UU Cipta Kerja Bakal Menambah Panjang Daftar Konflik Lahan di Kalteng
UU Cipta Kerja dinilai akan menambah panjang daftar konflik lahan ataupun buruh kebun di Kalimantan Tengah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Seusai ditandatangani Presiden Joko Widodo, Undang-Undang Cipta Kerja akan berlaku. Kebijakan itu dinilai akan menambah panjang daftar konflik lahan ataupun buruh kebun di Kalimantan Tengah. Kondisi itu terjadi di tengah penanganan konflik di Kalteng yang juga belum memuaskan.
Sekretaris Serikat Pekerja Sawit Indonesia (Sepasi) Provinsi Kalteng Dianto Arifin mengungkapkan, pihaknya kecewa karena pemerintah pusat, khususnya Presiden Joko Widodo, tidak mendengarkan keinginan masyarakat dan kaum buruh. Dengan sahnya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU), beban berat akan menimpa buruh kebun.
”Sejak awal kami sudah menolak, banyak masalahnya, mulai dari pesangon dan persoalan jam kerja. Apalagi, upah minimum provinsi (UMP) 2021 tidak naik. Yang lama saja sudah bermasalah, apalagi kebijakan yang baru,” kata Dianto, saat dihubungi dari Palangkaraya, Selasa (3/11/2020).
Dianto menambahkan, ratusan ribu buruh kebun sawit di Kalteng saat ini diupah dengan sistem kerja borongan. Sistem itu juga dilakukan dengan target yang tidak logis. ”Sistem itu, kan, menggunakan target. Misalnya, kalau hari ini memupuk targetnya 40 karung per hari, tetapi normalnya kami hanya bisa 25 karung, jadi upahnya dibayar setengah saja,” kata Dianto.
Dianto mengungkapkan, jika bisa memenuhi target borongan, buruh mendapatkan upah Rp 119.000 per hari. Namun, situasi di lapangan berbeda. ”Paling upah hanya setengahnya, padahal kami kerja kadang tak pakai pelindung diri, bahkan kami beli sendiri peralatan,” katanya.
Dia menambahkan, pengesahan UU Cipta Kerja ini menunjukkan pemerintah hanya berpihak kepada kepentingan investor, sementara kehidupan buruh makin jauh dari layak. ”Kebutuhan hidup kami dan keluarga untuk sejahtera pun kian jauh,” kata Dianto.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya Aryo Nugroho mengungkapkan, UU Cipta Kerja merupakan bentuk kebijakan inkonstitusional dan tidak bisa dibatalkan lewat konstitusi. Mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang sia-sia. ”Kebijakan ini mempermudah investasi sehingga diprediksi konflik tanah akan meningkat tajam, apalagi semua perizinan berada di tangan pusat,” kata Aryo.
Aryo menambahkan, hingga kini, perizinan yang dikeluarkan pemerintah daerah saja masih banyak yang berujung konflik. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng mencatat, selama 2005-2018 setidaknya terdapat 345 konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit yang penyelesaiannya tidak optimal.
”Pemberian izin akan jauh lebih mudah, tidak banyak pertimbangannya, apalagi soal lingkungan. Ke depan, jika ada konflik, pemerintah daerah hanya akan melimpahkannya ke pusat. Penanganan yang sebelumnya tidak optimal akan makin kacau,” ungkap Aryo.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Tengah Halind Ardi mengungkapkan, pihaknya tidak melawan pemerintah dan akan menjalankan kebijakan yang dibuat pemerintah. Di satu sisi, pihaknya juga tetap akan melayani kebutuhan dan kesejahteraan para buruh.
”Ini, kan, kebijakan dan kami juga tidak bisa melawan pemerintah. Jadi, tetap semuanya harus dipertimbangkan, di satu sisi kesejahteraan buruh juga penting,” kata Halind.
Halind menjelaskan, persoalan upah memang selalu muncul, jauh sebelum RUU Cipta Kerja dibahas oleh legislatif. Menurut dia, upah merupakan kesepakatan antara perusahaan dan pekerja di awal. ”Jadi, itu harus sudah ada kesepakatan sehingga kemudian hari tidak ada lagi masalah,” katanya.
Halind mengungkapkan, anggota GAPKI Kalteng mencapai 110 perusahaan dengan total 302.000 buruh sawit. Jumlah itu di luar anggota keluarga buruh yang dibawa tinggal di dalam perkebunan atau di sekitar perkebunan. ”Kami setiap tiga bulan itu ada evaluasi. Jadi, jika ada masalah, buruh sawit harus berani melaporkannya, jangan diam saja,” kata Halind.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Kalteng Syahril Tarigan enggan berkomentar banyak lantaran belum melihat lagi isi terbaru dari UU Cipta Kerja dan kaitannya dengan buruh. Meskipun demikian, menurut dia, pembahasan kebijakan itu sudah dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, termasuk poin-poin yang dikritisi serikat buruh.
”Kami siap menjalankan saja dan menyesuaikan dengan kondisi di daerah jika memang sudah disepakati dan disahkan. Akan tetapi, saya pikir kebijakan itu dibuat juga untuk kebaikan semua,” ungkap Syahril.