Dalam Ricuh, Bandung Kembali ke Zaman Batu
Aksi pelemparan batu, pembakaran, dan pukul-memukul jadi hal yang kerap dijumpai dalam kericuhan saat unjuk rasa di antara dua kubu. Kekerasan menjadi santapan yang membuat dilema, apakah dibiarkan atau direkam saksama.
Setiap meliput aksi kerusuhan dalam unjuk rasa, terkadang tidak hanya lapangan saja yang menjadi arena pertempuran. Dalam diri saya, bentrokan pun terjadi antardua pihak, yaitu perasaan ingin merekam semua kekerasan atau mencari aman agar tidak menjadi sasaran bogem mentah.
Setidaknya bentrokan itu pun masih ada hingga saya menuliskan ini, Sabtu (10/10/2020). Kerusuhan dalam diri ini terjadi lebih lama dari rentetan aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh yang melanda Kota Bandung selama lebih kurang tiga hari.
Bandung menjadi bagian dari pergerakan massa menolak RUU Cipta Kerja yang juga terjadi di berbagai belahan negeri. Saya yakin kondisi serupa terjadi di sebagian daerah. Jalan-jalan menjadi arena saling lempar batu, kayu, pembatas jalan, kerikil, botol air mineral dengan isi berwarna dan berbau pesing, bahkan bom molotov yang menghasilkan api membara.
Baca juga: Ting Tung! Maaf, ”Suara” Anda Kami Matikan…
Kondisi ini mengingatkan saya akan film dokumenter tentang bagaimana manusia purba hidup dan memperluas kekuasaan. Benar, mereka berperang dengan saling melempar batu, tombak, apa pun yang dijumpai.
Bagi saya, mengamati aksi yang berujung ricuh seakan melihat dua kubu manusia prasejarah yang sedang berperang. Namun, tidak dengan suara ”gugugaga” atau loncat-loncat seperti kera, mereka saling mengintimidasi dengan menyebut kata kasar yang memprovokasi.
Pada Kamis (8/10/2020) sore, kondisi Jalan Diponegoro, antara Gedung Sate dan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jabar, kembali memanas. Meski hujan deras sejenak menyiram ”Kota Kembang” dan mendung masih menggelayut hingga batas senja, emosi ribuan orang yang berkonsentrasi di beberapa titik tetap membara.
Upaya Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang datang sekitar pukul 14.00 untuk menenangkan massa buruh pun hanya berdampak sementara. Dua jam kemudian, jalanan itu kembali menjadi arena rusuh.
Namun, massa yang memprovokasi tidak dengan seragam atau tidak membawa bendera serikat buruh, tetapi kelompok orang tanpa atribut dan lusuh. Massa mahasiswa yang tadinya meneriakkan ungkapan penolakan RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPRD yang berjarak sekitar 100 meter dari Gedung Sate menjadi terenyak.
Kelompok liar
Para mahasiswa semakin merapatkan barisan agar tidak disusupi provokator yang hendak ikut demonstrasi, tetapi dengan cara membuat rusuh massa aksi. Sekitar pukul 16.00, sekelompok massa lain pun datang dari arah Jalan Cilamaya menuju persimpangan dengan Jalan Diponegoro, tepatnya di sebelah barat Gedung Sate. Mereka menjadi pemisah antara massa anarkistis dari Gedung Sate dan mahasiswa yang bertahan di depan Gedung DPRD.
Kelompok yang menghadang massa liar dari Gedung Sate ini pun menjadi sasaran. Massa dari Gedung Sate melempari membabi buta ke arah Jalan Cilamaya.
Kelompok lain yang berasal dari Jalan Cilamaya pun lari tunggang langgang masuk ke Gedung Sate melalui Pintu Barat untuk berlindung. Batu bata, beton trotoar, dan kerucut pembatas jalan menjadi amunisi untuk dilemparkan ke segala penjuru. Bahkan, bagian dalam kawasan Gedung Sate pun menjadi sasaran.
Saya mencoba mencari lokasi aman. Karena tidak ada tameng dari petugas kepolisian, saya terpaksa mengandalkan pohon-pohon kokoh di pinggir jalan untuk berlindung dari lemparan. Sesekali kamera membidik aksi anarkistis yang terlihat. Sial, ternyata blur, tidak jelas karena keterbatasan lensa.
Lebih kurang satu jam kemudian, puluhan polisi yang berjaga di Pintu Utara Gedung Sate pun keluar memecah massa. Gas air mata dan kendaraan taktis yang menyemprotkan air dikerahkan untuk memukul mundur massa keluar dari ruas jalan di luar Gedung Sate.
Massa anarkistis bubar, tetapi massa mahasiswa masih bertahan. Akhirnya saya bisa menyelonjorkan kaki. Namun, sejenak kemudian, ponsel di dalam saku bergetar.
”Bung, cicil berita saja dulu di situ, jangan tunggu ending. Nanti malam pasti ramai lagi,” ternyata Kepala Biro Kompas Jabar Cornelius Helmy menghubungi lewat pesan singkat di grup WA. Saya langsung menjawab, ”Siap Mas, cari tempat aman dulu.”
Baca juga: Mahasiswa Diimbau Tak Ikut Demo, Kebebasan Akademis Tercederai
Tempat teraman yang saya pikirkan adalah kantin Gesat (Gedung Sate) yang berada di bagian selatan kompleks pemerintahan Jabar ini. Kondisi tenang, jauh dari hiruk pikuk kericuhan. Akhirnya otak bercampur perut yang lapar menghasilkan ide, ”Sambil menulis, sepertinya mi rebus enak juga.”
Seruputan kuah mi itu menjadi makanan terenak yang terakhir saya rasakan malam itu. Tulisan beres, mangkuk mi kosong, dan hujan mulai reda. Petang berganti malam, ruas jalan di depan Gedung Sate dan DPRD telah dikuasai personel kepolisian.
Ternyata, mahasiswa telah dipukul mundur oleh personel kepolisian dengan alasan sudah melewati waktu unjuk rasa yang diperbolehkan, yaitu pukul 18.00. Kepolisian berkilah, upaya pukul mundur itu dilaksanakan dengan tegas dan terukur.
”Kami masih belum bisa menentukan massa aksi ini datang dari mana. Yang penting, provokator yang melakukan kerusuhan ini bukan dari kelompok mahasiswa ataupun buruh,” tutur Kapolrestabes Bandung Kombes Ulung Sampurna Jaya saat ditemui awak media di depan Gedung DPRD Jabar. Kepalanya penuh keringat dengan wajah tampak lelah, tetapi tetap bersuara tegas dan tersenyum.
Taman radio
Di luar gedung, petugas kebersihan tampak menyapu jalanan dan arus kendaraan mulai mengalir. Awalnya saya berpikir seluruh drama kericuhan sudah selesai, tetapi pada pukul 18.37, tiba-tiba ponsel kembali bergetar, ada telepon.
”Ada bentrok tuh di Taman Radio, keliatan dari hotel gue,” tutur Putra, teman saya yang sedang menginap di salah satu hotel di Jalan Ir Juanda, dari seberang telepon.
Berarti, ada kericuhan antara massa mahasiswa dan kepolisian karena taman tersebut berada di jalur massa mahasiswa yang biasanya berdiam di Kampus Universitas Islam Negeri Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) di Jalan Tamansari. Kedua kampus ini berjarak lebih kurang 300 meter dari Taman Radio.
Setelah mengucapkan terima kasih, akhirnya saya memutuskan untuk berjalan ke lokasi melalui Jalan Trunojoyo. Sepanjang jalan, lalu lintas mulai diramaikan kendaraan. Saya berpikir kericuhan yang ada tidak begitu besar, hanya riak kecil karena massa mahasiswa dipaksa mundur dari Gedung DPRD.
Masuk ke Jalan Sultan Tirtayasa, kondisi mulai kelam mencekam. Hanya cahaya lampu strobo dari kendaraan polisi yang terpantul di permukaan jalan bersama lampu beberapa hotel yang berada di sisi jalan. Semakin mendekati Jalan Ir Juanda, tiba-tiba suara gemerisik terdengar. Udara sesak, terasa bekas gas air mata.
Kemudian terdengar bunyi seperti rintik hujan. Awalnya saya berpikir butiran hujan, ternyata butiran kerikil yang dilemparkan acak dari kubu seberang. Beruntung, saya berada di sisi petugas kepolisian yang telah melakukan barikade. Susunan tameng yang dilakukan mirip pasukan legiun Romawi kuno.
Tameng polisi setinggi 2 meter berdiri kokoh berbaris sejajar sekitar 10 unit. Sedangkan 10 lainnya diletakkan di atas tameng yang berdiri tersebut untuk melindungi serangan dari atas. ”Lumayan sedikit beradab,” pikirku.
Awalnya, saya berpikiran formasi ini lumayan aman, setidaknya di ruas Jalan Sultan Tirtayasa yang memiliki lebar lebih kurang 5 meter, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Namun, pemikiran itu buyar seketika saat percikan kembang api menyerang dari atas, lalu memantul lewat kabel listrik.
Saya tidak tahu, mereka sekadar beruntung atau memang memiliki kemampuan membidik kabel listrik dengan akurat. Pantulan kembang api itu menukik ke arah petugas yang berdiri acak di bagian dalam barikade. Mereka melompat ke segala penjuru.
Barisan depan pun mulai goyah. Sial, celah tercipta dari bagian tengah barikade. Kembang api kedua pun masuk ke dalam sela tameng dan meletus di antara petugas yang baru saja melompat. Mereka pun kembali menghindari kembang api yang kemudian pecah berwarna-warni.
Petugas mulai membalas, tidak tahu dari mana, dari belakang barisan muncul sekelompok orang berpakaian serba hitam serta menggunakan topi, helm, dan masker. Petugas barikade memberikan mereka celah untuk keluar berhadapan dengan massa aksi dari seberang jalan.
Mereka mengeluarkan teriakan-teriakan, makian, dan ungkapan provokasi yang saya dengar seperti ”gugugaga”-nya manusia prasejarah untuk mengintimidasi lawan. Dari belakang, petugas menembakkan gas air mata ke arah massa untuk memukul mundur mereka.
Dalam rentetan tembakan itu, saya melihat seorang petugas yang sudah agak tua mengarahkan senapan gas air mata ke depan, tetapi kurang ke atas. Saya menebak dalam hati, ”Enggak bakal bener, nih.” Ternyata dugaan saya benar, peluru gas air mata membentur kabel listrik dan jatuh di dekat pasukan barikade dan massa berpakaian hitam. Pasukan seketika buyar.
”Mundur! Jangan sampai barikade pecah!” teriak koordinator. Kedua pasukan ini mundur sambil menggerutu. Saya yang berdiri tidak jauh dari mereka pun merasakan gas air mata yang menyengat, membuat tenggorokan tercekat dan air mata serta cairan hidung keluar tak terkendali. Saya juga ikut menggerutu.
Tidak sampai 15 menit, kendaraan taktis masuk ke arena kericuhan bersama belasan sepeda motor dengan suara knalpot yang nyaring. Mereka mengejar belasan orang yang berhamburan. Bangku-bangku milik pedagang kaki lima berantakan, motor berserakan. Sebagian kursi dan meja pedagang diletakkan di tengah jalan dan dibakar oleh massa.
Jangan difoto
Saya pun menyiapkan kamera, memotret kondisi yang sudah mulai terkendali. Saat memotret fasilitas yang dibakar dan sepeda motor yang berserakan, saya mendengar deru sepeda motor mendekat. Dua petugas membawa salah seorang yang diduga peserta aksi di boncengan.
Lelaki yang saya duga remaja ini menjadi bulan-bulanan para petugas. Dia babak belur, dipukul, ditampar, ditendang. ”Allahu akbar! Ampun, Pak! Ampun!” teriaknya pilu. Melihat saya yang membawa kamera ini mendekat, salah satu petugas mencoba menahan saya. Bicaranya halus, tetapi memiliki nada penekanan.
”Maaf Bang, jangan difoto, ya,” tuturnya singkat sambil menyuruh saya mundur. Di satu sisi, saya tidak bisa membiarkan itu terjadi karena sudah seharusnya petugas tidak melakukan tindakan fisik, apalagi saat orang itu sudah tidak membahayakan.
Beruntung, petugas lain meminta mereka berhenti mengeroyok dan menyuruh kendaraan itu melanjutkan perjalanan. Saya hanya bisa terdiam melihat mereka berbuat anarkistis, sama saja seperti manusia purba yang tidak punya aturan.
Baca juga: Wartawan Mengalami Kekerasan dan Alat Kerja Dirampas
Di satu sisi, saya sadar itu merupakan pelanggaran dan bisa menjadi bukti. Namun, di sisi lain, saya tidak bisa apa-apa karena merasa terancam. Tidak ada awak media lain di lokasi itu. Hanya saya yang teridentifikasi sebagai pers, di antara belasan petugas kepolisian yang menetralkan situasi.
Kesal karena tidak bisa apa-apa, saya akhirnya meninggalkan mereka menuju Kampus Unisba dan Unpas di Jalan Tamansari. Saat menuju kampus, saya dihadang puluhan orang yang berasal dari massa aksi yang berlawanan dengan polisi.
”Woi! Dari mana! Cegat orang itu, cegat!” tutur salah satu dari mereka sambil menunjuk ke arah saya. Belasan remaja mendatangi, sebagian membawa balok kayu dan siap untuk memukul.
Dalam situasi genting, saya kembali teringat cara menghadapi binatang buas, yaitu jangan berbalik arah dan menampakkan punggung. Jika langsung balik kanan dan berlari, mereka pasti mengira saya bagian dari aparat kepolisian, lantas akan menyerang layaknya binatang buas tersebut.
Dengan tenang, saya mengeluarkan kartu identitas pers sambil mengangkat kedua tangan, memberi isyarat saya tidak membawa apa-apa. Salah seorang remaja melihat kartu, kemudian berteriak ke kerumunan rekannya.
”Aman! Dari Kompas. Silakan Pak Wartawan,” tuturnya sambil memberikan ruang untuk berjalan.
Tidak sampai tiga menit berjalan, saya tiba di depan Kampus Unisba. Mahasiswa tumpah ruah memenuhi jalan. Sebagian besar berlindung di dalam kampus. Pagar ditutup rapat petugas dan mereka menanyai setiap orang yang akan memasuki kampus.
Zaman batu
Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari rekan media lain, korban luka dan sesak napas akibat kerusuhan dibawa ke Kampus Unpas yang berjarak hanya 100 meter dari Kampus Unisba. Ratusan mahasiswa pun masih memadati ruas Jalan Tamansari di antara dua kampus ini.
”Jumlah korban yang kami rawat lebih dari 100 orang. Ada 10 korban dengan perdarahan di kepala dan kaki serta yang diduga serangan jantung kami larikan ke rumah sakit,” ujar Rezky Hidayah, koordinator lapangan siaga medis dari Korps Suka Rela (KSR) Unpas.
Ini bukan jumlah yang sedikit. Karena itu, saya memutuskan mengajukan listing ke kepala biro untuk pemberitaan di Kompas.id. Setelah disetujui, saya akhirnya menulis di sudut kampus yang berdekatan dengan lapangan perawatan di Unpas. Selama penulisan, saya mengamati beberapa orang ditandu ke lokasi perawatan.
Baca juga: Aksi Tolak RUU Cipta Kerja di Bandung Berujung Bentrok, Ratusan Mahasiswa Dirawat
Penulisan berita pun selesai sekitar pukul 21.40. Setelah menunggu lebih kurang setengah jam untuk mengamati situasi, akhirnya saya memutuskan untuk pulang meski suasana masih ramai dan belum kondusif.
Melihat situasi dan di Google Maps masih merah, saya memutuskan untuk berjalan memutar melalui Jalan RE Martadinata untuk kembali ke Gedung Sate karena sepeda motor diparkir di sana. Keputusan itu diambil untuk mencari jalur aman daripada harus memutar.
Sepanjang perjalanan saya berpikir, mengapa penyampaian pendapat harus dengan cara yang beringas dan tidak berkelas? Di sisi lain, mengapa harus ada aparat yang melakukan kekerasan fisik meski mereka berdalih untuk mendidik?
Baca juga: RUU Cipta Kerja dan Ironi Kekuasaan Mayoritas
Yang saya tahu, selama tiga hari ini, Kota Bandung mundur ke Zaman Batu. Setiap gerombolan mengandalkan suara dan lempar-lemparan batu seperti manusia purba daripada menyampaikan pendapat dengan santun dan beradab.