Sindikat pemberangkatan pekerja migran mendapat lebih dari Rp 100 miliar per bulan. Selain omzet besar, tumpang-tindih peraturan ikut membuat pemberangkatan pekerja migran secara ilegal terus berlangsung.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Tiga warga negara Indonesia yang merupakan anak buah kapal Lu Huang Yuan Yu 117 dan 118 saat memberikan keterangan kepada wartawan di Pangkalan TNI AL Batam, Kepulauan Riau, Rabu (8/7/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Di balik derita pekerja migran Indonesia sektor kelautan, tersimpan ego sektoral antarkementerian dan lembaga. Pemerintah saling berebut kewenangan kala mengeluarkan izin penempatan, tetapi melempar tanggung jawab saat ada anak buah kapal Indonesia yang ditindas di kapal-kapal asing.
Berdasarkan data BP2MI, dalam rentang waktu 2018-2020, terdapat 578 laporan kasus penindasan ABK Indonesia di kapal asing. Sebagian besar berkaitan dengan perlakuan tidak layak dan tidak manusiawi, seperti kekerasan fisik, eksploitasi, gaji yang tidak dibayar sesuai kontrak, serta pemberian makanan-minuman yang tidak layak untuk dikonsumsi.
Berbagai laporan itu tidak ditindaklanjuti dengan selayaknya karena terkendala ego sektoral dan tumpang-tindih kewenangan antara Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani, Rabu (16/9/2020), membenarkan, karut-marut tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran di sektor kelautan selama ini disebabkan oleh ego sektoral dan tumpang-tindih kewenangan lintas kementerian dan lembaga.
Ada dua institusi yang berwenang memberi izin kepada perusahaan untuk merekrut dan memberangkatkan PMI kelautan. Ditjen Hubla mengeluarkan surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK), sementara Kemenaker mengeluarkan surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SIP3MI).
Indonesia Ocean Justice Initiative
Pemetaan jumlah dan kasus anak buah kapal Indonesia yang dipekerjakan di kapal ikan asing dari berbagai sumber yang diolah Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).
Namun, Benny mengatakan, pemberian izin itu tidak diiringi dengan mekanisme pengawasan yang ketat terhadap kesejahteraan dan perlindungan ABK Indonesia. Pemerintah saling berebut kewenangan dan anggaran, tetapi melempar tanggung jawab ketika ada warga negara Indonesia yang ditindas di kapal-kapal asing.
”Mereka hanya berurusan dengan mengeluarkan izin. Akan tetapi, ketika ada masalah, lepas tangan dan sebagai gantinya larinya ke BP2MI yang harus bertanggung jawab,” kata Benny.
Perebutan kewenangan itu tidak lepas dari perebutan anggaran. Meski tidak menyebut jumlah uang yang berputar dalam rangkaian proses penempatan ABK, Benny membenarkan, ada pihak-pihak yang tidak rela kewenangannya hilang karena bagi mereka itu berarti kehilangan anggaran.
”Selama ini memang ada pola pikir yang salah bahwa, ketika bicara kewenangan, itu berarti linear dengan anggaran. Ini cara berpikir primitif yang harus diubah ke depan,” katanya.
Kendala regulasi
Solusi dari persoalan ini adalah peraturan baru yang meluruskan tumpang-tindih kewenangan di hulu yang selama ini memperburuk pengawasan dan perlindungan terhadap ABK Indonesia. Namun, pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan itu terus mundur dari waktu yang seharusnya.
Aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia itu seharusnya disahkan sejak September 2019. Namun, akhirnya RPP itu baru selesai dibahas tahun ini. Sekarang, proses penggodokan RPP sudah sampai pada tahap akhir harmonisasi dan tinggal menunggu diundangkan.
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemenaker Suhartono mengatakan, RPP bisa menyelesaikan persoalan ego sektoral dan tumpang-tindih kewenangan antarkementerian dan lembaga dalam proses perekrutan, penempatan, dan perlindungan awak kapal niaga dan awak kapal perikanan migran.
”Ini seharusnya bisa menjawab berbagai persoalan dualism perizinan yang selama ini ada antara Kemenaker dan Kemenhub,” kata Suhartono.
Perbaikan tata kelola penempatan dan perlindungan awak kapal ke depan akan mengacu pada RPP. Beberapa hal utama yang diatur di RPP, antara lain, adalah mekanisme penempatan dan perlindungan awak kapal Indonesia, persyaratan sebagai awak kapal, serta tata cara perizinan untuk lembaga penempatan awak kapal niaga dan perikanan.
DOK PANGLIMA LAOT ACEH
Kapal nelayan Aceh saat ditahan angkatan laut Myanmar. Kapal beserta 23 ABK ditahan karena dituduh mencuri ikan.
Ke depan, kewenangan pemberian perizinan hanya keluar dari satu pintu, yakni Kemenaker yang berwenang mengeluarkan SIP3MI. Ditjen Hubla tidak lagi memiliki kewenangan mengeluarkan izin berupa SIUPPAK.
Sementara tata kelola penempatan dan perlindungan menjadi tugas BP2MI. Pengawasan di lapangan diperketat karena selama ini banyak perusahaan penyalur tenaga kerja yang sebenarnya memiliki syarat lengkap untuk memberangkatkan ABK, tetapi dalam prosesnya juga melakukan pelanggaran.
”Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah disahkan menjadi Peraturan Pemerintah, sekarang prosesnya masih di Setneg,” ujar Suhartono.
Kendati demikian, perebutan kepentingan belum berhenti. Benny mengatakan, tarik-menarik kepentingan masih muncul dalam penentuan masa transisi pemberlakuan RPP. Ditjen Hubla meminta agar masa transisi pemberlakuan PP berlaku dua tahun.
Sementara Kemenaker dan BP2MI menilai dua tahun terlalu lama. Keduanya mengusulkan agar PP berlaku paling cepat 3 bulan dan paling lama 6 bulan sejak diundangkan. ”Kalau harus menunggu dua tahun, sama saja ada kekosongan regulasi lagi selama dua tahun dan semakin panjang daftar masalah ABK kita. Sudah saatnya derita awak kapal diakhiri,” kata Benny.
Agen nakal
Benny mengatakan, BP2MI sudah memetakan perusahaan dan jaringan agen perekrut yang terlibat dalam sindikat pengiriman ilegal yang bahkan terindikasi melakukan tindak pidana perdagangan manusia (TPPO). Setelah RPP kelak diundangkan, perusahaan yang melanggar itu akan segera ditindaklanjuti.
Kompas/Wawan H Prabowo
Politikus Hanura, Benny Rhamdani, bersiap mengikuti upacara pelantikan sebagai Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) di Istana Negara Jakarta, Rabu (15/4/2020).
Sanksi pertama berupa administratif, yakni rekomendasi pencabutan izin perusahaan ke Kemenaker. Sanksi kedua berupa sanksi sosial, yakni pengumuman identitas perusahaan terkait ke publik. Sanksi ketiga adalah menyeret perusahaan terkait ke ranah pidana.
Benny mengatakan, setidaknya ada 10 perusahaan yang sudah dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri) yang sekarang sedang diselidiki dan disidik.
Masih ada sejumlah perusahaan lain yang terindikasi melanggar, tetapi selama ini sulit ditindak karena ada tumpang-tindih kewenangan antarlembaga.
”Kami sudah punya data yang cukup komprehensif dari hasil deteksi kami, perusahaan mana saja yang selama ini terlibat dalam kejahatan. Dengan garis kebijakan baru ini, mereka harus ikuti aturan main baru. Jika tidak, kita sikat tanpa kompromi dan negosiasi,” kata Benny.