Mahasiswa di Manado Kembali Unjuk Rasa, DPRD Janji Salurkan Aspirasi
Ratusan mahasiswa kembali berunjuk rasa untuk menolak RUU Cipta Kerja di Manado, Sulut. DPRD menyatakan akan membawa aspirasi itu dan memperjuangkannya demi perubahan progresif.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Ratusan mahasiswa yang menamai diri Aliansi Sulawesi Utara Bergerak kembali berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di depan Gedung DPRD Sulut, Manado, Kamis (8/10/2020). Perwakilan DPRD Sulut menyatakan menerima aspirasi mereka dan akan turut memperjuangkan perbaikan RUU tersebut.
Setelah menggelar aksi pertama yang diikuti sekitar 70 orang pada Selasa (6/10/2020), Aliansi Sulut Bergerak yang terdiri atas beberapa organisasi kemahasiswaan dan pemuda (OKP) kembali berunjuk rasa, kali ini dengan massa yang lebih besar. Mereka berkumpul di Taman Makam Pahlawan Kairagi, lalu berjalan sekitar 4 kilometer ke Gedung DPRD Sulut.
Perwakilan dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Manado, Alpianus Tempongbuka (22), mengatakan, jumlah peserta unjuk rasa kali ini jauh lebih besar, sekitar 900 orang dari 28 OKP. Namun, di lapangan, peserta aksi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja itu diperkirakan 500-600 orang.
Massa mahasiswa itu tiba di depan kantor DPRD Sulut sekitar pukul 12.00 Wita. Ratusan personel kepolisian dari Polres Manado dan Markas Komando Brigade Mobil Polda Sulut telah menanti mereka di depan gerbang kantor DPRD serta di tengah Jalan Raya Manado-Bitung. Beberapa mobil meriam air (water cannon) dan kendaraan taktis barakuda juga telah disiagakan.
Para mahasiswa menyerukan nyanyian yang mengolok DPR sambil membawa sejumlah spanduk dan poster berisi seruan penolakan RUU Cipta Kerja. Mahasiswa juga bersikeras meminta polisi mempersilakan mereka masuk ke halaman kantor DPRD Sulut, tetapi negosiasi tak membuahkan hasil.
Anggota DPRD Sulut dari Partai Solidaritas Indonesia, Melky Pangemanan, yang menemui massa, menyatakan akan menampung aspirasi para mahasiswa. Sebab, RUU Cipta Kerja adalah produk hukum DPR dan kementerian sehingga tak dapat diubah DPRD.
”Karena itu, kami minta masukan teman-teman dalam bentuk poin-poin aspirasi. Kami akan sampaikan kepada DPR dan kementerian jika teman-teman punya masukan demi mendorong perubahan yang progresif,” kata Melky.
Tidak ada kerugian material ataupun korban luka dan jiwa dalam unjuk rasa ini.
Namun, massa terus mendesak agar diperbolehkan masuk ke halaman gedung DPRD. Kepolisian meminta massa mengirimkan 18 perwakilan untuk berbincang di dalam gedung. Namun, sementara negosiasi berlangsung, massa terus mendesak agar diperbolehkan masuk ke halaman kantor.
Bentrokan pun terjadi karena aksi baku dorong setelah negosiasi tak menemukan kesepakatan. Polisi membubarkan bentrokan itu dengan menarik tujuh orang yang dianggap menjadi provokator. Sejak itu, seiring dengan hujan yang turun, para koordinator aksi lebih banyak meminta polisi membebaskan tujuh orang yang ditangkap ketimbang mengagitasi massa.
Setelah negosiasi panjang di tengah hujan, polisi mengembalikan ketujuh mahasiswa itu. Massa kemudian berangsur surut. Mereka sempat membakar ban di ujung jalan sehingga lalu lintas tersendat, tetapi api segera dipadamkan dan massa dibubarkan. Kepala Polres Manado Komisaris Besar Elvianus Laoli mengatakan, tidak ada kerugian material ataupun korban luka dan jiwa dalam unjuk rasa ini.
Wakil Ketua DPRD Sulut dari Fraksi Partai Demokrat, Billy Lombok, mengatakan, DPRD telah menerima poin-poin masukan dari para mahasiswa. Ia mengaku belum dapat membacanya satu per satu, tetapi akan mempelajari dan memperjuangkannya.
”Kami akan terus kawal aspirasi dari tokoh masyarakat, pemuda, dan mahasiswa. Kami buka ruang seluas-luasnya untuk berdiskusi dan menemukan masukan terbaik bagi RUU Cipta Kerja,” kata Billy.
Ia menambahkan, Partai Demokrat tetap menolak dengan tegas RUU Cipta Kerja yang telah disepakati. Partainya akan memberikan pendampingan bagi warga yang mau menempuh upaya hukum, yaitu mengajukan peninjauan kembali jika RUU itu disahkan.
Lagi-lagi, organisasi buruh tak terlibat dalam aksi ini. Sekretaris Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Sulut Hardy Sembung telah menyatakan pihaknya sepakat secara nasional untuk tak menggelar aksi dengan alasan menghindari politisasi kepentingan oleh para calon kepala daerah serta untuk menghindari penularan Covid-19.
Namun, kata Hardy, KSPI akan turun ke jalan menggelar aksi penolakan jika sembilan tuntutan mereka tidak dikabulkan. Menurut dia, lima di antaranya telah dikabulkan, antara lain mengembalikan urusan pidana dan perdata serta pekerja alih daya (outsourcing) ke UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
”Ada ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang tidak ada di dalam omnibus law. Kami minta itu tetap dipakai. Hanya karena sekarang ada omnibus law, bukan berarti UU No 13/2003 tidak lagi berlaku,” tuturnya.
Sehari sebelum demonstrasi di Manado, mahasiswa Universitas Negeri Manado (Unima) di Tondano, Minahasa, dihadang polisi di dalam kampus sebelum berangkat ke Gedung DPRD Minahasa untuk menyatakan mosi tidak percaya. Sebanyak 17 orang dinyatakan hilang setelah tindakan polisi pada Rabu (7/10/2020) siang itu.
Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Unima Geraldo Patti menyatakan sangat kecewa terhadap tindakan kepolisian terhadap mahasiswa Unima. Ia menyebutkan, pihaknya akan tetap menyampaikan aksi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Adapun ke-17 mahasiswa yang ditahan Polres Minahasa telah dibebaskan pada Rabu pukul 21.00 Wita.