Erupsi Gunung Merapi menyebabkan hujan abu di sejumlah wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah terjauh terdampak hujan abu adalah Kecamatan Purwodadi, Purworejo, Jateng. Status Merapi masih Waspada.
Oleh
REGINA RUKMORINI/HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Erupsi Gunung Merapi pada Minggu (21/6/2020) menyebabkan hujan abu di sejumlah wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hujan abu bahkan terjadi hingga wilayah Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Purworejo Iman Ciptadi mengatakan, hingga Minggu sore, hujan abu di Kabupaten Purworejo dilaporkan terjadi di tujuh kecamatan. Wilayah terjauh di Purworejo yang dilanda hujan abu adalah Kecamatan Purwodadi yang berjarak sekitar 70 kilometer dari Gunung Merapi.
”Sejak pukul 12.00, hujan abu dilaporkan terjadi di Kecamatan Bener, Loano, Purworejo, Kaligesing, Kutoarjo, Bayan, hingga ke sekitar kawasan pantai, yaitu Kecamatan Purwodadi,” ujar Iman.
Seperti diberitakan sebelumnya, Gunung Merapi erupsi dua kali pada Minggu pagi. Erupsi pertama pukul 09.13 dengan amplitudo 75 milimeter, durasi 328 detik, dan tinggi kolom erupsi 6.000 meter di atas puncak. Erupsi kedua pukul 09.27 dengan amplitudo 75 milimeter, durasi 100 detik, dan tinggi kolom erupsi tidak teramati.
Iman menjelaskan, hujan abu di sejumlah wilayah Purworejo itu terjadi selama sekitar setengah jam. Saat turun hujan abu, warga bisa melihat abu tipis turun dan meninggalkan bekas di jalan-jalan dan kendaraan.
Kendati demikian, menurut Iman, situasi itu tidak menimbulkan kepanikan. Masyarakat pun relatif tidak terganggu karena mereka yang beraktivitas di jalan sudah terbiasa memakai masker menghindari penularan Covid-19.
Di Kabupaten Magelang, Jateng, hujan abu terjadi di 45 desa di delapan kecamatan. Hujan abu cukup deras dilaporkan terjadi di tujuh desa di Kecamatan Srumbung. Adapun di 38 desa di tujuh kecamatan lain, hujan abu turun dalam skala ringan. Tujuh kecamatan itu adalah Kecamatan Dukun, Sawangan, Salam, Muntilan, Ngluwar, Mungkid, dan Borobudur.
Heri Susanto (40), warga Desa Srumbung, Kecamatan Srumbung, mengatakan, hujan abu di desanya mulai turun sekitar pukul 09.30 hingga sekitar 10.30. Selama sekitar satu jam, hujan abu terlihat turun cukup deras di Desa Srumbung yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Gunung Merapi. ”Abu terus terlihat mengguyur turun seperti hujan gerimis,” ujarnya.
Di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, hujan abu hanya dirasakan sangat tipis dan langsung berlalu begitu saja. Kepala Desa Krinjing Ismail mengatakan, sebelum hujan abu turun, terdengar suara gemuruh cukup keras dari Gunung Merapi. Namun, karena berlangsung singkat, suara itu pun tidak menimbulkan kepanikan warga.
Di Desa Menayu, Kecamatan Muntilan, hujan abu mulai turun sekitar pukul 09.30. Semula, hujan turun dalam skala ringan, tetapi lambat laun mengguyur semakin deras hingga sekitar pukul 11.00.
Hujan abu juga mengguyur tiga candi di Kabupaten Magelang, yaitu Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon. Menyikapi kondisi tersebut, Balai Konservasi Borobudur (BKB) langsung mengerahkan petugas untuk membersihkan abu di batuan candi.
”Karena hujan abu mengguyur rata bangunan candi yang sangat luas, pembersihan abu pun nantinya dipastikan tidak akan selesai dalam waktu satu hari,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Seksi Konservasi BKB Yudi Suhartono.
Pada Minggu, pembersihan dilakukan secara manual menggunakan sapu ijuk oleh petugas. Namun, pada Senin (22/6/2020), upaya pembersihan akan dilakukan semakin intensif dengan menggunakan mesin penyedot debu.
Debu yang menempel di batuan candi memang sangat tipis, kurang dari 1 milimeter. Namun, karena abu tersebut bersifat sangat asam dan berpotensi memicu kerusakan batuan candi, abu harus secepatnya dibersihkan. Abu tersebut diketahui memiliki derajat keasaman 4-5.
Selain di Jawa Tengah, hujan abu juga dilaporkan terjadi di Kabupaten Kulon Progo, DIY. ”Hujan abu tipis dilaporkan terjadi di wilayah Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo, yang berjarak sekitar 45 kilometer dari puncak Gunung Merapi pada pukul 12.00,” ujar Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida.
Letusan eksplosif
Hanik menyatakan, erupsi Gunung Merapi pada Minggu pagi tergolong letusan eksplosif. ”Letusan eksplosif sudah sering terjadi di Gunung Merapi. Sejak tahun 2019 sampai saat ini tercatat telah terjadi 15 kali letusan,” katanya.
Letusan eksplosif di Merapi bisa terjadi tiba-tiba atau didahului peningkatan aktivitas vulkanik. Bentuk peningkatan aktivitas vulkanik itu beragam dan terkadang tidak konsisten. Oleh karena itu, kenaikan aktivitas vulkanik tidak bisa dijadikan indikator pasti untuk memprediksi terjadinya letusan eksplosif.
”Dalam hal terjadi peningkatan aktivitas vulkanik sebelum letusan, bentuknya beragam dan tidak konsisten sehingga tidak dapat dijadikan indikator akan terjadinya letusan eksplosif,” ujar Hanik.
Meski begitu, Hanik mengakui, peningkatan aktivitas vulkanik meningkatkan peluang terjadinya letusan eksplosif. Oleh karena itu, bila ada peningkatan aktivitas vulkanik yang signifikan di Merapi, BPPTKG akan menyampaikan informasi tersebut kepada stakeholder atau pihak-pihak terkait.
”Terjadinya peningkatan aktivitas vulkanik meningkatkan peluang terjadinya letusan eksplosif. Informasi ini biasanya disampaikan kepada stakeholder untuk kewaspadaan,” ujarnya.
Berdasarkan data BPPTKG, sebelum terjadinya letusan pada Minggu pagi, terjadi peningkatan kegempaan di Merapi sejak 8 Juni 2020. Peningkatan kegempaan itu didominasi gempa vulkano-tektonik dalam (VTA) atau biasa disebut juga gempa vulkanik dalam.
Menurut data BPPTKG, pada periode 8-20 Juni 2020, jumlah gempa vulkanik dalam di Merapi mencapai 80 kali. ”Peningkatan gempa VTA sebelumnya terjadi pada Oktober 2019-Januari 2020 dengan energi yang lebih besar tetapi tidak diiringi dengan letusan,” katanya.
Hanik memaparkan, ke depan, letusan eksplosif di Gunung Merapi masih berpotensi terjadi. Letusan eksplosif dan gempa vulkanik dalam yang terjadi di Merapi merupakan indikasi bahwa suplai magma dari dapur magma di Gunung Merapi masih berlangsung.
Meski begitu, ancaman bahaya dari letusan Merapi masih sama dengan sebelumnya, yakni berupa awan panas dan lontaran material vulkanik dengan radius 3 kilometer dari puncak. Ancaman bahaya itu, antara lain, dihitung berdasarkan volume kubah lava Merapi yang sebesar 200.000 meter kubik saat diambil foto udara pada 13 Juni 2020.
Oleh karena itu, status Merapi masih sama dengan sebelumnya, yakni Waspada. Radius bahaya yang ditetapkan BPPTKG juga masih sama dengan sebelumnya, yaitu 3 kilometer dari puncak. ”Masyarakat diimbau tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa di luar radius 3 kilometer dari puncak Gunung Merapi,” ujar Hanik.