Kidung Seni dari Atap Rumah dan Sawah
Di tengah pagebluk, aktivitas seni Komunitas Lima Gunung di Kabupaten Magelang menolak mati. Festival Lima Gunung digelar mengacu protokol kesehatan dengan cara unik. Seni jadi sarana syukur dan doa mohon keselamatan.
Ketika ruang harus berjarak di masa pandemi, para seniman lembah lima gunung di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menolak musnah. Panggung seni digelar di atap rumah dan sawah. Seni jadi sarana syukur dan doa mohon keselamatan pada Sang Pencipta dari semua bahaya yang kini menggerogoti dunia.
Di atas panel atap beton rumah warga di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (9/8/2020) siang, tiga perempuan bertopeng bergerak ritmis, rancak menari seiring lantunan musik gamelan yang dimainkan di dekat mereka. Saat matahari tertutup awan, tari Kidung Slamet dihantarkan. Sebuah tarian berisi doa mohon keselamatan.
Jika biasanya mereka menari di tengah kerumunan penonton, kali ini tidak. Warga hanya melihat dari jauh, dari rumah masing-masing. Entah jelas atau samar. Yang jelas, para penari tetap berusaha menikmati panggungnya sendiri tanpa sorak-sorai dan tepuk tangan.
Ditemani beberapa jenis ubi, emping, kacang, yang dijemur di atap, mereka menari hanya dengan gangguan berupa aroma sambal ataupun aneka masakan lain yang menguar dan mengundang rasa lapar dari dapur di lantai bawah.
Tari Kidung Slamet itu menjadi salah satu pembuka Festival Lima Gunung Ke-19, ajang seni tahunan yang digelar petani dan seniman penghuni lembah Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan perbukitan Menoreh, yang semuanya berada di Kabupaten Magelang.
Tahun ini, ajang tahunan Festival Lima Gunung (FLG) dibuka dengan pentas kesenian tanpa ingar bingar penonton di lereng Gunung Sumbing, di daerah setinggi 1.500 meter di atas permukaan laut. Pentas seni digelar di tengah dingin hawa gunung di musim kemarau. Tahun ini, FLG mengambil tema ”Donga Slamet: Waspada Virus Donya”, atau doa keselamatan, waspada terhadap bahaya virus di dunia. Lewat seni, Komunitas Lima Gunung ingin menegaskan pentingnya menjaga kesehatan di tengah pandemi.
Para seniman seolah merangkul sunyi dengan menempati puncak tertinggi, di atap rumah-rumah warga yang jauh dari apapun. Panggung ini dipilih sebagai jawaban atas situasi pandemi yang mengharuskan semua insan menjaga jarak demi mencegah penularan Covid-19.
Tahun ini, FLG mengambil tema ’Donga Slamet: Waspada Virus Donya’, atau doa keselamatan, waspada terhadap bahaya virus di dunia.
Pembukaan FLG dilakukan serentak dengan aneka pentas seni. Selain tari Kidung Slamet, puluhan seniman mementaskan pula ragam seni rakyat lain dari atap-atap rumah yang berbeda. Semua digelar mulai pukul 11.00.
Diiringi aneka tembang Jawa, seperti Sontoloyo dan Gondang Keli, para seniman bersama-sama melenggok, menari, hingga membaca puisi. Penikmat seni termasuk warga pemilik rumah pun dilarang mendekati area pertunjukan. Banyak petugas berjaga. Papan penghalang juga dipasang, demi mencegah terjadinya kerumunan.
Baca juga: Menjaga Gunung, Merawat Budaya
Tak hanya di atap rumah, pentas juga digelar di tengah sawah dan ladang. Sejumlah seniman, misalnya, dengan mengenakan kostum monyet menarikan tari Bekso Wanoro Argo di sela-sela ladang yang ditanami daun bawang. Setelah berlangsung dalam durasi waktu sekitar satu jam, perhelatan seni itu pun usai. Para seniman, panitia, jurnalis, dan sejumlah tamu undangan dalam jumlah terbatas pun langsung meninggalkan area pentas begitu saja.
Digelar ”rahasia”
Digelar di tengah masa pandemi, FLG kali ini memang terpaksa digelar dengan konsep berbeda. Sejumlah penyesuaian dilakukan, antara lain dalam bentuk pembatasan jumlah penonton, peniadaan kerumunan, dan pembatasan lama durasi pertunjukan. Di sejumlah titik, disediakan tempat cuci tangan dan cairan pembersih tangan. Semua dilakukan demi memastikan perhelatan seni tersebut berlangsung aman sesuai protokol kesehatan.
Beragam penyesuaian tersebut, terutama bentuk pembatasan penonton dan durasi pertunjukan, bukan hal yang mudah dilakukan bagi para pelaku seni. Bahkan, agar tak menimbulkan keramaian berlebih, jumlah seniman penampil pun dibatasi. Upaya itu butuh proses negosiasi yang melibatkan perasaan emosional dari para seniman.
Baca juga: Pentas Kesenian secara Langsung Belum Diizinkan di Jateng
Riyadi, salah seorang anggota Komunitas Lima Gunung (KLG) yang merupakan seniman asal Dusun Gejayan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, mengakui, banyak seniman asal desanya terpaksa kecewa karena tidak bisa tampil.
”Banyak seniman kecewa dan sedih karena tahun ini urung pentas. Dalam FLG kali ini, kami dari Dusun Gejayan hanya mengirim dua seniman. Padahal, biasanya kami mengirimkan hingga dua truk (seniman),” ujarnya. Dua truk tersebut biasanya diisi lebih dari 50 seniman.
Demi menghindari rasa sungkan dengan seniman lain, Ketua KLG Supadi Haryanto mengatakan, dirinya terpaksa menempuh sejumlah strategi. Sejak beberapa bulan sebelumnya, ratusan seniman di dusun tempat dirinya tinggal di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, terus bertanya kapan FLG dilaksanakan. Pertanyaan diajukan karena mereka sudah tahu perhelatan FLG biasa digelar setiap bulan Agustus. Namun, pertanyaan itu tidak pernah dijawab Supadi.
Ketika akhirnya diputuskan pembukaan FLG dilaksanakan Minggu (9/8/2020), Supadi terpaksa menyimpan rahasia dengan tak menyampaikan informasi tersebut kepada seniman lain. Hal ini mesti dilakukan karena setiap tahun, FLG dianggap sebagai hajatan seni terbesar dan bergengsi bagi para seniman di Kabupaten Magelang dan sekitarnya. ”Demi menghindari pertanyaan dari seniman lain, saya sengaja berangkat meninggalkan dusun sejak pukul 05.30,” ujarnya.
Menurut Supandi, FLG di Dusun Krandegan sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun lalu. Semula berencana digelar seperti biasa, melibatkan ribuan seniman dari puluhan kelompok kesenian. Namun, hadirnya pagebluk Covid-19 yang terjadi tiba-tiba membuat semua rencana berantakan.
Sejak Maret hingga Juli, para pengurus KLG masih terus membahas apakah FLG bisa dilaksanakan atau tidak. Sempat juga muncul rencana untuk melaksanakannya secara virtual, dengan tetap melibatkan kelompok kesenian dari berbagai tempat, lalu disiarkan dari lokasi masing-masing.
Namun akhirnya, rencana tersebut terpaksa dibatalkan. Selain karena masalah sulitnya jaringan internet di sejumlah tempat di desa, mereka khawatir pesoalan teknis muncul saat pentas ditayangkan virtual. ”Kami khawatir tayangan dari berbagai tempat justru dibajak atau dimasuki konten pornografi,” ujarnya.
Pada akhirnya diputuskan FLG tetap dilaksanakan di Dusun Krandegan, hanya dengan melibatkan seniman KLG tanpa warga dari luar kota. Bahkan, keputusan pembukaan FLG ke-19 pada Minggu diambil hanya dua hari sebelum waktu pelaksanaan.
Demi menghindari kerumunan, seluruh pengurus KLG berkomitmen tidak menyebarkan informasi tersebut. ”Atas kesepakatan bersama, pembukaan FLG akhirnya diputuskan hanya bisa dipublikasikan di media sosial, sekitar 10 menit sebelum acara,” ujarnya.
Beda dari tahun-tahun sebelumnya, pembukaan FLG kali ini dilakukan secara sederhana hanya melibatkan kurang dari 50 seniman. Mereka mementaskan sejumlah kesenian antara lain lengger, topeng ireng, warok, dan jathilan.
Beda dari tahun-tahun sebelumnya, pembukaan FLG kali ini dilakukan secara sederhana hanya melibatkan kurang dari 50 seniman.
Kendati demikian, sepinya suasana tidak berarti mengurangi kegembiraan. Ismanto, seniman asal Desa Sengi, Kecamatan Dukun, mengatakan, dirinya pun pernah beberapa kali tampil dalam pentas seni yang digelar larut malam, bahkan tengah malam. Sekalipun berisiko ditonton sedikit orang atau bahkan tanpa penonton, dia tetap menggelar pentas dengan senang.
”Kegembiraan itu datang dari dalam hati sendiri dan tidak tergantung jumlah penonton,” ujarnya.
Adapun Sarwo Edi, seniman asal Dusun Krandegan yang juga secara otomatis menjadi tuan rumah, mengaku tidak keberatan jika pembukaan FLG yang digelarnya di dusun kali ini, harus dilaksanakan dengan penuh kesederhanaan. ”Kita semua harus menyadari bahwa FLG kali ini tidak melulu berbicara tentang kesenian. Kita harus menyadari bahwa ajang kali ini sekaligus menjadi kampanye kesehatan,” ujarnya.
Baca juga: Seniman Tetap Berkreativitas di Tengah Pandemi Covid-19
Eksperimen
Presiden Lima Gunung Sutanto Mendut, mengatakan, pelaksanan FLG kali ini sebenarnya adalah bentuk ekperimen yang dilakukan Komunitas Lima Gunung, bagaimana agar tetap bisa menggelar pentas seni di tengah pandemi.
”Jika yang lain menetapkan protokol kesehatan di ruang tertutup, kami ingin membuktikan bahwa protokol kesehatan juga bisa dilaksanakan di alam terbuka, di ruang yang disediakan oleh Tuhan,” ujarnya.
Pelaksanaan acara termasuk pemakaian atap sebagai arena pentas, menurut Sutanto, adalah bentuk sindiran terhadap kondisi sekarang. Jika pemerintah hanya menetapkan jarak aman sekitar dua meter, pentas kali ini pun, menurut Sutanto, bisa dilaksanakan dengan mengambil area pentas berjauhan. Jarak antara satu pentas dan lainnya bahkan berkisar 200-500 meter.
Sutanto mengatakan, pemilihan lokasi pentas kali ini sangat aman bagi semua pihak, mulai dari seniman hingga warga yang melihatnya dari bawah. Kendati digelar di tengah pandemi, Sutanto mengatakan, FLG tetap akan dilaksanakan dengan istimewa dan gembira.
Baca juga: Perhelatan Rahasia Festival Lima Gunung XIX
Menurut Sutanto, tahun ini, FLG akan dilaksanakan berbeda dan unik. Jika tahun-tahun sebelumnya Festival Lima Gunung dipusatkan di satu desa dengan durasi waktu 1-2 minggu, tahun ini FLG akan digelar dengan berpindah-pindah tempat. Setelah pembukaan, agenda festival selanjutnya akan dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada Rabu (12/8/2020). Adapun jadwal selanjutnya belum diputuskan hingga kini.
”Kami akan terus menggelar agenda FLG hingga akhir tahun. Belum bisa dipastikan akan diselenggarakan kapan dan di mana saja. Kami hanya bisa memastikan bahwa semua acara akan digelar mendadak,” ujar Sutanto.
Para seniman lembah lima gunung di Kabupaten Magelang ingin menunjukkan, kegembiraan berkesenian tidak harus selalu ditampilkan dengan panggung yang ramai, di bawah sorot lampu, dan sorak-sorai penonton. Tanpa itu semua, tetap ada kebahagiaan dari hati dalam berkesenian. Semuanya masih bisa diwujudkan di tengah pagebluk.