Menunggu Abang Pulang
Awalnya, mereka berharap kerabatnya pulang dengan selamat dan penuh kejayaan selepas berlayar di luar negeri. Kini, harapan itu perlahan harus mereka pendam dalam-dalam.

Awak kapal asal Indonesia di kapal berbendera China, Lu Huang Yuan Yu 118, membantu proses kapal itu sandar di Pangkalan TNI AL Batam, Kepulauan Riau, Rabu (8/7/2020).
Awalnya, mereka berharap kerabatnya pulang dengan selamat dan penuh kejayaan selepas berlayar di luar negeri. Kini, harapan mereka sekadar melihat jenazah kerabatnya yang meninggal di kapal-kapal ikan asing.
April 2020, Tri Widyawati (27) menerima kabar terakhir dari Abdul Wahid (40). Melalui seorang temannya yang bekerja di kapal minyak, Abdul mengirim surat kepada Tri. Abdul meminta Tri bersabar karena ia akan pulang pada Juli 2020. Berselang sebulan sejak surat diterima, bukan Abdul yang pulang. Tri malah menerima kabar Abdul telah meninggal karena kecelakaan kerja.
Tri menolak kabar itu dan meminta bukti suaminya telah meninggal. Sampai sekarang, bukti itu tidak pernah diberikan oleh agen yang mengirim Abdul ke luar negeri maupun perusahaan kapal tempat Abdul bekerja.
Kabar kematian itu sekaligus mengakhiri petualangan pahit Abdul di laut. Pada 2014, ia bekerja setahun tanpa digaji di kapal Taiwan. Agen hanya memberi Abdul cek kosong setelah kontrak selesai. Akibatnya, Abdul harus jadi buruh kasar hampir dua tahun untuk mengumpulkan ongkos pulang dari Taiwan ke Brebes, Jawa Tengah.
Hampir dua tahun di kampung, ia mendapat tawaran kerja di kapal ikan China yang beroperasi di perairan Fiji. Ia berangkat lagi pada 2018. ”Tahun pertama bekerja, semuanya masih jelas. Gaji dikirim tepat waktu dan komunikasi dengan keluarga juga masih lancar,” kata Tri.
Memasuki 2019, Abdul mulai sulit dihubungi. Waktu sandar kapal berubah dari biasanya 3 bulan menjadi lebih dari 6 bulan tanpa berlabuh. Belakangan, Abdul mengabari kalau dirinya sakit dan sering dipukuli kapten kapal. Belakangan, keluarga menerima kabar Abdul telah meninggal.

Sementara Basrizal masih terus mencari kabar anaknya, Aditya Sebastian. Kabar terakhir Aditya diterima keluarga di Koto Tengah, Sumatera Barat, pada awal April 2020. Kala itu, keluarga mendengar ada enam pekerja migran Indonesia (PMI) melompat dari kapal ikan China. Dari enam orang, hanya empat selamat dan dibantu warga Karimun, Kepulauan Riau. Sementara dua orang lain, salah satunya Aditya, tidak diketahui kabarnya sampai sekarang.
Kala masih bisa berkomunikasi, menurut Basrizal, Aditya kerap mengeluh tidak betah. Bersama sejumlah PMI lain di kapal ikan China, Fu Yuan Yu, Aditya kerap dipukul oleh awak China. Mereka juga bekerja lebih dari 15 jam per hari. Mereka tidak bisa pulang karena paspor ditahan kapten. Karena tidak kuat lagi, Aditya dan rekan-rekannya melompat dari kapal pada awal April 2020.
Dalam penyelidikan Polda Kepulauan Riau terungkap, Aditya diberangkatkan PT Mandiri Tunggal Bahari. Meski telah mengirimkan ratusan PMI ke kapal-kapal ikan asing, perusahaan yang beralamat di Tegal, Jawa Tengah, itu ternyata tidak punya Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI). Penyelidikan Badan Reserse Kriminal Polri menemukan, perusahaaan itu juga terkait dengan kasus-kasus PMI di kapal ikan asing lainnya. Kini, sejumlah orang dari perusahaan itu telah ditangkap polisi.
Pulang jadi jenazah
Sementara Marbawi (35) harus menerima kabar bahwa adiknya, Musnan (26), meninggal kala bekerja di kapal ikan China. Kasus itu terungkap kala penyidik Kepolisian Daerah Kepulauan Riau mendapat kabar upaya penyelundupan tiga jenazah dari Singapura. Belakangan diketahui, jenazah itu adalah awak kapal ikan dan salah satunya adalah Musnan. ”Adik saya berangkat kerja di kapal China melalui saudara, tetapi tidak resmi,” kata Marbawi.

Jenazah Musnan, ABK asal Kabupaten Bireuen, Aceh yang meninggal saat bekerja di kapal ikan China. Jenazah dimakamkan di Bireuen, 18 Agustus 2020.
Musnan berangkat pada Agustus 2019. Mereka dikontrak oleh perusahaan agen penyalur tenaga kerja di Jakarta. Pengurusan paspor dan administrasi diurus oleh perusahaan itu di Jakarta. ”Uang untuk tiket pesawat dari Aceh kami yang tanggung,” kata Marbawi.
Setelah dua bulan dikarantina di Jakarta, Musnan diberangkatkan ke Taiwan, dari sana mereka berlajar bersama kapal ikan Lu Huang Yuan Yu 118. Pihak keluarga kehilangan kontak. ”Tiba-tiba kami diberitahu pihak perusahaan adik saya meninggal di dalam kapal,” kata Marbawi.
Sementara Jumaini Suryawati (42) dan suaminya, Iran Fajri (42), sudah hampir dua tahun menanti kabar anaknya, Khairol Aman (20). Khairol menjadi pekerja migran sebagai anak buah kapal pada kapal ikan berbendera China. Namun, hingga kini tidak jelas di mana keberadaannya. ”Beberapa kali saya mimpi Abang (Khairol) pulang,” ujar warga Desa Bayu, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar itu.
Khairol Aman, anak mereka, menjadi pekerja migran pada kapal ikan Luan Yuan Yu 088 pada awal Oktober 2018. Saat itu, usia Khairol 18 tahun, baru saja lulus Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Ladong, Aceh Besar. Selain Khairol, ada dua alumni SUPM N Ladong yang juga jadi pekerja migran di kapal itu.
Jumaini menuturkan, saat itu anaknya sangat bahagia menyambut pengalaman pertama berlayar dan bekerja di kapal ikan. Tiga tahun belajar tentang perikanan membuat Khairol penasaran bagaimana rasanya berlayar di luasnya samudera. Khairol anak keempat dari lima bersaudara. Dia punya ingin punya penghasilan agar mandiri dan bisa membantu pendidikan adiknya.

Khairol Aman (20), ABK asal Aceh Besar bekerja di kapal ikan China yang dilaporkan oleh keluarganya kehilangan kontak selama dua tahun.
Jumaini mengatakan, saat Khairol lulus, pihak sekolah memberikan informasi tentang adanya peluang kerja di kapal ikan China. Gaji yang ditawar per bulan sekitar 350 dollar AS atau Rp 4,9 juta dengan kurs Rp 14.000.
Proses rekrut tenaga kerja migran dilakukan oleh perusahaan berdomisili di Jakarta. Bahkan, saat siswa SUPM N Ladong wisuda, direktur perusahaan itu hadir di sana. ”Karena informasi dari sekolah kami percaya saja, perusahaan itu jelas,” kata Jumaini.
Jumaini dan Iran menghabiskan biaya sekitar Rp 6 juta untuk biaya paspor, visa, pemeriksaan kesehatan, dan biaya tiket pesawat dari Banda Aceh ke Jakarta. Beberapa hari di Jakarta, Khairol diterbangkan ke Taiwan.
Dari Taiwan, Khairol dan dua temannya berlayar menggunakan kapal ikan Luan Yuan Yu 088 arah Korea Selatan dan melanjutkan ke Peru, Amerika Selatan. Kapal itu melintas perairan Aceh, dekat Pulau Sabang. Khairol sempat menelepon ibunya dan mengabarkan jika dia sudah berlayar. Di kapal itu, Khairol menjadi buruh penangkap ikan.
Dia bilang sama ibunya agar tidak khawatir, sebab dia sehat-sehat saja. Percakapan hanya berlangsung beberapa menit, sebab jaringan di laut tidak bagus. Khairol mengirimkan beberapa foto dirinya berada di kapal. ” Itu komunikasi terakhir saya dengan Abang. Sampai sekarang, Oktober nanti pas dua tahun, kami kehilangan jejak,” ujar Jumaini.
Jumaini memperlihatkan foto-foto anaknya berdiri di geladak kapal. Dalam foto itu Khairol tersenyum. Tiba-tiba mata Jumaini basah. ” Saya ingin anak pulang, tidak perlu uang,” ujar Jumaini menangis.

Kepala Unit Pelayanan Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Jaka Prasetiyono
Saat setahun tidak ada kabar, Jumaini dan Iran semakin gelisah. Dia mencari informasi tentang perusahaan yang membawa anaknya. Ternyata perusahaan itu sedang bermasalah, banyak pekerja migran ABK di kapal asing tidak dibayar upah. Direktur perusahaan yang pernah hadir di acara wisuda anaknya telah ditetapkan sebagai buronan polisi.
Jamaini dan suaminya menelepon pihak perusahaan untuk memastikan keberadaan anaknya dan upah. Namun, pihak perusahaan tidak merespons. Belakangan, karyawan yang pernah dihubunginya telah keluar dari perusahaan itu dan tidak tahu-menahu tentang Khairol.
Jumaini melaporkan kasus anaknya kepada Unit Pelayanan Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Banda Aceh. Dia berharap keberadaan anaknya dapat dilacak. Jumaini meyakini anaknya masih hidup dan akan kembali. ”Kadang saya menyesal mengizinkan dia pergi. Tapi, saya yakin Abang akan pulang,” ucap Jumaini.
Kepala Unit Pelayanan Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Jaka Prasetiyono menuturkan, pihaknya sedang menelusuri keberadaan Khairol dan dua orang ABK asal Aceh di kapal itu.
Tim UPT BP2MI Banda Aceh menghubungi Kedutaan Indonesia di Peru untuk mengecek posisi kapal Luan Yuan Yu 088. Namun, tim BP2MI Banda Aceh mendapati kapal itu kini berada di China. Akan tetapi, belum ada informasi tentang Khairol dan dua orang lainnya sampai sekarang. (RAZ/AGE/CAS/ERK/FRN/IKI/JOG/NAD/NDU/REN)