Diperkirakan sejumlah 3.000 anak perempuan usia 10-14 tahun sudah melahirkan pada 2015. Kondisi ini bisa memperberat upaya pembangunan ekonomi maupun pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih adanya anak perempuan usia 10-14 tahun yang melahirkan menjadi tantangan berat untuk mencapai cita-cita Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Situasi itu bisa berdampak besar bagi upaya menyejahterakan bangsa.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Subandi Sardjoko dalam webinar ”Kesehatan Reproduksi dan Kelahiran Usia Remaja” di Jakarta, Rabu (4/10/2020), memperkirakan ada 3.000 anak perempuan usia 10-14 tahun yang sudah melahirkan pada 2015.
Jumlah itu dihitung berdasarkan perkiraan angka kelahiran menurut umur 10-14 tahun (ASFR 10-14) yang dihitung Badan Pusat Statistik dan Bappenas berdasarkan data Survei Penduduk Antarsensus 2015 sebesar 0,286 kelahiran per 1.000 anak perempuan usia yang sama. Sementara jumlah anak perempuan umur 10-14 tahun pada 2015 mencapai 10,9 juta orang.
Data ASFR 10-14 akan digunakan sebagai salah satu indikator capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Selama ini, data ASFR untuk remaja yang tersedia hanya untuk umur 15-19 tahun. Padahal, ASFR 10-14 juga diperhitungkan dalam indikator SDG.
Untuk ASFR 15-19 berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 mencapai 36 kelahiran per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun. ”Jumlah ini turun signifikan (dibandingkan tahun-tahun sebelumnya), namun ada indikasi aborsi di kalangan remaja,” katanya.
Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia Omas Bulan Samosir mengatakan, data lain menyebut ASFR 10-14 Indonesia pada 2018 mencapai 0,15 kelahiran per 1.000 perempuan usia yang sama. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan rata-rata ASFR 10-14 ASEAN sebesar 0,21 dan terendah kedua setelah Singapura sebesar 0,08.
”Pencapaian pembangunan ekonomi memiliki hubungan erat dengan fertilitas perempuan remaja,” katanya. Makin kecil jumlah remaja yang melahirkan di satu wilayah, maka indeks pembangunan manusianya akan makin tinggi, kematian ibu hamil dan melahirkan makin kecil, dan status gizi anak makin baik.
Karena itu, masih adanya anak usia 10-14 tahun yang melahirkan perlu menjadi perhatian serius semua pihak. Terlebih, lanjut Subandi, ada kecenderungan pubertas anak saat ini terjadi pada usia lebih dini dan perilaku berisiko remaja terus meningkat.
SDKI 2017 menyebut, ada 1,5 persen perempuan dan 7,6 persen laki-laki usia 15-24 tahun sudah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Ada 7 persen perempuan usia 15-19 tahun sudah menjadi ibu, 5 persen sudah melahirkan, dan 2 persen sedang hamil anak pertama.
Selain itu, tren pernikahan di usia anak atau remaja justru makin meningkat. Meskipun Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengampanyekan usia ideal perkawinan 21 tahun bagi mempelai perempuan dan 25 tahun bagi mempelai laki-laki, nyatanya perkawianan di usia anak terus terjadi.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, perkawinan usia anak membuat hilangnya kesempatan anak untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal. Hubungan seksual saat remaja juga meningkatkan risiko tertular berbagai penyakit infeksi menular seksual, berisiko mengalami kehamilan tak diinginkan, terjadinya aborsi tidak aman, hingga pernikahan dini.
Secara biologis, tubuh remaja memang belum siap untuk melahirkan. Di masa depan, mereka juga lebih rentan menderita kanker mulut rahim (serviks) dan mengalami kerapuhan tulang. Secara psikologis, mereka umumnya juga belum siap menjadi seorang ibu hingga berisiko melahirkan anak dengan gangguan tumbuh kembang, meningkatkan risiko perceraian, hingga melanggengkan kemiskinan. ”Pendidikan kesehatan reproduksi penting bagi remaja,” tegas Hasto.
Hal senada diungkapkan psikolog seksual Zoya Amirin. Menurut dia, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas masih banyak disalahpahami sebagai upaya mengajarkan anak remaja berhubungan badan. Padahal, pendidikan itu untuk membekali anak remaja agar memahami tubuhnya hingga mampu mengontrol diri dan mengambil kebijakan yang tepat untuk dirinya.
”Jika mereka memiliki ilmu dan paham dengan rangsangan yang muncul di tubuhnya, mereka bisa membuat keputusan lebih bijaksana,” katanya.
Semua pihak memiliki peran untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak remaja, terutama orangtua dan guru. Nyatanya, penabuan tentang seksualitas dan ketidakmampuan orangtua mengomunikasikan persoalan tersebut membuat banyak anak remaja justru lebih banyak mendapat informasi kesehatan reproduksi dari teman atau internet.
”Penabuan justru membuat akses remaja terhadap kesehatan reproduksi menjadi tidak cukup,” tambah Duta Generasi Berencana (Genre) Jakarta Selatan 2020 Yulia Dwi Rakhmawati.
Situasi itu tentu mengancam bonus demografi yang saat ini sedang terjadi di Indonesia dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2021-2022. Karena itu, kesehatan remaja penting disiapkan, baik kesehatan fisik, mental, maupun reproduksi, untuk menunjang produktivitas mereka agar bonus demografi tidak berubah menjadi bencana demografi.