dan pengetahuan. Kegiatannya bisa menggandeng dinas kesehatan untuk sosialisasi di sekolah.
Kasus khusus adalah ketika murid mengalami persoalan terkait hal itu. Ini bisa dilakukan dengan konseling tatap muka di ruang BK tanpa melibatkan siswa lain.
Baca juga: Pendidikan Kesehatan Reproduksi Kian Terhambat
Jika di sekolah tak tertentu guru BK tak mengajarkan materi tersebut, dia melanjutkan, bisa jadi karena pertimbangan waktu dan kebijakan dari kepala sekolah. Sebab, tidak semua sekolah menekankan urgensi dari bimbingan dan konseling.
”Bisa saja jam mengajar guru BK kadang terpakai oleh guru lain karena pertimbangan guru sertifikasi harus mengajar 24 jam seminggu. Makanya, di setiap sekolah bisa berbeda-beda. Apalagi kalau kepala sekolahnya belum memahami betul pentingnya BK,” ujarnya.
Selain itu, kondisi sekolah dan lingkungan sekitar turut menjadi pertimbangan guru BK dalam memberikan layanan. Di sekolah tempatnya mengajar, tantangan terbesar adalah memastikan anak-anak tetap berangkat sekolah. Sekolahnya berada di perbukitan dan termasuk wilayah terpencil.
”Jadi, penekanan saya ketika mengajar di depan kelas adalah memotivasi murid untuk ke sekolah. Menjelaskan kepada mereka bahwa pendidikan itu penting. Di sekolah lain atau sekolah yang berada di kota besar, tantangannya bisa jadi berbeda,” katanya.
Sebelum Covid-19, Feri rutin masuk kelas setiap sekali seminggu. Dia mengajar selama satu jam pelajaran. Namun, selama Covid-19, jadwal guru BK mengajar di kelas ditiadakan. Ini karena pembelajaran di sekolah hanya berlangsung selama tiga hari.
Hasil dari Diskusi Para Pihak dan Pameran Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di Asia Pasifik yang diselenggarakan secara virtual di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (3/11/2020), menjelaskan, PJJ membuat penyampaian materi kesehatan reproduksi dan seksualitas makin menantang. Apalagi, akses internet masih menjadi kendala bagi sejumlah negara (Kompas, 4 November 2020).
Sejumlah pihak telah menyampaikan materi kesehatan reproduksi secara daring, tetapi tetap saja kualitas dan jangkauannya tidak sebaik pendidikan tatap muka. Di luar hal itu, guru dituntut untuk dapat menyampaikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas dengan baik. Jangan sampai materi disalahpahami oleh siswa dan orangtua mereka.