Ketiadaan masalah pidana korporasi yang kemudian diganti dengan pendekatan sanksi administrasi membuat Undang-Undang Cipta Kerja dinilai rawan dan berpotensi membuka peluang korupsi.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·2 menit baca
MALANG, KOMPAS — Lembaga pemerhati korupsi, Malang Corruption Watch, menyoroti potensi korupsi pada Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan oleh DPR. Masalah pidana korporasi yang sebelumnya ada dalam UU lama kini dihilangkan, diganti dengan pendekatan sanksi administrasi.
”Menurut kami, pidana korporasi sangat dekat dengan pidana korupsi karena dia erat dengan isu suap antara pengusaha dengan pemerintah, tentang potensi pengemplangan pajak, dan lainnya," ujar Wakil Koordinator Badan Pekerja Malang Corruption Watch (MCW) Ibnu Syamsu, di Malang, Jawa Timur, Selasa (6/10/2020).
Menurut Ibnu, konsep hukum bagi para pengusaha berubah di UU yang baru. Dia mencontohkan terkait izin bagi investor yang dipermudah. Tidak hanya mendapat kemudahan izin, mereka seolah juga lebih kebal terhadap hukum. Sementara terkait dengan upaya pemidanaan hampir tidak ada.
Jadi ada potensi pengusaha hanya terjerat sanksi administrasi saja. Padahal, perbuatan nakal para investor itu semestinya bisa dikenakan tidak pidana korporasi kalau mengacu pada UU korporasi dan UU Tenaga Kerja yang lama,” ujarnya.
Menurut kami, pidana korporasi sangat dekat dengan pidana korupsi karena dia erat dengan isu suap antara pengusaha dengan pemerintah, tentang potensi pengemplangan pajak, dan lainnya.
MCW juga menilai bahwa potensi perusakan sumber daya alam makin kuat setelah ada UU baru tersebut. Keharusan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) kini dihapus, sedangkan hak guna usaha diperpanjang.
Hal ini dinilai memberikan karpet merah kepada para pengusaha. Mereka tidak lagi menemui kendala untuk mengeksploitasi alam. ”Begitu pula dengan kontribusi pengusaha terhadap pendapatan daerah makin berkurang. Padahal, selama ini kontribusi mereka masih minim,” katanya.
Menurut Ibnu, potensi korupsi ini akan berkelindan dengan upaya hukum penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia yang masih lemah. Cukup banyak, kata Ibnu, kasus korupsi yang tidak selesai meski telah dibawa ke pengadilan. Demikian pula lama vonis bagi koruptor juga masih rendah.
Disinggung mengenai apa yang akan dilakukan, menurut Ibnu, langkah yang bisa ditempuh adalah melakukan peninjauan kembali (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, pihaknya pesimistis MK akan mengabulkan permohonan itu karena satu bulan sebelumnya UU MK juga telah melalui proses revisi.
Secara terpisah, koordinator Forum Masyarakat Sipil Malang, Luthfi J Kurniawan, mengatakan, disahkannya UU Cipta Kerja menjadi paradoks. Pemerintah yang punya otoritas dan keinginan meningkatkan kesejahteraan rakyat–yang di dalamnya ada buruh–dengan keputusan politik mengesahkan UU itu.
”Instrumen kebijakan (UU) ini tidak memberikan ruang yang cukup untuk memproteksi rakyat itu sendiri. Mestinya pemerintah bekerja berdasarkan perlindungan sosial bagi seluruh rakyat. UU ini tidak punya perspektif perlindungan sosial bagi buruh,” ujarnya.
Menurut Luthfi, dua tahun terakhir pemerintah mengeluarkan beberapa UU yang menimbulkan kontroversi di masyarakat, seperti revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Mineral dan Batubara, UU MK, dan terakhir UU Cipta Kerja.