Masyarakat dari Komunitas Adat Laman Kinipan melakukan unjuk rasa di lokasi tempat pembukaan lahan PT SML di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, pada akhir November lalu. Menurut mereka, hutan yang dibuka merupakan hutan adatnya.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Komunitas Adat Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, kehilangan hutannya setelah dikonversi menjadi perkebunan sawit. Sampai saat ini, baik perusahaan maupun komunitas adat masih saling klaim terhadap lahan yang dibuka.
Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing, Rabu (5/12/2018) di Palangkaraya, mengungkapkan, hutan yang dibuka merupakan wilayah kelola masyarakat adat yang sudah teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Pemetaan itu selesai dilakukan dan diregistrasi pada April 2016 dengan luas mencapai 16.164 hektar.
”Intinya, kami kehilangan hutan kami, tempat kami mencari segalanya. Berburu, berkebun, mencari tanaman obat, akses kami ke mana-mana juga akan sulit setelah dibuka begini,” ungkap Buhing saat dihubungi, Rabu.
Saat ini pembukaan hutan sudah dilakukan PT Sawit Mandiri Lestari (SML) mencapai 1.242 hektar. Menurut Buhing, pembukaan lahan yang dilakukan perusahaan berada di wilayah Komunitas Adat Laman Kinipan.
”Kami sudah melakukan berbagai macam cara untuk melakukan penolakan sebelum perusahaan mendapatkan izin dan datang ke sini kami sudah menolak, kami tak mau hutan kami jadi kebun sawit,” ungkap Buhing.
Buhing mengatakan, nenek moyang masyarakat Kinipan sudah tinggal dan memanfaatkan hutan sejak puluhan, bahkan ratusan tahun lalu. Ia berharap pemerintah mau mendengar keluhannya dan menghentikan pembukaan lahan.
DOKUMEN SAVE OUR BORNEO
Masyarakat adat Laman Kinipan menolak pembukaan lahan di wilayah adatnya pada akhir November lalu di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
Menanggapi hal tersebut, Haeruddin Tahir, Executive Operation PT SML, membantah telah membuka hutan di wilayah Kinipan. Pihaknya belum membuka sampai ke wilayah tersebut meskipun sudah mengantongi izin yang lengkap, termasuk di wilayah Desa Kinipan.
”Kalau dari peta yang kami dapatkan dari pemerintah, wilayah itu bukan milik Kinipan, itu wilayah Desa Karang Taba,” ungkap Tahir.
Tahir mengungkapkan, pihaknya sudah mengantongi perizinan sesuai dengan aturan yang berlaku. PT SML memperoleh izin pelepasan lahan seluas 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 19 Maret 2015. Izin pelepasan itu rinciannya, areal inti seluas 9.435,22 hektar dan plasma 9.656,37 hektar.
Pada 13 April 2017, kata Tahir, Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan pengukuran kadastral atau pertanahan dan perusahaan mendapatkan 17.046 hektar dengan rincian perkebunan inti 9.435 hektar, plasma 7.611 hektar, dan hak guna usaha (HGU) seluas 9.435,22 hektar.
”Kebun inti itu sudah ada HGU-nya, sedangkan kebun plasma ada izin lokasi, pelepasan, dan kadastral,” kata Tahir.
Ia menjelaskan, pihaknya memperoleh izin membuka kebun sawit di sembilan desa di tiga kecamatan di Lamandau. Mereka antara lain Desa Suja, Penopa, Karang Taba, Tapin Bini, Tanjung Beringin, Sungai Tuat, Cuhai, Kawa, dan Samujaya. Lalu, Desa Riam Panahan di Kecamatan Delang serta dua desa di Kecamatan Batang Kawa, yaitu Batu Tambun dan Kinipan.
”Tak semua desa memiliki potensi ditanami sawit, tetapi tetap kami masukkan yang mendapat jatah plasma sesuai arahan pemerintah, kami lakukan itu karena kami patuh,” ungkap Tahir.
DOKUMEN SAVE OUR BORNEO
Kayu-kayu yang ditebang saat pembukaan lahan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Kalteng Ikhtisan mengungkapkan, masyarakat komunitas adat bisa tetap mengelola hutan atau wilayah adatnya dengan mengganti skema lain selain hutan adat.
”Misalnya, pakai hutan kemasyarakatan atau skema lainnya sehingga mereka tetap bisa menikmati hasil sawit dengan syarat di atas 12 tahun tetapi secara per lahan mereka juga bisa menanam tanaman lainnya,” ujar Ikhtisan.
Menurut dia, selama ini pihaknya kesulitan mengesahkan hutan adat karena harus ada komitmen tinggi dari pemerintah kabupaten. Komitmen itu berupa pembentukan panitia hukum adat.
Ikhtisan menambahkan, ”Selama panitia itu tidak dibentuk, hutan adat tidak bisa disahkan. Sampai saat ini belum ada satu pun hutan adat yang sudah disahkan di Kalteng.”