JAKARTA, KOMPAS — Tanpa ada pandemi Covid-19 pun, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas menghadapi tantangan berat. Penutupan sekolah dan kampus akibat pembatasan sosial dan karantina wilayah membuat upaya penjangkauan, edukasi, dan penyebaran informasi kesehatan reproduksi kepada anak muda dan remaja makin sulit.
Tantangan yang dihadapi banyak negara itu, bukan hanya Indonesia, mengemuka dalam Dialog Parapihak dan Pameran Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Asia Pasifik yang diselenggarakan secara virtual dari Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (3/11/2020). Kondisi itu mengancam kesehatan anak muda dan kesejahteran bangsa di masa depan.
”Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (comprehensive sexuality education) memberikan landasan hidup untuk mendorong perilaku yang bertanggung jawab dan kesetaran jender,” kata Direktur Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Asia Pasifik Björn Andersson.
Baca juga : Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk Mitigasi Risiko
Berbagai riset menunjukkan bahwa akses pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang baik akan mendorong anak muda memiliki perilaku yang sehat dan aman. Pengetahuan dan informasi yang memadai tentang kesehatan reproduksi akan meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan anak muda serta menjamin hak-hak mereka.
Namun, banyak negara di Asia Pasifik menghadapi tantangan besar untuk memasukkan persoalan ini dalam kurikulum sistem pendidikan formal mereka. Pendidikan kesehatan reproduksi masih banyak disalahpahami sebagai upaya mendorong seks bebas pada anak muda. Aspek kesehatan dan kesejahteraan anak muda yang sangat memengaruhi produktivitas mereka justru sering terabaikan.
Karena itu, penting bagi para guru untuk mampu menyampaikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas dengan baik hingga materi yang diajarkan tidak disalahpahami, baik oleh siswa maupun orangtua siswa.
”Guru perlu dilatih untuk bisa mengajarkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas dengan baik. Jika tidak, anak muda tidak akan mendapatkan pembelajaran berkualitas yang mereka butuhkan,” kata Direktur Biro Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) Asia Pasifik Shigeru Aoyagi.
Pengalihan sistem pendidikan dari sekolah tatap muka ke pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 membuat penjangkauan siswa untuk penyampaian pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas makin menantang. Akses internet masih menjadi kendala besar di banyak negara Asia Pasifik, khususnya negara berpenghasilan menengah dan bawah.
Penjangkauan anak-anak muda di daerah terpencil, kelompok minoritas, penyandang disabilitas hingga penyintas bencana juga menghadapi tantangan yang kian menantang. Sejumlah pihak berusaha mengatasi persoalan itu dengan memberikan materi pendidikan kesehatan reproduksi secara daring.
Baca juga : Pendidikan Kesehatan Reproduksi Masih Jauh dari Harapan
Namun, kualitas dan jangkauannya tentu tidak sebaik pendidikan tatap muka. Kalaupun dilakukan tatap muka, pesertanya lebih terbatas demi menerapkan aturan protokol kesehatan.
Bukan hanya sekolah yang ditutup, layanan kesehatan remaja di sejumlah fasilitas kesehatan pun banyak yang dibatasi karena tenaga dan fasilitas kesehatan yang ada difokuskan oleh pemerintah untuk penanganan Covid-19.
Sementara itu, Amala Rahmah selaku Perwakilan Rutgers WPF Indonesia mengatakan, persoalan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas bukan persoalan pendidikan atau kurikulum sekolah semata. Di Indonesia, otonomi daerah membuat kebijakan pendidikan tingkat dasar dan menengah ada dalam kendali pemerintah daerah yang belum semuanya memahami pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi.
Untuk meyakinkan pemerintah daerah, pengenalan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi perlu disesuaikan dengan kondisi dan persoalan yang dihadapi setiap daerah. Isu yang dihadapi daerah ini beragam, mulai dari tingginya kehamilan remaja, anak jalanan, hingga kekerasan seksual terhadap anak.
Namun, apa pun tantangan dan kendala yang dihadapi, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas bagi anak muda dan remaja perlu terus didorong. Tanpa upaya tersebut, cita-cita untuk menjadikan tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam pembangunan sesuai prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 akan sulit tercapai.
Baca juga : Kenali Kesehatan Reproduksi sejak Dini