Jurnalis di Semarang Dipaksa Hapus Video saat Meliput Unjuk Rasa
Sejumlah jurnalis yang meliput kericuhan di sekitar gedung DPRD Jawa Tengah, Rabu kemarin diminta menghapus dokumen video di ponsel. Aliansi Jurnalis Independen tengah mengumpulkan bukti dan akan melaporkan hal itu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Sejumlah jurnalis mendapat intimidasi berupa pemaksaan menghapus dokumen video di ponsel oleh polisi, saat meliput unjuk rasa menentang Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/10/2020). Terkait hal ini, Kepolisian Daerah Jateng berkilah tak pernah melarang liputan jurnalis.
Salah satu korban intimidasi tersebut ialah wartawan Suara.com, Dafi Yusuf, yang tengah meliput di sekitar Gedung DPRD Jateng. Saat itu, setelah terjadi pelemparan, polisi membubarkan massa dengan meriam air dan gas air mata.
"Kejadiannya sekitar pukul 16.30. Saya dilarang merekam saat ada penindakan kepada massa aksi oleh polisi. Video yang sudah saya ambil disuruh dihapus," ujar Dafi, Kamis (8/10/2020). Dafi, yang mengenakan tanda pengenal wartawan, kemudian menghapusnya.
Hal serupa juga dialami Rahdyan, wartawan Tribun Jateng, yang hendak mengambil gambar video saat sejumlah peserta unjuk rasa diamankan dan dinaikkan ke mobil polisi. Saat itu, dengan nada keras, seorang polisi memaksa mengambil ponselnya, lalu menghapus video.
"HP saya diminta, coba dihapus oleh polisi tersebut, kemudian dikembalikan ke saya. Polisi juga menyentak dengan bilang \'Jangan divideo, podo (sama-sama) kesel (capai)," kata Rahdyan.
Dari pantauan, sebelum terjadi gesekan yang membuat polisi membubarkan massa, unjuk rasa sebenarnya relatif bisa terkendali meski pagar kompleks Gubernur dan DPRD Jateng sempat jebol. Polisi berjaga, sedangkan massa tetap bisa menyuarakan aspirasi.
Namun, setelah dari arah massa aksi terjadi lemparan sejumlah benda ke arah polisi tanpa henti, sekitar pukul 15.00, meriam air dan gas air mata pun mulai dilepaskan aparat. Para pengunjuk rasa berlarian. Polisi menangkap sejumlah orang yang diduga terkait perusakan. Saat itu, para jurnalis masih berada di lokasi dan meliput.
Hal itu bertentangan dengan Pasal 18 Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, yakni tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers. (Edi Faisol)
Terkait hal tersebut, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Edi Faisol memaparkan, sejauh ini sudah ada tiga wartawan peliput aksi unjuk rasa yang mengalami intimidasi dan melapor ke pihaknya. Ia berharap, wartawan lain yang mengalami hal serupa juga agar segera melapor ke AJI Kota Semarang.
"Mereka menekan dan menghalangi kerja jurnalistik dengan meminta file dan dokumen untuk dihapus. Teman-teman sendiri lalu ada yang menghapusnya, tetapi ada yang masih tersimpan. Hal itu bertentangan dengan Pasal 18 Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, yakni tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers," kata Edi.
Kumpulkan bukti
Edi mengungkapkan, pihaknya berencana melaporkan tindakan tersebut ke Polda Jateng, termasuk Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Namun, sebelum itu, pihaknya masih mengumpulkan bukti-bukti lapangan dulu terkait kejadian yang dialami para jurnalis.
Ia pun mengimbau kepada para jurnalis yang meliput gelombang unjuk rasa menentang RUU Cipta Kerja untuk mengutamakan keselamatan diri. "Termasuk menggunakan atribut jurnalis. Saat terjadi kerusuhan, agar menjaga jarak demi keselamatan, tetapi masih bisa mendapat gambar atau informasi," ungkap Edi.
Sementara itu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jateng, Komisaris Besar Iskandar Fitriana Sutisna, menegaskan aparat kepolisian tidak pernah menghalang-halangi jurnalis saat meliput kegiatan apapun.
"Bahwa polisi tidak pernah melarang jurnalistik apalagi menghalang-halangi kegiatan peliputan wartawan sepanjang ada identitas wartawan. Dalam situasi dan kondisi unjuk rasa yang meningkat, polisi berusaha melindungi warga dari aksi kekerasan agar tak menjadi korban," ujar Iskandar, dalam keterangannya.
Ia pun mengingatkan para jurnalis media agar menggunakan identitas, baik itu berupa seragam, topi, maupun kartu pengenal saat meliput. Dengan begitu, aparat polisi dapat membedakan antara warga, jurnalis, pendemo, dan kelompok lain.