Mahasiswa Diimbau Tak Ikut Demo, Kebebasan Akademis Tercederai
Ditjen Pendidikan Tinggi mengeluarkan surat imbauan kepada perguruan tinggi agar mahasiswa tidak turun ke jalan terkait demo RUU Cipta Kerja.
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan surat imbauan pembelajaran daring dan sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja pada 9 Oktober 2020. Isinya dinilai sebagai upaya negara mendisiplinkan kampus dan mencederai kebebasan akademis.
Surat Imbauan Pembelajaran Daring dan Sosialisasi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja bernomor 1035/E/KM/2020. Surat ini ditujukan kepada seluruh pemimpin perguruan tinggi dan memiliki tujuh poin. Pertama, pimpinan perguruan tinggi dimohon menjaga ketenangan dan suasana pembelajaran yang kondusif.
Kedua, tetap melaksanakan pembelajaran secara daring/pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan para mahasiswa melaksanakan pembelajaran dari tempat tinggalnya masing-masing. Ketiga, para dosen diharapkan tetap melaksanakan pembelajaran daring, memantau kehadiran, dan meningkatkan interaksi selama pembelajaran.
Baca juga: Mahasiswa Yogya Menilai UU Cipta Kerja Lemahkan Perlindungan Tenaga Kerja
Keempat, mengimbau para mahasiswa agar tidak turut serta dalam kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/ penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan para mahasiswa pada masa pandemi ini.
Poin kelima adalah perguruan tinggi dimohon membantu menyosialisasikan isi UU Cipta Kerja dan mendorong kajian-kajian akademis obyektif atas UU itu. Hasil pemikiran dan aspirasi dari kampus hendaknya disampaikan kepada pemerintah ataupun DPR melalui mekanisme yang ada dengan cara-cara yang santun.
Poin keenam adalah pemimpin perguruan tinggi dimohon menginstruksikan para dosen agar senantiasa mendorong mahasiswa melakukan kegiatan intelektual dalam menyikapi secara kritis UU Cipta Kerja ataupun produk kebijakan lainnya. Dosen tidak memprovokasi mahasiswa untuk mengikuti/mengadakan kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan para mahasiswa.
Ketujuh, pimpinan perguruan tinggi dimohon mengimbau para orang tua/wali mahasiswa agar turut menjaga putra/putrinya melakukan pembelajaran dari tempat tinggalnya masing-masing.
Herlambang P Wiratraman, koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Sabtu (10/9/2020), di Jakarta, memandang poin imbauan pertama terkesan negara menyalahkan kampus atas demonstrasi di berbagai tempat yang melibatkan mahasiswa. Demonstrasi bisa terjadi karena proses perumusan UU Cipta Kerja yang tidak transparan dan melibatkan publik.
Ada asap ada api. Suasana tidak tenang seperti sekarang ini sebenarnya berakar dari ketidakjelasan proses penyusunan UU Cipta Kerja. (Herlambang P Wiratraman)
”Kampus sudah paham tentang pentingnya menjaga ketenangan dan kondisi kondusif. Ada asap ada api. Suasana tidak tenang seperti sekarang ini sebenarnya berakar dari ketidakjelasan proses penyusunan UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Poin kedua mengenai permohonan tetap melaksanakan PJJ. Herlambang berpendapat, poin itu tampaknya negara menuduh kampus tidak serius menjalankan PJJ. Pemerintah seharusnya tidak perlu khawatir karena tanpa imbauan pun, perguruan tinggi tetap menyelenggarakan PJJ.
Imbauan di poin keempat juga tak lepas dari kritik. Menurut dia, akademisi memahami risiko terpapar penyebaran Covid-19. Mereka sebenarnya tidak mau turun ke jalan dan demonstrasi. Demonstrasi juga bagian dari kebebasan berekspresi dan ini adalah hak konstitusi.
”Ada standar ganda diberikan pemerintah kepada masyarakat. Menyuarakan aspirasi terhadap UU Cipta Kerja melalui demonstrasi di jalan dibatasi, tetapi kampanye pemilihan umum kepala daerah di ruang publik dibiarkan terus berlangsung,” kata Herlambang.
Kampus sebagai ruang mengembangkan pemikiran kritis semestinya dihargai. Tugas kampus itu pendidikan, analisis dampak, dan keilmuwan, bukan memberi tahu. Oleh karena itu, dia menilai poin imbauan keenam tidak relevan.
Prinsip-prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik tahun 2017 pada prinsip pertama dikatakan, kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik.
Baca juga: Kebebasan Akademis Indonesia dalam Ancaman
Prinsip keempat adalah insan akademisi harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademis yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan.
Adapun prinsip kelima adalah otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademis.
Akademisi dipastikan selalu tahu ada Prinsip-prinsip Surabaya. Akademisi juga tahu dan amat memahami adanya UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi yang di dalamnya mewadahi kebebasan membuat mimbar akademik dan otonomi keilmuan.
”Poin keenam surat imbauan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi itu terlalu berlebihan. Terkesan mengingatkan dosen, ingin mendisiplinkan kampus, dan mengabaikan Prinsip-prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik. Cara seperti itu mengembalikan rezim otoritarian Orde Baru,” kata Herlambang.
Tidak bebas
Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora saat dihubungi terpisah memandang surat imbauan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menunjukkan bahwa mahasiswa dianggap pemerintah mengancam eksistensi UU Cipta Kerja yang telah disetujui DPR untuk disahkan. Selain itu, demonstrasi akademisi dinilai pemerintah melawan hukum dan etika.
”Pendidikan tinggi tidak seutuhnya bebas dari tekanan pemerintah,” ujarnya.
Nelson mengamati, kejadian imbauan seperti itu bukan kali pertama. Saat demonstrasi mahasiswa dan akademisi menyangkut UU KPK, pihak pemerintah pun mengeluarkan imbauan serupa.
Kami khawatir kritik akademik atau semua yang dianggap melawan pemerintah lambat laun akan kena represi. (Nelson Nikodemus Simamora)
”Kami khawatir, kritik akademik atau semua yang dianggap melawan pemerintah lambat laun akan kena represi,” kata Nelson.
Dosen Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta, Abdil Mughis Mudhoffir, yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law, menjelaskan, demonstrasi adalah tindakan yang konstitusional dan bagian dari cara dalam menyampaikan pendapat. Demonstrasi dilakukan sebagai respons atas buntunya saluran kritik lainnya, baik yang telah disampaikan melalui kertas kebijakan, karya ilmiah, maupun opini di media.
Menurut dia, imbauan kepada dosen untuk tidak memprovokasi mahasiswa melakukan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja adalah bentuk intervensi politik terhadap independensi dosen sebagai akademisi yang hanya bertanggung jawab pada tegaknya kebenaran. Imbauan ini juga terkesan merendahkan seolah mahasiswa tidak memiliki independensi dalam bersikap melihat ketidakadilan dan kesewenangan penguasa.
”Demi tegaknya otonomi kampus dan integritas perguruan tinggi sebagai lembaga pengetahuan yang hanya mengabdi pada kebenaran, kami menolak segala bentuk intervensi politik yang sekadar melayani kepentingan tertentu,” ujar Abdil.
Diundang
Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Djagal Wiseso Marseno saat dihubungi terpisah, menyampaikan, kemarin, rektor-rektor, terutama dari perguruan tinggi negeri, dikumpulkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dalam forum. Forum ini bersifat pengayakan terhadap surat imbauan.
”Pihak pro dan kontra terhadap UU Cipta Kerja perlu duduk bersama. Perguruan tinggi dipersilakan membuka forum akademik yang netral, bukan menyandang kepentingan politik tertentu. Kami rasa, peran perguruan tinggi adalah menyeimbangkan,” ujarnya.
Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta Yoyong Arfiadi, saat dihubungi terpisah, menyampaikan, terkait UU Cipta Kerja, pihaknya mendorong sivitas akademika melakukan kajian secara komprehensif. Jika ada keberatan terhadap pasal-pasal dalam UU itu, rektorat mendorong agar sivitas akademika menempuh jalur judicial review dibandingkan unjuk rasa.
Sosialisasi
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam saat dikonfirmasi menekankan sosialisasi yang dimaksud dalam surat imbauan itu adalah meminta rektor perguruan tinggi mengkaji secara akademis.
”Tentunya, untuk bisa dilakukan kajian yang baik harus disosialisasikan isi UU Cipta Kerja. Dengan demikian, sivitas akademika bisa mendalami aspek positif dan negatifnya, apa ada pasal yg melanggar konstitusi, apa manfaat dan kerugiannya,” katanya.
Dia berharap, melalui imbauan itu, terjadi kritik ataupun koreksi yang konstruktif dan produktif. Tidak ada masukan desktruktif, salah paham, dan dipicu hoaks. Hasil masukan bisa langsung diserahkan kepada DPR dan pemerintah.
”Diskusi UU Cipta kan bisa daring. Selama ini diskusi daring kan sudah banyak berjalan,” kata Nizam.
Baca juga: Menjaga Kebebasan Sipil