Memulihkan Harmoni Kota Bengawan
Magnet Pilkada Kota Solo tak bisa lepas dari majunya putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Namun, di balik riuh kontestasi, persoalan intoleransi dan pelambatan ekonomi mesti diselesaikan pemimpin terpilih.
Pemilihan kepala daerah di Kota Solo, Jawa Tengah, menjadi perbincangan publik karena keikutsertaan putra Presiden Joko Widodo. Walakin, diskusi ihwal kontestasi itu tak semestinya menenggelamkan seabrek persoalan yang menanti pemimpin Solo mendatang.
Di antara ratusan daerah yang menggelar pilkada tahun ini, Kota Surakarta atau Solo bisa jadi merupakan salah satu daerah dengan sorotan besar. Tak bisa dimungkiri, keikutsertaan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, dalam kontestasi calon Wali Kota Solo menjadi magnet kuat. Gibran berpasangan dengan Teguh Prakosa, yang juga sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Solo.
Selain didukung PDI-P, Gibran juga mendapat sokongan empat partai politik (parpol) yang memiliki kursi di DPRD Solo, yakni Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Gerindra, dan Partai Solidaritas Indonesia. Pasangan Gibran-Teguh juga didukung parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD Solo, misalnya Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Nasdem.
Jika ditotal, parpol pendukung pasangan Gibran-Teguh menguasai 40 dari 45 kursi di DPRD Solo. Satu-satunya parpol pemilik kursi di DPRD Solo yang tak mendukung Gibran adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Namun, PKS yang memiliki 5 kursi tak bisa mengusung calon sendiri karena dibutuhkan minimal 9 kursi di DPRD Solo untuk mengusung calon.
Baca juga: Mendaftar Jadi Calon Wali Kota Solo, Gibran Janji Patuhi Protokol Kesehatan dalam Pilkada
Dengan komposisi seperti itu, penantang pasangan Gibran-Teguh dalam Pilkada Solo memang tidak berasal dari kalangan parpol. Tantangan justru datang dari pasangan Bagyo Wahyono dan FX Suparjo yang maju melalui jalur perseorangan atau independen. Yang mengejutkan, keduanya orang baru di kancah dunia politik.
Keduanya potret orang biasa. Bukan pengusaha besar, apalagi pejabat. Bagyo merupakan warga Kelurahan Penumping, Kecamatan Laweyan, Solo, yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit. Adapun Suparjo merupakan ketua rukun warga (RW) di Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Solo. Dalam Pilkada Solo, kedunya didukung organisasi kemasyarakatan bernama Tikus Pithi Hanata Baris.
Baca juga: Tantang Gibran di Pilkada Solo, Pasangan Bagyo-Supardjo Tolak Disebut Calon Boneka
Problem krusial
Dalam berbagai pemberitaan, sorotan terhadap Pilkada Solo nyaris selalu berfokus pada kontestasi yang melibatkan Gibran. Wajar, keikutsertaan Gibran dalam Pilkada Solo membuat dahi banyak orang mengernyit. Sebab, Gibran yang dalam banyak kesempatan terlihat tak suka dengan sorotan publik dan selalu mengaku lebih nyaman menjadi wirausaha.
Tak ada yang salah karena semua warga punya hak yang sama dalam demokrasi. Termasuk di dalamnya memilih atau dipilih dalam kontestasi pilkada.
Sayangnya, perhatian publik terkesan justru habis tersedot pada kontestasi politik putra Presiden di tanah kelahirannya. Padahal, Solo punya sejumlah masalah yang mesti diurai oleh pemimpinnya mendatang.
Apalagi, kota ini menyimpan sejumlah persoalan krusial, misalnya benih-benih intoleransi yang beberapa kali muncul ke permukaan. Peristiwa intoleransi terakhir terjadi pada 8 Agustus 2020 saat sekelompok massa membubarkan acara keluarga di salah satu rumah warga di Kecamatan Pasar Kliwon, Solo. Peristiwa itu diduga terjadi karena massa mengira acara tersebut merupakan acara keagamaan yang tak sesuai dengan keyakinan mereka.
Padahal, berdasar keterangan polisi, acara itu merupakan acara keluarga yang digelar karena salah seorang anggota keluarga akan melangsungkan pernikahan keesokan harinya. Dalam peristiwa itu, tiga orang terluka karena dianiaya massa, sedangkan sejumlah kendaraan juga dirusak. Hingga awal Oktober, polisi telah menangkap sedikitnya 12 tersangka yang terlibat.
Baca juga: Polisi Tangkap Dua Pelaku Terkait Pembubaran Acara Keluarga di Pasar Kliwon Solo
Sebelum kejadian di Pasar Kliwon, peristiwa bernuansa intoleransi juga pernah terjadi pada Desember 2019. Saat itu, muncul penolakan dari sekelompok orang terhadap rencana kedatangan seorang tokoh agama ke Solo. Dalam peristiwa itu, sempat muncul ketegangan di antara dua kelompok massa, tetapi polisi berhasil menengahi mereka. Pada masa sebelumnya, riak-riak intoleransi lain juga beberapa kali terjadi.
Jangan menoleransi intoleransi di tengah kebinekaan yang ada.
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, terjadinya intoleransi di Solo tak bisa dilepaskan dari keberadaan kelompok-kelompok yang memiliki paham keagamaan intoleran di wilayah Solo Raya. Saat menjalankan aksi, kelompok-kelompok intoleran itu tidak selalu digerakkan motif keagamaan, tetapi kadang hendak memperluas pengaruh di bidang politik atau ekonomi.
Halili memaparkan, untuk mencegah terus berulangnya peristiwa intoleransi, wali kota dan wakil wali kota Solo yang terpilih mendatang harus bisa bersikap tegas dan tidak memberi ruang gerak kepada kelompok-kelompok intoleran.
”Jangan menoleransi intoleransi di tengah kebinekaan yang ada. Ini penting karena saya melihat terkadang ada ruang untuk menoleransi aksi yang dilakukan beberapa kelompok intoleran itu,” katanya.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah Taslim Syahlan mengakui, Kota Solo bisa disebut zona merah kasus intoleran di Jateng. Sebab, dibandingkan wilayah lain, Kota Solo paling banyak kasusnya. Yang patut diwaspadai, lanjut Taslim, eskalasi kasus intoleransi kerap naik menjelang pilkada atau pemilu.
Selain intoleransi, persoalan krusial yang dialami Solo adalah pelambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Seperti daerah lain, Solo juga masih berjuang menanggulangi pandemi Covid-19, termasuk dampak ekonomi yang ditimbulkan. Pelambatan ekonomi di Solo terutama tampak pada sektor pariwisata dan aktivitas pendukungnya, seperti perhotelan.
Baca juga: ”Pil Pahit” untuk Melawan Covid-19 di Solo
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Solo, pada April 2020 atau saat masa awal pandemi Covid-19, tingkat hunian kamar atau okupansi hotel berbintang di Solo hanya 10,85 persen atau menurun 20,24 persen dibandingkan kondisi Maret 2020. Bahkan, apabila dibandingkan kondisi April 2019, tingkat hunian hotel berbintang itu menurun 45,76 persen.
Beberapa bulan terakhir, okupansi hotel berbintang di Solo memang meningkat. Pada Juni 2020, misalnya, okupansi hotel di Solo sebesar 19,41 persen. Angka itu kemudian meningkat menjadi 28,62 persen pada Juli, lalu naik lagi menjadi 30,96 persen pada Agustus 2020. Meski telah meningkat, okupansi hotel berbintang di Solo pada Agustus lalu masih jauh dari okupansi pada Agustus 2019 yang mencapai 57,50 persen.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret, Solo, Bambang Irawan, mengatakan, pada masa pandemi Covid-19, sektor pariwisata di Solo bisa dikatakan mati suri. Akibatnya, menurut Bambang, sejumlah hotel di Solo terpaksa merumahkan sebagian karyawannya.
Bambang menambahkan, saat wacana normal baru mencuat, muncul harapan aktivitas wisata di Solo akan kembali pulih. Namun, wacana itu ternyata justru diikuti penambahan jumlah kasus Covid-19 sehingga pariwisata di Solo belum sepenuhnya pulih. ”Untuk wali kota yang baru nanti, saya berharap segera mempersiapkan sektor pariwisata di Solo untuk siap menerima wisatawan lagi,” ujarnya.
Program kandidat
Gibran menyatakan, pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19 menjadi salah satu program prioritas yang diusungnya. Dalam dokumen visi misi yang diunggah di situs resmi KPU Solo, pasangan Gibran-Teguh berjanji memfokuskan belanja pemerintah daerah untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
”Pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 itu program prioritas dari saya dan Pak Teguh. Tujuannya agar ekonomi itu kembali lagi seperti semula. Cari rezeki gampang, yang punya warung, ya, warungnya ramai lagi,” kata Gibran dalam kampanye daring yang disiarkan di Facebook, Minggu (27/9/2020).
Terkait masalah intoleransi, pasangan Gibran-Teguh berjanji akan mewujudkan kerukunan antarumat beragama yang saling menghormati. Janji itu tercantum dalam poin tujuh dari misi pasangan tersebut.
Sementara itu, dalam dokumen visi misinya, pasangan Bagyo-Suparjo berjanji meningkatkan rasa toleransi di antara masyarakat Solo. Upaya itu dilakukan dengan menumbuhkan sikap saling menghormati dan kemauan untuk bergotong royong di antara elemen masyarakat yang berbeda.
Terkait masalah ekonomi, Bagyo berjanji akan memberi bantuan kepada masyarakat miskin berdasar data yang valid. Untuk mendapat data yang valid itu, Bagyo menyebut akan melakukan pendataan ulang terhadap warga miskin jika dirinya terpilih sebagai wali kota. ”Jadi, tidak hanya pencatatan, tetapi sensus ulang agar bantuan tidak salah sasaran,” katanya dalam konferensi pers usai mendaftar ke KPU Solo, Minggu (6/9/2020).
Selain persoalan ekonomi, saatnya pemimpin Solo selama lima tahun mendatang berani merombak citra kota yang belakangan justru lebih dikenal dengan aksi kekerasan dan intolerannya. Jika terus dibiarkan, pada gilirannya, situasi ini dikhawatirkan mengganggu harmoni sosial dan ekonomi di kampung halaman Presiden ke-7 RI Joko Widodo.