Desak UU Cipta Kerja Dibatalkan, Massa Kepung DPRD Sultra
Ribuan mahasiswa, buruh, pengemudi ojek daring, dan elemen masyarakat lainnya mendatangi Gedung DPRD Sulawesi Tenggara di Kendari, Kamis (8/10/2020) siang. Massa menolak UU Cipta Kerja.
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Ribuan mahasiswa, buruh, pengemudi ojek daring, dan elemen masyarakat lainnya mendatangi Gedung DPRD Sulawesi Tenggara di Kendari, Kamis (8/10/2020) siang. Massa menggelar unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disetujui DPR. Aparat keamanan menjaga dan mengamankan aksi.
Massa dari berbagai elemen, di antaranya Universitas Halu Oleo (UHO), IAIN Kendari, HMI, dan PMII, berkumpul di sekitar Gedung DPRD Sultra. Mereka membakar ban, melakukan orasi, dan meneriakkan lagu perjuangan.
Harli Basukri dari IAIN Kendari mengungkapkan, aksi kali ini adalah aksi damai sebagai bentuk komitmen mahasiswa terhadap inkonsistensi pemerintah. Dalam kondisi pandemi Covid-19, DPR dan pemerintah membahas dan menyetujui RUU Cipta Kerja yang tidak berpihak ke masyarakat.
”Setiap kebijakan dan aturan itu harus berdasarkan kepentingan masyarakat banyak. Namun, omnibus law ini menerabas hak buruh, lingkungan hidup, hingga pendidikan. Hal ini merupakan kejahatan terorganisasi,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Harli, mahasiswa menuntut agar Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan aturan untuk membatalkan RUU Cipta Kerja yang tidak berpihak pada rakyat tersebut. Aturan ini sama saja membuat rakyat semakin menderita karena itu harus dibatalkan.
Rahmat Manangkiri dari Universitas Halu Oleo mengungkapkan, poin demi poin dari RUU Cipta Kerja tidak hanya menyengsarakan buruh, tetapi juga memberi karpet merah terhadap investasi asing. Hal tersebut menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap masyarakat kecil. ”Asing diistimewakan, pengusaha diberi karpet merah, dan buruh ditindas. Karena itu, kita harus tolak omnibus law dan duduki DPRD Sultra,” ujarnya.
”Penolakan undang-undang telah memakan korban dua rekan kami. Jangan sampai ada korban lagi, sementara kasus ini belum juga tuntas. Kami meminta aparat tidak bertindak serampangan lagi,” kata Rahmat menambahkan. Dua korban dimaksud adalah Yusuf dan Randi, dua mahasiswa UHO yang tewas saat gelombang unjuk rasa menolak produk legislasi bermasalah September tahun lalu.
Dihubungi terpisah, Pelaksana Harian Kepala Bidang Humas Polda Sultra Komisaris Besar La Ode Proyek menuturkan, pengamanan aksi hari ini dilakukan dengan protokol seperti pengamanan aksi pada umumnya. Aparat tetap bersiaga menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah.
Sejumlah aksi penolakan omnibus law UU Cipta Kerja ini juga berlangsung di Kendari pada Selasa (6/10/2020) hingga Rabu (7/10/2020). Mahasiswa dari Aliansi September Berdarah, misalnya, melakukan aksi menduduki kantor DPRD Sultra dan menyegel kantor perwakilan rakyat tersebut.
Setelah disetujuinya RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dengan regulasi omnibus law oleh DPR, gelombang penolakan terus berdatangan. Banyak pihak berpendapat, sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja yang merugikan buruh adalah tidak ada batas kontrak kerja yang membuat buruh dikontrak selamanya alias tidak pernah jadi pekerja tetap. Dalam UU sebelumnya, kontrak dibatasi tiga tahun.
Lalu, penyamarataan upah minimum sektoral jadi upah minimum provinsi yang akan berdampak pada kesejahteraan keluarga pekerja. Sebab, biaya hidup di tiap daerah berbeda. Disorot juga penghapusan cuti, PHK tanpa peringatan berjenjang, dan perizinan tenaga kerja asing yang dipermudah.
Di sisi lain, pesangon juga dikurangi dari 32 kali gaji menjadi 25 kali gaji. Rinciannya, perusahaan membayar 16 kali upah dan negara menanggung 9 kali upah dengan skema jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).