Konflik Zona Tangkap Nelayan Semakin Marak di Kepulauan Riau
Konflik antarnelayan akibat penyerobotan zona tangkap semakin marak terjadi di Kepulauan Riau. Dibutuhkan ketegasan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengatasi hal itu.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Konflik antarnelayan akibat penyerobotan zona tangkap semakin marak terjadi di Kepulauan Riau. Jika sebelumnya yang membuat resah adalah aktivitas kapal ikan asing, kini pertikaian justru lebih sering terjadi antarsesama nelayan Indonesia. Dibutuhkan ketegasan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengatasi hal itu.
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra, Jumat (4/9/2020), mengatakan, warga setempat cemas dengan kehadiran kapal-kapal cantrang dari pantai utara Jawa. Nelayan meminta pemerintah tegas dalam mengatur zona tangkap.
”Nelayan merasa terancam dari segi keselamatan dan juga dari segi mata pencarian. Selain itu, terumbu karang kami juga habis dibantai (kapal) cantrang,” kata Dedi saat dihubungi lewat telepon dari Batam.
Aktivitas kapal cantrang di Laut Natuna yang juga mencakup wilayah Anambas bermula dari kebijakan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang memobilisasi puluhan kapal dari pantura Jawa. Awalnya, hal itu dilakukan untuk mengisi kekosongan dan menghalau kapal asing di Laut Natuna Utara.
Sebelumnya, Ketua Rukun Nelayan Lubuk Lumbang Kelurahan Bandarsyah di Kecamatan Bunguran Timur, Natuna, Suherman, mengatakan, kapal-kapal cantrang dari pantura Jawa sering didapati beroperasi di perairan yang kurang dari 12 mil. Hal itu seperti yang dilihat dan didokumentasikan melalui video oleh nelayan di Pulau Subi pada 12 Juli lalu.
Kekesalan yang sama dirasakan juga oleh nelayan Anambas. Pada 3 September, mereka berunjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat. Mereka menuntut pemerintah daerah segera bertandang ke Jakarta untuk menyampaikan keresahan para nelayan di Anambas dan Natuna.
Konflik zona tangkap juga terjadi di Kecamatan Kepulauan Tambelan, Bintan. Wilayah yang terdiri dari 56 pulau kecil itu letaknya lebih dekat dengan Kalimantan Barat atau 340 kilometer dari pusat pemerintahan kabupaten di Pulau Bintan. Jumlah penduduknya sekitar 5.000 orang dan 90 persen berprofesi sebagai nelayan.
Ketua Lembaga Adat Melayu Tambelan Hidayat mengatakan, pada 4 April lalu, terjadi konflik yang berujung pembakaran kapal cumi berukuran 25 gros ton (GT) asal Kabupaten Karimun. Nelayan setempat jengkel karena kapal besar itu menangkap ikan di perairan yang berjarak hanya 15 mil dari pantai.
Lima nelayan Tambelan yang membakar kapal cumi tersebut kini mendekam sebagai tahanan di Polres Bintan. ”Kalau kami tidak diganggu, tidak akan (terjadi peristiwa) seperti itu,” ujar Hidayat.
Menurut dia, ativitas kapal-kapal besar di dekat garis pantai pulau-pulau kecil akan mematikan hidup nelayan tradisonal. ”Bukan hanya nelayan yang akan menderita. Perekonomian Tambelan itu dasarnya adalah nelayan. Toko kelontong, kedai makan, semuanya akan terdampak,” ucapnya.
Kalau kami tidak diganggu, tidak akan (terjadi peristiwa) seperti itu. (Hidayat)
Zonasi
Menanggapi masalah itu, Ketua Komisi II DPRD Kepri Iskandarsyah mengatakan, anggota Dewan dan pemerintah provinsi tengah menyusun rancangan peraturan daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Penyusunan perda yang akan menjadi dasar pengelolaan ruang laut itu direncanakan rampung pada 22 September.
Untuk mengantisipasi konflik berkepanjangan, Iskandar juga meminta aparat di laut agar lebih tegas bertindak. ”Kalau ada kapal di atas 30 GT mencari ikan di tempat nelayan tradisional, seharusnya dicabut saja izinnya,” katanya.
Sementara itu, secara terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan, dalam kenyataannya, Perda RZWP3K di daerah-daerah masih jauh dari semangat melindungi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Perda itu justru sering dimanfaatkan pejabat daerah untuk menjaring suap dari para investor sebagai pelicin izin proyek.
Pada 10 Juli 2019, bekas Gubernur Kepri Nurdin Basirun ditangkap tangan oleh KPK karena menerima suap izin prinsip dan lokasi pemanfaatan laut pada proyek reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepri. Dalam Rancangan Perda RZWP3K Kepri ada 42 titik reklamasi yang kemungkinan besar akan merampas ruang hidup nelayan.
Susan mengatakan, pemerintah provinsi melalui Rancangan Perda RZWP3K juga hanya berwenang mengatur perairan yang kurang dari 12 mil dari pantai. Padahal, nelayan lokal sudah terbiasa menangkap ikan hingga perairan perbatasan hanya berbekal alat tangkap tradisional dan kapal kecil.
”Tidak bisa dibatasi ruangnya dengan zona tangkap mereka hanya di bawah 12 mil. Itu sama saja meledek mereka yang nenek moyangnya seorang pelaut,” ujar Susan.
Adapun terkait konflik zona tangkap, Susan berpendapat, yang paling penting dalam pengelolaan ruang laut adalah tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebih. Ia menilai, Kementerian Kelautan dan Perikanan melangkah mundur dengan kembali mengizinkan penggunaan alat tangkap cantrang yang merusak lingkungan.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan disebutkan, kapal pukat berukuran lebih dari 30 GT hanya boleh beroperasi di jalur penangkapan ikan III atau perairan yang berjarak di atas 12 mil dari garis pantai saat surut terendah. Sementara penggunaan cantrang tidak dibolehkan sama sekali di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
Kementerian Kelautan dan Perikanan melangkah mundur dengan kembali mengizinkan penggunaan alat tangkap cantrang yang merusak lingkungan. (Susan Herawati)
Meski demikian, pemerintah berencana segera menerbitkan revisi peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang usaha penangkapan ikan untuk mendorong investasi. Dalam revisi itu, beberapa alat tangkap ikan yang sebelumnya dilarang, termasuk cantrang, akan diizinkan digunakan lagi.
”Sekarang yang dibutuhkan (nelayan tradisonal) adalah komitmen Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan penegakan hukum,” ucap Susan.