Penting, Mengecek Rekam Jejak Perusahaan Perekrut Awak Kapal
Para pencari kerja, terutama mereka yang berniat menjadi awak kapal ikan berbendera asing, perlu waspada. Penting untuk mengecek rekam jejak perusahaan perekrut agar tidak menjadi korban perdagangan orang.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
SLAWI, KOMPAS — Mudah dan cepat adalah dua hal yang sering ditawarkan oleh lembaga penyalur abal-abal untuk memikat calon anak buah kapal. Sebelum memutuskan bergabung, calon anak buah kapal perlu mengecek ulang rekam jejak perusahaan.
Menurut penuturan sejumlah anak buah kapal (ABK), perusahaan penyalur abal-abal biasanya tidak mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan pengalaman ABK di bidang perikanan. Hal itu tecermin dari persyaratan yang dicantumkan dalam iklan lowongan pekerjaan. Di sejumlah iklan lowongan kerja sebagai ABK yang banyak beredar di Facebook, misalnya, pengiklan mencantumkan kata-kata ”tanpa ijazah bisa daftar” atau ”tidak berpengalaman bisa mendaftar”.
Pada iklan lowongan kerja ABK yang lain, ada perusahaan yang terang-terangan meminta calon ABK memberikan sejumlah uang atau sertifikat, baik sertifikat rumah maupun sertifikat tanah. Uang atau sertifikat tersebut akan ditahan perusahaan sebagai jaminan agar ABK tidak melarikan diri sebelum kontrak kerja usai.
”Berdasarkan pengalaman saya, kalau syaratnya terlalu mudah, prosesnya singkat, apalagi sampai minta uang jaminan di awal, itu sudah pasti abal-abal. Perusahaan yang baik biasanya mempertimbangkan latar belakang pendidikan, pengalaman kerja di bidang perikanan, meminta sertifikat kompetensi dan menyeleksi secara ketat ABK yang akan disalurkan,” tutur Ahamd Farhan (23), ABK asal Kecamatan Banjaran, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Sudah tiga tahun terakhir, Farhan bekerja sebagai ABK di kapal ikan berbendera Jepang. Untuk bisa diterima sebagai ABK, Farhan diminta menunjukkan ijazah pendidikan di bidang perikanan dan sejumlah sertifikat kompetensi. Alumni Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Tegal itu juga harus menjalani sejumlah tes, seperti tes fisik, tes psikologi, dan tes tertulis tentang perikanan.
Tidak hanya itu, Farhan juga dilatih berkomunikasi dengan bahasa Jepang. Keterampilan berbahasa diperlukan agar komunikasi antara dirinya dan kapten kapal serta ABK lainnya bisa berjalan dengan baik.
Keterampilan dan pengalaman yang dimiliki Farhan membuatnya memiliki nilai tawar yang tinggi di mata perusahaan. Dengan demikian, gaji yang diterima Farhan juga terbilang tinggi, yakni sekitar Rp 20 juta per bulan.
Samfarid Fauzi (34), ABK lain asal Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, memiliki nasib yang berbeda dengan Farhan. Farid mendapatkan kemudahan pada masa pendaftaran. Kala itu, perusahaan yang menyalurkan Farid hanya memintanya membawa dua syarat, yakni fotokopi kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.
Farid yang tidak memiliki latar belakang di dunia perikanan juga tidak diminta menyerahkan sejumlah sertifikat kompetensi atau diharuskan memiliki keterampilan tertentu, seperti keterampilan berbahasa. Sebelum diberangkatkan ke China, Farid hanya sekali diberi pelatihan, yakni pelatihan menjahit jaring.
Selama bekerja, Farid sering mengeluhkan sulitnya berkomunikasi dengan kapten kapal ataupun ABK yang lain. Ia juga sering mendapat perlakuan tidak manusiawi, seperti bekerja selama 20 jam dalam sehari, diberi makan makanan yang tidak layak, seperti makanan kedaluarsa, dan telat digaji hingga 8 bulan. Untuk setiap bulannya, Farid dijanjikan akan menerima gaji sebesar Rp 4,4 juta atau hampir setara dengan upah minimum regional di DKI Jakarta.
”Lebih parahnya lagi, saat ini suami saya bekerja melebihi kontrak kerja yang disepakati. Kontrak kerja suami saya berakhir April 2020, tetapi hingga saat ini dia belum dipulangkan dan malah disuruh tetap bekerja,” kata Inggrid Frederica (32), istri Farid.
Teliti
Sejumlah perlakuan tidak manusiawi yang banyak diterima ABK tidak membuat siswa pelayaran di SUPM Negeri Tegal gentar. Mereka menjadikan kasus-kasus ABK yang diperlakukan semena-mena itu sebagai peringatan untuk lebih teliti dalam memilih perusahaan penyalur.
”Saya yakin tidak semua perusahaan penyalur ABK begitu, pasti ada yang baik. Kita hanya perlu lebih teliti saja saat memilih perusahaan,” ujar siswa kelas XII SUPM Negeri Tegal, Valentino Robert Rossy.
Valentino bercita-cita ingin bekerja di kapal ikan di Jepang untuk membantu meningkatkan perekonomian keluarganya. Sembari membekali diri dengan pengalaman dan keterampilan, Valentino juga mencari informasi terkait mana perusahaan yang memiliki rekam jejak baik. Ia memanfaatkan alumni sekolahnya untuk mendapatkan gambaran mana saja perusahaan yang baik dan yang tidak.
Sementara itu, di SUPM Negeri Tegal, sekolah hanya bekerja sama dengan perusahaan penyalur ABK yang bisa dipercaya dan benar-benar legal. Melalui kerja sama dengan sejumlah perusahaan penyalur itu, sebagian siswanya terserap di dunia kerja.
”Sebelum mengadakan seleksi tenaga kerja di sekolah, kami meminta perusahaan mengajukan proposal dan melampirkan bukti-bukti legalitas perusahaannya. Meski sudah mendapatkan bukti, penelusuran di lapangan tetap kami lakukan untuk memastikan kejelasan perusahaan,” tutur Kepala SUPM Negeri Tegal Maskuri.