Perda Disahkan, Masyarakat Hukum Adat di Kalteng Boleh Membakar
Pemerintah mengesahkan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Kebakaran Lahan di Kalimantan Tengah. Salah satu isinya adalah mengizinkan kembali masyarakat hukum adat membakar lahan dengan syarat bukan di lahan gambut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah mengesahkan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Kebakaran Lahan di Kalimantan Tengah. Salah satu isinya adalah mengizinkan kembali masyarakat hukum adat membakar lahan dengan syarat bukan di lahan gambut. Meskipun demikian, kebijakan itu dinilai bermasalah.
Peraturan Daerah Pengendalian Kebakaran Lahan itu disahkan di DPRD Provinsi Kalteng pada Selasa (7/7/2020). Acara itu dihadiri pula Wakil Gubernur Kalteng Habib Said Ismail.
Salah satu anggota DPRD Provinsi Kalteng Komisi A, Freddy Ering, mengatakan, kebijakan itu menjadi salah satu yang paling alot dibahas lantaran memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Setidaknya anggota DPRD Provinsi Kalteng melakukan tiga kali konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Satu poin yang perlu dicermati, kami tidak lagi menggunakan terminologi peladang. Dalam kebijakan itu semua diganti dengan masyarakat hukum adat,” kata Freddy, Selasa (7/7/2020).
Freddy menjelaskan, kebijakan tersebut merupakan bentuk respons legislatif terhadap inisiatif masyarakat. Salah satunya soal begitu banyak peladang yang ditangkap lantaran dituduh membakar lahan.
”Nuansanya adalah kearifan lokal dan keinginan publik, salah satunya soal membakar lahan itu. Tetapi, ada beberapa syarat yang harus dijalankan sebelum membakar lahan,” ungkap Freddy.
Dengan adanya Peraturan Daerah tentang Pengendalian Kebakaran Lahan tersebut, masyarakat kembali boleh membakar dengan syarat mereka adalah masyarakat hukum adat. Selain itu, pembakaran hanya bisa dilakukan di lahan yang bukan gambut.
”Memang terkesan kontradiktif dengan judulnya yang mengendalikan, tetapi membolehkan membakar, tetapi ini justru akan jauh lebih adil dan terkendali jika dilaksanakan supaya masyarakat tidak kucing-kucingan lagi sama aparat,” kata Freddy.
Melihat hal itu, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Provinsi Kalteng Ferdi Kurnianto memberikan pandangan yang berbeda. Ia menilai, kebijakan itu membuat masyarakat adat harus semakin waspada. Pasalnya, perda itu disahkan sebelum rancangan perda masyarakat hukum adat disahkan.
”Selama raperda masyarakat hukum adat belum disahkan, peladang tradisional belum keluar dari zona kriminalisasi karena membakar lahan,” ungkap Ferdi.
Menurut Ferdi, selama ini, kementerian hanya ingin masyarakat hukum adat yang boleh membakar. Hal itu justru memperlambat pengesahan raperda masyarakat hukum adat.
”Di Kalteng ini masyarakat adat masih belum ditetapkan dan diakui keberadaannya melalui regulasi daerah kecuali di Pulang Pisau karena ada SK Bupati Pulang Pisau,” kata Ferdi.
Hal serupa juga dikatakan Ketua Forum Hear of Borneo (HOB) Marko Mahin. Menurut dia, perda itu merupakan akal-akalan pemerintah karena dibuat setengah-setengah. Belajar dari pengalaman kebakaran hutan dan lahan tahun 2019, masih banyak peladang yang ditangkap.
”Mereka (peladang) nanti ditanya, mana bukti bahwa mereka masyarakat adat. Karena belum ada ya lalu ditangkap,” ungkap Marko.
Menurut Marko, seharusnya dalam kebijakan itu tidak menggunakan terminologi masyarakat hukum adat, tetapi peladang tradisional. Ia memberikan contoh kasus di Murung Raya. Saat itu, Sapur (61) ditangkap karena membakar lahan yang tidak lebih dari setengah hektar. Saat itu, ia bahkan bisa membuktikan bahwa memiliki izin dari pemerintah desa setempat.
Sapur ditahan sejak September 2019 sampai dibebaskan pada April 2020. ”Kasus-kasus seperti itu tidak bisa terhindar meski ada perda itu sekalipun,” kata Marko.
Ketua Badan Pembentuk Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi Kalteng Maruadi menjelaskan, penggunaan terminologi masyarakat hukum adat itu merupakan hasil dari koordinasi dengan beragam kementerian. Perda itu juga hanya mengatur soal kebakaran lahan bukan hutan.
”Masyarakat hukum adat yang dimaksud adalah yang direkomendasikan oleh mantir, damang, (tokoh adat), dan kepala desa setempat,” kata Maruadi.
Maruadi menjelaskan, perda itu nanti menjadi landasan kebijakan lainnya seperti peraturan gubernurdan peraturan bupati/wali kota. ”Nanti teknisnya diatur di pergub terkait formulir, syarat, dan yang berhak memberikan pengakuan masyarakat hukum adat,” kata Maruadi.
Menurut Maruadi, perda itu dibentuk dengan semangat agar masyarakat peladang bisa berladang dengan aman dengan tetap memperhatikan aturan yang ada. ”Kalau di lahan gambut itu dilarang keras untuk dibakar,” ujarnya.