Terjadi Guguran Material di Merapi, Warga Diminta Tetap Tenang
Gunung Merapi mengeluarkan guguran material pada Rabu (15/7/2020) malam. Namun, masyarakat diminta tidak panik karena belum ada peningkatan potensi bahaya akibat aktivitas Gunung Merapi.
Oleh
HARIS FIRDAUS/REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah mengeluarkan guguran material, Rabu (15/7/2020) malam. Saat guguran terjadi, warga di lereng Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mendengar suara gemuruh. Meski begitu, warga diminta tetap tenang karena belum ada peningkatan potensi bahaya akibat aktivitas Merapi.
”Memang ada guguran. Imbauan kami, masyarakat tidak perlu panik tetapi tetap waspada,” kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida saat dihubungi Kompas, Rabu malam, di Yogyakarta.
Memang ada guguran. Imbauan kami, masyarakat tidak perlu panik tetapi tetap waspada.
Berdasarkan data BPPTKG, peristiwa guguran tersebut terjadi pada Rabu pukul 18.29 WIB. Lokasi terjadinya guguran itu belum bisa dipastikan karena pengamatan secara visual terhalang oleh kondisi cuaca. Namun, guguran tersebut dilaporkan terdengar dari Pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM) di wilayah Babadan, Magelang.
Hanik menjelaskan, guguran material itu kemungkinan masih berkait dengan aktivitas intrusi atau naiknya magma menuju ke permukaan yang sedang terjadi di Gunung Merapi. Dia menambahkan, selama beberapa hari terakhir, Merapi juga mengalami gempa vulkanik dangkal yang bisa menjadi penanda bahwa material magma kian mendekati wilayah permukaan.
Berdasarkan data BPPTKG, Selasa (14/7/2020), terjadi tiga kali gempa vulkanik dangkal di Merapi. Sementara itu, gempa vulkanik dangkal juga tercatat di Merapi sebanyak satu kali pada Minggu (12/7/2020), dua kali pada Jumat (10/7/2020), tiga kali pada Kamis (9/7/2020), serta satu kali pada Rabu (8/7/2020).
”Memang beberapa hari terakhir itu, kan, ada gempa vulkanik dangkal, berarti ada sesuatu yang bergerak ke permukaan. Jadi, kalau ada guguran, ya wajar,” tutur Hanik.
Meski begitu, Hanik mengatakan, belum ada peningkatan aktivitas yang signifikan di Gunung Merapi. Bahkan, dia menyebut, laju deformasi yang terjadi di Merapi justru cenderung mengalami penurunan selama beberapa hari terakhir.
Berdasarkan data BPPTKG, deformasi atau perubahan bentuk tubuh Gunung Merapi itu terpantau mulai 22 Juni 2020. Deformasi tersebut terlihat dari pemendekan jarak tunjam berdasar pengukuran jarak elektronik (electronic distance measurement/EDM) dari Pos PGM Babadan.
Pada masa-masa awal, pemendekan jarak tunjam itu mencapai 0,5 sentimeter (cm) per hari. Namun, Hanik menyebut, selama beberapa hari terakhir, pemendekan jarak tunjam itu menurun menjadi 0,3 cm per hari. ”Pemendekan jarak dari EDM itu turun. Dulu kan 0,5 cm per hari, tapi beberapa hari ini hanya 0,3 cm per hari,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, sampai saat ini belum ada peningkatan potensi bahaya akibat aktivitas Gunung Merapi. Oleh karena itu, status Merapi juga masih sama seperti sebelumnya, yakni Waspada (Level II). Selain itu, radius bahaya yang ditetapkan BPPTKG juga masih sama, yakni 3 kilometer (km) dari puncak Gunung Merapi.
Dengan penetapan radius bahaya itu, masyarakat diminta tidak beraktivitas pada wilayah dengan jarak 3 km dari puncak Merapi. Sementara itu, masyarakat yang berada di luar radius 3 km dari puncak Gunung Merapi bisa beraktivitas seperti biasa.
”Masyarakat silakan mengikuti terus informasi dari BPPTKG. Kalau ada perkembangan yang signifikan, kami pasti memberikan informasi,” tutur Hanik.
Mendengar suara
Guguran yang terjadi di Gunung Merapi itu diikuti oleh suara gemuruh yang terdengar di sebagian wilayah lereng Merapi di Magelang. Salah satu wilayah yang warganya mendengar suara gemuruh itu adalah Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Magelang, yang berjarak sekitar 5 km dari puncak Merapi.
Kepala Desa Krinjing, Ismail, mengatakan, guguran yang terjadi di Merapi itu menimbulkan suara gemuruh yang cukup keras dan terdengar oleh warga desa tersebut. Menurut Ismail, suara gemuruh terdengar dua kali. Suara pertama terdengar sekitar pukul 18.35 dan gemuruh kedua terdengar sekitar setengah jam setelahnya.
”Gemuruh terdengar sangat singkat. Dalam satu kali gemuruh, suaranya yang keras hanya terdengar 20-30 detik saja,” ujar Ismail yang sebelumnya pernah bertugas sebagai petugas di Pos PGM Babadan.
Ismail menambahkan, saat terdengar gemuruh itu, banyak warga Desa Krinjing yang langsung keluar rumah dan melihat ke arah Gunung Merapi. Namun, sekalipun gunung terlihat jelas, saat itu warga tidak melihat apa-apa di sekeliling gunung.
Ismail menuturkan, guguran yang diikuti suara gemuruh ini semakin meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan warga Desa Krinjing. Dia menambahkan, sejak terjadi erupsi Merapi pada 21 Juni 2020, warga desa tersebut terus melakukan ronda malam untuk mengawasi kondisi gunung.
Sementara itu, warga Desa Srumbung, Kecamatan Srumbung, Magelang, tidak mendengar suara gemuruh yang terjadi. Salah seorang perangkat Desa Srumbung, Muslim, mengatakan, warga desanya mengetahui informasi ihwal guguran itu dari media sosial.
Meski begitu, Desa Srumbung yang berjarak sekitar 10 km dari puncak Merapi juga intens menggiatkan aktivitas ronda. Jika sebelumnya ronda dilakukan untuk mengawasi pendatang dan menjaga keamanan desa di tengah pandemi, sejak akhir Juni lalu ronda diintensifkan untuk memantau kondisi Merapi.