Saya Ingin Anak Pulang, Tidak Perlu Uang
Penipuan terhadap pekerja migran kerap terjadi. Mereka dijanjikan pekerjaan enak dan gaji tinggi, ternyata diperdagangkan. Sejak 2018 hingga Agustus 2020 jumlah tenaga kerja migran bermasalah yang dipulangkan 628 orang.

Warga Desa Bayu, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Jumaini Suryawati (42) dan suaminya, Iran Fajri (42), duduk di belakang foto anaknya, Khairol Aman (20), yang menjadi pekerja migran di kapal ikan China, Rabu (16/9/2020).
Bulan Oktober 2020, genap dua tahun Jumaini Suryawati (42) dan suaminya, Iran Fajri (42), menanti kabar anaknya, Khairol Aman (20). Khairol menjadi pekerja migran sebagai anak buah kapal di kapal ikan berbendera China. Namun, hingga kini tidak jelas di mana keberadaannya.
”Beberapa kali saya mimpi Abang (Khairol) pulang,” ujar Jumaini saat ditemui Kompas, Rabu (16/9/2020), di rumahnya di Desa Bayu, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, Aceh.
Khairol Aman, anak mereka, menjadi pekerja migran di kapal ikan Lu Lan Yuan Yu 088 pada awal Oktober 2018. Saat itu, usia Khairol 18 tahun, baru lulus Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Ladong, Aceh Besar. Selain Khairol, ada dua alumnus SUPM Negeri Ladong yang juga menjadi pekerja migran di kapal itu.
Baca juga : Menunggu Abang Pulang
Jumaini menuturkan, saat itu anaknya sangat bahagia menyambut pengalaman pertama berlayar dan bekerja di kapal ikan. Tiga tahun belajar tentang perikanan membuat Khairol penasaran bagaimana rasanya berlayar di luasnya samudra. Khairol anak keempat dari lima bersaudara. Dia ingin punya penghasilan agar mandiri dan bisa membantu pendidikan adik-adiknya.
Kadang saya menyesal mengizinkan dia pergi. Tetapi, saya yakin Abang akan pulang. (Jumaini)
Jumaini mengatakan, saat Khairol lulus, pihak sekolah memberikan informasi tentang adanya peluang kerja di kapal ikan China. Gaji yang ditawarkan per bulan sekitar 350 dollar Amerika Serikat atau Rp 4,9 juta dengan kurs Rp 14.000.
Proses rekrut tenaga kerja migran dilakukan oleh perusahaan yang berdomisili di Jakarta. Bahkan, saat siswa SUPM Negeri Ladong wisuda, direktur perusahaan itu hadir di sana.
”Karena informasi dari sekolah, kami percaya saja, perusahaan itu jelas,” kata Jumaini.
Jumaini dan Iran menghabiskan biaya sekitar Rp 6 juta untuk biaya paspor, visa, pemeriksaan kesehatan, dan biaya tiket pesawat dari Banda Aceh ke Jakarta. Beberapa hari di Jakarta, Khairol diterbangkan ke Taiwan.

Pemetaan jumlah dan kasus anak buah kapal Indonesia yang dipekerjakan di kapal ikan asing dari berbagai sumber yang diolah Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).
Dari Taiwan, Khairol dan dua temannya berlayar menggunakan kapal ikan Lu Lan Yuan Yu 088 arah ke Korea Selatan dan melanjutkan ke Peru, Amerika Selatan. Kapal itu melintas di perairan Aceh, dekat Pulau Sabang. Khairol sempat menelepon ibunya dan mengabarkan bahwa dia sudah berlayar. Di kapal itu Khairol menjadi buruh penangkap ikan.
Dia mengatakan kepada ibunya agar tidak khawatir sebab dia sehat-sehat saja. Percakapan hanya berlangsung beberapa menit sebab jaringan di laut tidak bagus. Khairol mengirimkan beberapa foto dirinya berada di kapal.
”Itu komunikasi terakhir saya dengan Abang. Sampai sekarang, Oktober nanti pas dua tahun, kami kehilangan jejak,” ujar Jumaini.
Baca juga : Keran Izin Tanpa Perlindungan
Jumaini memperlihatkan foto-foto anaknya berdiri di geladak kapal. Dalam foto itu Khairol tersenyum. Tiba-tiba mata Jumaini basah. ”Saya ingin anak pulang, tidak perlu uang,” ujar Jumaini menangis.
Saat setahun tidak ada kabar, Jumaini dan Iran semakin gelisah. Dia mencari informasi tentang perusahaan yang membawa anaknya. Ternyata, perusahaan itu sedang bermasalah, banyak pekerja migran ABK di kapal asing tidak dibayar upahnya. Direktur perusahaan yang pernah hadir di acara wisuda anaknya telah ditetapkan sebagai buronan polisi.
Jumaini dan suaminya menelepon pihak perusahaan untuk memastikan keberadaan anaknya dan upah. Namun, pihak perusahaan tidak merespons. Belakangan karyawan yang pernah dihubunginya telah keluar dari perusahaan itu dan tidak tahu-menahu tentang Khairol.

Khairol Aman (20), anak buah kapal asal Aceh Besar yang bekerja di kapal ikan China. Pihak keluarga melaporkan kehilangan kontak dengan Khairol selama dua tahun.
Jumaini melaporkan kasus anaknya kepada Unit Pelayanan Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UPT BP2MI) Banda Aceh. Dia berharap keberadaan anaknya dapat dilacak. Jumaini meyakini anaknya masih hidup dan akan kembali.
”Kadang saya menyesal mengizinkan dia pergi. Tetapi, saya yakin Abang akan pulang,” ucap Jumaini.
Kepala UPT BP2MI Banda Aceh Jaka Prasetiyono mengatakan, pihaknya sedang menelusuri keberadaan Khairol dan dua anak buah kapal asal Aceh di kapal itu.
Tim UPT BP2MI Banda Aceh menghubungi Kedutaan Indonesia di Peru untuk mengecek posisi kapal Lu Lan Yuan Yu 088. Namun, tim BP2MI Banda Aceh mendapatkan informasi bahwa kapal itu kini berada di China. Akan tetapi, belum ada informasi tentang Khairol dan dua temannya.
Meninggal
Kasus pekerja migran asal Aceh yang hilang jejak juga pernah terjadi terhadap Musnan (26) dan Syakban (22), warga Desa Pante Paku, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Lebih dari setahun mereka tanpa komunikasi dengan keluarga, tetapi tiba-tiba keluarga mendapatkan kabar Musnan dan Syakban meninggal di kapal Lu Huang Yuan Yu 118, kapal ikan berbendera China.
Jenazah Musnan dan Syakban dimasukkan dalam lemari es kemudian diselundupkan ke darat melalui kapal nelayan. Namun, aksi itu diketahui oleh kepolisian di Batam, Kepulauan Riau.

Petugas kepolisian mengevakuasi jenazah warga Indonesia di Lu Huang Yuan Yu 118 setelah kapal itu sandar di Pangkalan TNI AL Batam, Kepulauan Riau, Rabu (8/7/2020).
Menurut Marbawi (35), warga Desa Pante Kulu, Bireuen, adik kandungnya, Musnan, menjadi korban PMI ilegal. Adiknya itu meninggal saat bekerja di kapal ikan China. ”Adik saya berangkat kerja di kapal China melalui saudara, tetapi tidak resmi. Mungkin takdirnya seperti ini,” kata Marbawi.
Musnan dan Syakban berangkat pada Agustus 2019. Mereka dikontrak oleh perusahaan agen penyalur tenaga kerja di Jakarta. Pengurusan paspor dan administrasi diurus oleh perusahaan itu di Jakarta. ”Uang untuk tiket pesawat dari Aceh kami yang tanggung,” kata Marbawi.
Adik saya berangkat kerja di kapal China melalui saudara, tetapi tidak resmi. Mungkin takdirnya seperti ini. (Marbawi)
Setelah dua bulan dikarantina di Jakarta, Musnan dan Syakban diberangkatkan ke Taiwan. Dari sana mereka berlayar bersama kapal ikan Lu Huang Yuan Yu 118. Pihak keluarga kehilangan kontak. ”Tiba-tiba kami diberi tahu pihak perusahaan bahwa adik saya meninggal di dalam kapal,” ujar Marbawi.
Marbawi tidak tahu penyebab adiknya meninggal. Pihak keluarga juga telah menerima kejadian tersebut. Mereka tidak mau melaporkan kasus itu ke polisi. ”Perusahaan menanggung biaya pemakaman dan memberikan santunan, sedangkan asuransi dalam pengurusan,” kata Marbawi.
Penipuan
Jaka Prasetiyono menyebutkan, penipuan terhadap pekerja migran kerap terjadi. Para pekerja dijanjikan pekerjaan enak dan gaji tinggi, tetapi ternyata diperdagangkan. Sejak 2018 hingga Agustus 2020, jumlah tenaga kerja migran bermasalah yang dipulangkan 628 orang, sebanyak 36 orang di antaranya meninggal.

Kepala Unit Pelayanan Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Banda Aceh Jaka Prasetiyono
Menurut Jaka, di Aceh banyak pekerja migran memilih jalur ilegal karena lebih cepat, sebab dokumen diurus oleh calo atau perusahaan agen. ”Pergi jalur legal saja bisa ditipu, apalagi jalur ilegal,” kata Jaka.
Sebagian calo menanggung semua biaya pengurusan dokumen di awal keberangkatan. Namun, biaya itu harus dikembalikan oleh pekerja dengan cara mencicil meski jumlahnya lebih besar daripada mengurus sendiri. ”Bahkan, ada calo yang memberikan uang kepada keluarga pekerja migran. Itu cara calo meyakinkan korban,” kata Jaka.
Kasus Khairol, Musnan, dan Syakban adalah contoh kecil gelapnya dunia tenaga kerja migran Indonesia. Mereka dijadikan budak yang diperjualbelikan.
Pergi jalur legal saja bisa ditipu, apalagi jalur ilegal. (Jaka Prasetiyono)
Nb: Koreksi, sebelumnya terjadi kesalahan penulisan nama kapal, tempat Khairol bekerja. Pada paragraf 3, 9, dan 17, sebelumnya tertulis nama kapal adalah Luan Yuan Yu 088, seharusnya adalah Lu Lan Yuan Yu 088. Dengan demikian kesalahan telah kami koreksi, dan mohon maaf atas kesalahan yang kami buat.