Jalan Panjang Pertahankan Hutan Adat Kinipan dari Bencana hingga Penjara
Deforestasi menjadi ancaman masyarakat adat Dayak yang hidup di Kalimantan Tengah. Hutan-hutan ditukar paksa dengan perkebunan monokultur. Mereka berjuang menolak hingga berhadapan dengan bencana dan jeruji besi.
Deforestasi menjadi ancaman komunitas adat Dayak di Lamandau, Kalimantan Tengah. Hutan-hutan adat ditukar paksa dengan perkebunan sawit. Mereka berjuang menolak hingga berujung penjara. Tak hanya itu, bencana alam pun di depan mata.
Gad Dali (52) baru tiba di Kota Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah, pada Senin (24/8/2020) pagi. Ia menempuh perjalanan darat dari Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, ke Palangkaraya dengan jarak 532 kilometer.
Tiba di Palangkaraya ia langsung menuju Polda Kalteng untuk menemui anaknya, Riswan (29), yang menjadi tersangka kasus pencurian gergaji mesin milik sebuah perusahaan sawit di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
Ia memeluk anak sulungnya saat bertemu di ruangan Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Polda Kalteng. Baik Gad Dali maupun Riswan tak paham mengapa mereka berada di sana.
Gad Dali menceritakan anaknya yang dibawa dari rumahnya di Lamandau pada 15 Agustus 2020 sempat diperiksa bersama Kepala Desa Kinipan Wilem Hengki. Lalu saat Hari Ulang Tahun Ke-75 Republik Indonesia Riswan menjadi tersangka dan ditahan di balik jeruji di Palangkaraya. Sementara Wilem Hengki dipersilakan pulang untuk memberi kabar keluarga Riswan.
Saat dibawa tak ada surat panggilan atau surat keterangan apa pun yang ia terima. Polisi hanya beralasan Riswan dan Wilem Hengki hanya akan diminta klarifikasi soal peristiwa penghadangan alat-alat berat perusahaan sawit yang berada di kawasan Desa Kinipan pada 23 Juni 2020.
Namun, tak disangka klarifikasi itu berujung pada penetapan tersangka. Riswan diduga melakukan pencurian mesin gergaji yang dilakukan dengan kekerasan.
Pada peristiwa yang sama, polisi juga memeriksa lima warga Kinipan lainnya, yakni Desem, Teki, Yusa, Embang, dan Oktalius. Belum jelas status kelimanya karena belum ada pernyataan resmi dari pihak kepolisian saat diminta konfirmasi dengan alasan masih menggali informasi dan data.
Senin siang, Gad Dali bersama kuasa hukum dari Koalisi Keadilan untuk Kinipan meminta penangguhan ke polisi karena berbagai alasan. Namun, yang utama karena Riswan memiliki penyakit gangguan saluran pencernaan.
Salah satu kuasa hukum Riswan, Parlindungan Hutabarat, menjelaskan, Riswan tidak mengakui adanya pencurian itu. Apalagi Riswan ditangkap saat barang bukti yang menjadi obyek pidana, mesin gergaji potong, tidak ada di tangan ataupun di rumah Riswan.
”Ini bukan kejahatan luar biasa, jadi sebenarnya tidak perlu ditahan. Kami harap Riswan bisa ditangguhkan,” kata Parlindungan.
Parlindungan mengungkapkan, posisi Riswan yang juga aparat pemerintah desa sebagai Kepala Urusan Pemerintah Desa Kinipan itu ada di dalam peristiwa penghadangan alat berat karena ingin memperjuangkan hutan adat mereka yang terancam investasi perkebunan sawit. Penghadangan itu merupakan respons mereka dari ingar-bingar konflik tenurial yang tak kunjung selesai dari tahun 2012.
”Riswan bukan pencuri, tetapi bagian dari perjuangan mempertahankan hutan adat yang sudah turun-temurun mereka kelola secara adat,” kata Parlindungan.
Baca juga : RUU Cipta Kerja Dinilai Berpotensi Picu Konflik Agraria
Koalisi Keadilan untuk Kinipan terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalteng, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya, LBH Genta Keadilan, dan Save Our Borneo (SOB).
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Hendra Rochmawan membenarkan adanya penangkapan warga Kinipan atas nama Riswan. Penangkapan itu dilakukan atas dasar laporan dari peristiwa yang dilakukan beberapa oknum di Desa Kinipan.
”Baik Riswan maupun perusahaan sawit itu memiliki hak yang sama di depan hukum,” kata Hendra.
Belum selesai kasus Riswan, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing kemudian ditangkap atas dugaan kriminal yang sama. Effendi ditangkap di rumahnya di Desa Kinipan. Namun, kini ia dilepaskan.
Effendi memang dikenal getol menolak perkebunan sawit. Permintaannya sederhana, ia meminta perusahaan berhenti beroperasi selama konflik masih berlangsung. Sayangnya, saat mereka dijerat hukum, hutan adat di Kinipan terus digusur.
Konflik Kinipan
Penjabat Ketua Badan Pelaksana Harian Wilayah AMAN Kalteng Ferdi Kurnianto menjelaskan, sebagian besar konflik tenurial di Kalteng selalu dibayangi ”hantu” kriminalisasi. Termasuk di Kinipan. Kasus tersebut dimulai sejak tahun 2012 saat warga Kinipan serentak menolak masuknya perusahaan sawit.
”Banyak konflik selalu berujung jeruji. Tampaknya itu seperti strategi untuk memecah belah masyarakat,” kata Ferdi.
Baca juga : Perkembangan Penanganan Konflik Agraria Dinilai Lamban
Dari data Walhi Kalteng, sejak 2005-2018 setidaknya terdapat 345 konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit yang penyelesaiannya tidak optimal. Kinipan hanyalah salah satu dari sekian banyak konflik yang tak selesai.
Gad Dali yang setiap hari bekerja sebagai peladang dan pemburu sangat membutuhkan hutan. Ia mengambil hasil hutan seperti jengkol, durian, hingga tanaman obat. Aktivitas itu tak lagi bisa ia lakukan karena hutannya menyusut.
Hutan yang pada tahun 2016 itu dipetakan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dengan luas 16.000 hektar lebih. Sekitar 4.000 hektar atau hampir 15 kali ukuran Stadion Gelora Bung Karno (GBK) sudah dibuka.
Banyak konflik selalu berujung jeruji. Tampaknya itu seperti strategi untuk memecah belah masyarakat.
Makin menyusutnya hutan itulah yang membuat warga Kinipan menolak perkebunan sawit. Mereka kemudian melakukan penghadangan karena komunikasi yang buntu.
Bencana alam
Tak selesai sampai di sana. Seperti jatuh lalu tertimpa tangga. Rumah Gad Dali sempat terendam banjir lantaran meluapnya Sungai Lamandau. Kejadian itu tak pernah ia rasakan seumur hidupnya.
”Baru kali ini air bisa masuk rumah saya. Saya juga heran. Dermaga di pinggir sungai saja bisa tenggelam air sungai. Belum pernah ada banjir hingga demikian,” kata Gad Dali.
Catatan Kompas, di Kabupaten Lamandau, lima posko darurat yang diisi oleh 2.553 pengungsi yang berasal dari delapan kecamatan terdampak banjir. Total warga yang terdampak banjir mencapai 4.571 keluarga atau 8.580 orang.
Baca juga : Komunitas Adat Laman Kinipan Kehilangan Hutannya
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lamandau Edison Dewei saat itu menjelaskan, banjir terjadi karena intensitas hujan yang tinggi. Namun, ia menyampaikan belum pernah banjir seluas itu terjadi.
”Belum pernah masuk banjir kota (Nanga Bulik) ini sebelumnya, tidak separah ini. Ada 21 ruas jalan yang tertutup aksesnya sehingga jalan putus,” kata Dewel.
Data Walhi Kalteng menyebutkan, tutupan hutan di Kalteng berkurang setiap tahun. Jika pada 1990 masih 11,05 juta hektar, pada 2014 tinggal 7,8 juta hektar yang dibabat untuk beragam kepentingan. Luas keseluruhan wilayah Kalteng 15,8 juta hektar. Sebanyak 78 persen atau 11,3 juta hektar di antaranya sudah ada izin konsesi, baik yang sudah beroperasi maupun belum.
Baca juga : Konflik Kinipan Tak Kunjung Usai, Warga Datangi Bupati
Bencana banjir dan kebakaran hutan terjadi di mana-mana sejak pembukaan hutan besar-besaran. Ironisnya, pada Desember 2018, Komite Perdamaian Dunia di Indonesia mengganjar Kalteng sebagai ibu kota paru-paru dunia setelah Brasil.
Gad Dali, Riswan, dan masyarakat adat lainnya hanya mencicipi hutan untuk hidup, mereka berburu babi hutan, menggali tanah untuk menanam padi, mencari madu, hingga menggelar pesta adat di hutan. Namun, semua itu kini terancam sirna.