Penolakan terhadap RUU Cipta Kerja berlanjut. Lebih dari 500 buruh kembali berdemontrasi menuntut penolakan terhadap regulasi yang dijuluki sapu jagat tersebut, Selasa (28/7/2020), di Kantor Gubernur Jatim,
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·2 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja berlanjut. Lebih dari 500 buruh kembali berdemontrasi menuntut penolakan terhadap regulasi yang dijuluki sapu jagat atau omnibus law tersebut, Selasa (28/7/2020), di Kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya.
Pantauan Kompas, kalangan buruh yang berunjuk rasa merupakan serikat pekerja dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan Mojokerto. Ini terlihat dari atribut terutama bendera organisasi dan spanduk yang mereka bawa selama aksi. Para buruh sudah berdatangan sejak tengah hari.
Demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja berkali-kali terjadi di tengah perjuangan multipihak menangani wabah Covid-19 (Coronavirus disease) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2). Wabah yang menjangkiti warga sejak pertengahan Maret hingga saat ini telah mengakibatkan 20.818 orang di Jawa Timur positif Covid-19, yang antara lain mencakup kematian sebanyak 1.621 jiwa, perawatan 6.917 pasien, dan kesembuhan 12.680 pasien.
Para buruh telah beberapa kali berdemonstrasi dengan tuntutan penolakan RUU Cipta Kerja sejak tahun lalu ketika rencana peraturan tersebut digulirkan oleh pemerintah.
Santoso dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sidoarjo dalam aksi itu mengatakan, ia menolak seluruh isi atau materi pembahasan sejumlah RUU dalam kluster omnibus law. Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa diminta mendesak DPRD Jatim untuk menyuarakan penolakan ke DPR. ”Kami menyerukan DPR menghentikan pembahasan apalagi menyetujui RUU Cipta Kerja,” kata Santoso.
Secara terpisah, pengacara publik pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Habibus Shalihin, menyatakan, ia mendukung tuntutan buruh terkait penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. ”Kami menuntut pemerintah bertanggung jawab terhadap pemutusan hubungan kerja yang terjadi saat wabah Covid-19,” ujar Habibus.
Wabah memaksa aparatur negara menerapkan pembatasan sosial di seluruh sektor kehidupan sehingga perekonomian macet. Kemandekan perekonomian merupakan konsekuensi dari masyarakat yang membatasi aktivitas dan konsumsi demi mencegah atau menekan potensi penularan Covid-19.
PHK dan kebijakan perusahaan merumahkan pekerja tidak bisa dihindari sebagai salah satu dampak Covid-19. Namun, penerapan PHK atau merumahkan buruh tidak dibarengi dengan pemberian hak yang memadai khususnya gaji, pesangon, atau tunjangan hari raya.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jatim Apin Sirait menambahkan, dalam situasi wabah, tekanan kepada masyarakat, terutama kaum buruh, kian besar dengan ”kewajiban” untuk menjalani tes Covid-19. Tidak semua bupati, wali kota, bahkan gubernur mau menanggung biaya tes yang dianggap kemahalan atau tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat.
”Kami berharap Ibu Gubernur (Khofifah Indar Parawansa) meneruskan dan menjadikan tuntutan kami sebagai aspirasi daerah kepada DPR dan Presiden,” kata Apin.