Revisi UU Minerba Dinilai Belum Melindungi Masyarakat
RUU Mineral dan Batu Bara yang dibahas Komisi VII DPR dianggap belum mengakomodasi suara masyarakat. Beberapa pasal juga dinilai akan melegalkan perusakan sumber kehidupan masyarakat.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Pembahasan revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara yang terus dilakukan Komisi VII DPR dianggap belum mengakomodasi suara masyarakat yang menolak adanya pertambangan di sekitar tempat tinggal mereka. Selain itu, terdapat beberapa pasal yang berpotensi merusak sumber kehidupan masyarakat.
Hal itu mencuat dalam diskusi daring melalui aplikasi Zoom yang diselenggarakan gerakan Bersihkan Indonesia bertajuk ”Ancaman RUU Minerba Terhadap Keselamatan dan Kesejahteraan Warga Negara”, Senin (11/5/2020). Gerakan itu terdiri dari lembaga nonpemerintah yang bergerak di bidang lingkungan dan pendampingan hukum.
Perwakilan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Mareta Sari, mengatakan, jika RUU Minerba disahkan, tidak ada ruang bagi masyarakat yang menolak tambang di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Pada Pasal 5, 55, 58, 61, dan 68 disebut pertambangan minerba dilakukan secara sistematis, terpadu, terarah, transparan, menyeluruh, dan akuntabel.
Namun, tidak ada pasal yang memberikan ruang bagi partisipasi warga dan konsultasi pada masyarakat sebelum aktivitas tambang berjalan. Mareta menilai, masyarakat yang ingin mempertahankan tanahnya malah rawan dipidanakan.
Dalam Pasal 162 disebutkan, setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan yang telah memenuhi syarat bisa dipidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta. Bahkan, warga penolak tambang juga bisa dikenai pidana tambahan, mulai dari perampasan barang hingga kewajiban membayar kerugian.
”Masyarakat yang ingin mempertahankan tanahnya dari aktivitas tambang batubara jadi rentan dipidanakan dan dikriminalisasi,” kata Mareta.
Masyarakat yang ingin mempertahankan tanahnya dari aktivitas tambang batubara jadi rentan dipidanakan dan dikriminalisasi.
Ia mencontohkan, sebelum RUU Minerba disahkan, masyarakat mudah berhadapan dengan polisi karena mempertahankan hak hidupnya. Di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, belum lama ini, warga harus berhadapan dengan polisi karena mempertahankan sumber air warga yang ditambang.
Rakyat yang geram membakar beberapa alat berat di sana karena pertambangan itu mencemari sumber air masyarakat. Padahal, masyarakat dan pengelola waduk sudah melaporkannya ke kepolisian, tetapi tambang itu tetap berjalan.
Sumber kehidupan
Beberapa pasal dalam revisi UU Minerba juga dinilai berpotensi menghilangkan sumber-sumber kehidupan warga di sekitar area pertambangan. Dalam revisi UU Minerba, wilayah pertambangan bisa dilakukan di sungai yang memiliki cadangan mineral sekunder.
Pasal 22 huruf a dan d tentang kriteria wilayah pertambangan rakyat dinilai membuka ruang penambangan di sungai semakin luas, yakni maksimal 100 hektar. Padahal, pada UU sebelumnya, luas maksimal yang diizinkan hanya 25 hektar.
”Ini akan mempersempit sumber kehidupan masyarakat, seperti tanah, air, dan energi,” kata Mareta.
Di Desa Mulawarman, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, warga saat ini bergantung pada air bantuan dari perusahaan tambang karena air dari dalam sumur kotor.
Sungai yang sebelumnya melewati desa sudah tidak ada karena tergerus aktivitas tambang. Padahal, sebelum tambang masuk ke desa itu pada 2014, masyarakat di sana mandi, mencuci, bahkan masak dengan air sungai atau sumur (Kompas, 13/1/2020).
Wilayah hukum
Gerakan Bersihkan Indonesia juga mempertanyakan Pasal 1 Ayat 28 A tentang wilayah hukum pertambangan. Pasal itu menyebutkan, wilayah hukum pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan paparan benua.
Pendefinisian baru itu dibuat dalam rangka memberikan ruang untuk melakukan kegiatan penyelidikan penelitian pertambangan di seluruh wilayah Indonesia.
Namun, definisi itu ini dinilai akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran, bukan hanya di kawasan daratan, melainkan juga lautan yang bertentangan dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Perwakilan Jatam Kalimantan Utara Theodorus mengatakan, sebelum adanya definisi itu juga sudah terjadi penambangan di Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Pulau seluas 198 kilometer persegi itu ditambang meskipun melanggar UU.
”Bahkan lubang tambangnya itu mengikuti pasang surut air laut, tetapi pemerintah hanya tutup mata saja terkait hal itu,” kata Theodorus. Padahal, dalam Pasal 1 Ayat (28) UU No 27/2007 disebutkan, hal itu masuk dalam pencemaran pesisir yang membuat kualitas pesisir turun.
Menanggapi penolakan-penolakan itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR Bambang Wuryanto mengatakan, jika hasil pembahasan revisi UU Minerba dirasa kurang pas, ia mempersilakan untuk melakukan judicial review.
“Anggota DPR, sesuai dengan kewenangan yang dipunyai, berkuasa penuh membentuk undang-undang. Pembahasan hal tersebut bersama pemerintah sehingga semua didiskusikan panjang lebar. Jadi, tidak ada yang dibahas suka-suka,” katanya dalam rapat kerja virtual Komisi VII DPR yang disiarkan langsung melalui Dpr.go.id.
Rapat itu dihadiri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dengan agenda pembicaraan tingkat I/pengambilan keputusan tentang revisi UU Minerba. Rapat kerja selesai sekitar pukul 18.00 Wita dan dilanjutkan keesokan harinya.