Anjuran Tidak Berkerumun Masih Diabaikan Calon Peserta Pilkada
Anjuran tak berkerumun saat pendaftaran calon peserta Pilkada 2020 diabaikan. Bawaslu menerima laporan paslon mengerahkan massa dari 141 daerah atau 65 persen dari total daerah yang melaporkan ada pendaftaran calon.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Anjuran untuk tidak berkerumun, menggelar arak-arakan, dan mengerahkan massa diabaikan sebagian pasangan bakal calon kepala daerah di hari pertama pendaftaran peserta Pilkada 2020, Jumat (4/9/2020). Berkaca dari hal itu, di dua hari terakhir pendaftaran, aparat keamanan diminta bertindak lebih tegas membubarkan kerumuman massa agar tahapan pilkada ini tidak menjadi ajang penyebaran Covid-19.
Pendaftaran calon peserta Pilkada 2020 di 270 daerah masih akan berlangsung hingga Minggu (6/9). Terkait proses ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah mengingatkan bakal pasangan calon agar mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Secara khusus, ia melarang kerumunan massa dan arak-arakan.
Kemarin, di sejumlah daerah cukup banyak pasangan bakal calon datang ke kantor KPU setempat dengan didampingi massa pendukungnya. Dari Jambi dua pasangan bakal calon gubernur hadir didampingi massa pengantar, kendati tidak ada arak-arakan. Massa menunggu hingga selesainya pendaftaran dengan berkumpul di sepanjang jalan sekitar KPU.
Di Surabaya, Jawa Timur, juga muncul laporan serupa. Begitu pula di Manado, Sulawesi Utara. Namun, kendati sulit menjaga jarak satu sama lain, rombongan mengenakan masker dan mencuci tangan sebelum masuk ke halaman kantor KPU Sulut.
Berdasar data pengawasan yang diterima Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI hingga Jumat pukul 21.00, ada laporan pengerahan massa dari 141 daerah atau mencapai 65 persen dari total daerah yang melaporkan pendaftaran paslon.
Menurut anggota Bawaslu RI M Afifuddin, ada pasangan bakal calon yang didampingi banyak pendukung, ada yang melakukan arak-arakan, bahkan ada yang membuat panggung di depan rumahnya. Dia menyayangkan ketidakpatuhan ini.
Afifuddin juga mendapat laporan dari salah satu daerah di Sumatera Utara, ada bakal calon yang sudah hadir ke kantor KPU setempat untuk mendapat. Namun, akhirnya pulang karena tidak membawa hasil swab Covid-19. Setelah hasil tes disusulkan, hasil swab calon itu ternyata positif Covid-19. Padahal, sesuai ketentuan KPU, hanya calon yang hasil swab-nya negatif yang boleh hadir saat pendaftaran.
"Berkaca dari hari ini (Jumat), memang urusan kesehatan ini tidak bisa hanya domain Bawaslu. Harus bersama-sama. Kalau tidak patuh, semua bisa terancam," kata Afifuddin.
Pesimisme masyarakat
Di antara pelanggar imbauan itu ada calon kepala daerah petahana, yakni Bupati Konawe Selatan Surunuddin Dangga dan Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana. Kedua calon petahana itu telah melanggar protokol Covid-19 karena menggelar arak-arakan saat mendaftar kepesertaannya di kantor KPU daerahnya masing-masing.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik saat dihubungi Jumat malam mengatakan, surat teguran yang ditandatangani oleh Mendagri Tito Karnavian langsung dikirimkan kepada Bupati Konawe Selatan dan Bupati pada hari ini.
"Mereka, kan, masih dalam posisi kepala daerah atau wakil kepala daerah sekarang, maka bisa kami tegur dalam kapasitas sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah," ujar Akmal.
Menurut dia, Teguran didasari atas Pasal 67 Ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di sana ditegaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah wajib mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, di Pasal 4 Ayat 1 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, ditegaskan bahwa PSBB setidaknya meliputi pembatasan kegiatan, antara lain di tempat umum dan fasilitas umum.
Dengan bertambahnya teguran kepada Bupati Konawe Selatan dan Bupati Karawang, maka total kepala daerah atau wakil kepala daerah calon petahana yang sudah ditegur Mendagri hingga sekarang berjumlah enam orang. Adapun, empat yang lain adalah Bupati Muna Rusman Emba, Bupati Muna Barat Laode Muhammad Rajiun Tumada, Wakil Bupati Luwu Utara M Thahar Rum, serta Bupati Wakatobi Arhawi.
Menimbulkan pesimisme
Tito, dalam rapat penyelenggaraan Pilkada 2020, Jumat, mengatakan, pelanggaran terhadap protokol kesehatan ini akan menjadi preseden buruk karena dapat menimbulkan pesimisme di tengah masyarakat. Publik akan beranggapan bahwa penyelenggaraan pilkada ini akan menjadi media penularan virus.
Padahal, Pilkada 2020 diharapkan dapat menekan laju virus korona dengan segala upaya pengendalian sosial dan penanganan virus yang dilakukan oleh seluruh pemimpin daerah, secara khusus para petahana.
Menurut Tito, paslon seharusnya bisa menjadi panutan (role model) bagi masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan yang telah diatur dalam pilkada.
”Bagaimana mau menjadi pemimpin kalau mengendalikan pendukung saja tidak bisa diatur. Padahal, penanganan pandemi ini, berhubungan dengan pengendalian masyarakat yang jumlanya tidak sedikit, puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan rakyat untuk seorang gubernur," ujar Tito.
Tito meminta kepada jajaran Badan Pengawas Pemilu untuk konsisten dalam menegakkan aturan protokol kesehatan di seluruh tahapan Pilkada 2020, yang tertera di Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020. Bila perlu, lanjutnya, data para pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan disampaikan kepada publik.
"Apapun sanksi yang diberikan Bawaslu, dinaikkan ke media, otomatis rekan-rekan kontestan berpikir juga kalau diekspos melanggar terus-menerus. Masyarakat juga akan menilai. Ini bisa memberikan efek jera," ucap Tito.
Hukuman pidana
Ketua Bawaslu Abhan menuturkan, seluruh jajaran Bawaslu di tingkat daerah telah diinstruksikan agar mengawasi secara ketat penerapan protokol kesehatan di setiap tahapan Pilkada 2020. "Jangan sampai nantinya malah terjadi klaster baru di penyelenggara, peserta pemilu, bahkan pemilih," katanya.
Abhan menjelaskan, tindakan pertama yang akan dilakukan jajaran Bawaslu terhadap pelanggar protokol kesehatan berupa teguran atau masih persuasif. Namun, jika teguran itu tak diindahkan, maka Bawaslu akan berkoordinasi dengan satuan polisi pamong praja (satpol PP) dan kepolisian setempat untuk menerapkan ancaman hukuman pidana.
Menurut Abhan, itu telah diatur di dalam Pasal 212 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 218 KUHP, Pasal 14 UU Nomor 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, serta Pasal 93 UU Nomor 6/2018 tentang Karantina Kesehatan.
"Ancaman pidana tentu menjadi ultimum remidium (sanksi terakhir). Ini memang bukan langsung kewenangan Bawaslu tetapi Bawaslu mempunyai peran menyerahkan perkara ini ke kepolisian. Jadi, penindakan atas pelanggaran protokol kesehatan bukan semata-mata tanggung jawab penyelenggara pemilu, tetapi berdasar UU lainnya menjadi tanggung jawab besar dengan lembaga-lembaga terkait, bisa kepolisian satpol PP," ucap Abhan.
Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, berkaitan dengan proses penertiban protokol kesehatan, pihaknya sangat membutuhkan dukungan setiap pihak. Yang terpenting, lanjutnya, KPU telah mengatur di PKPU Nomor 10/2020 agar di tahapan pendaftaran dilarang melakukan arak-arakan.
"Jadi, tidak boleh membawa pendukung yang begitu banyak untuk datang ke kantor-kantor KPU. Itu akan sangat berisiko menjadi sarana terjadinya penyebaran virus Covid-19," kata Arief.
Menurut Arief, penerapan aturan yang ketat seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Hal ini penting karena ke depan masih ada sejumlah tahapan yang melibatkan banyak orang. Tahapan lain tersebut adalah masa kampanye (26 September-5 Desember 2020), dan pemungutan suara (9 Desember 2020).
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mendorong calon mengendalikan diri dan pendukung. Selain itu, dia meminta Polri membubarkan kerumuman pendukung paslon yang jumlahnya melebihi ketentuan KPU. (OKA/VDL/BRO/NSA/CIP/VIO/COK/REN/JOL/FLO/IDO/DIT/NIK/