Setelah sekian lama tidak memiliki hutan adat, akhirnya Kalimantan Tengah memiliki satu hutan adat di Kabupaten Pulang Pisau. Hal itu menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat mulai terwujud.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PULANG PISAU, KOMPAS – Setelah sekian lama tidak memiliki hutan adat, akhirnya Kalimantan Tengah memiliki satu hutan adat di Kabupaten Pulang Pisau. Selain itu, pembentukan panitia hukum adat mulai melebar ke berbagai kabupaten di Kalimantan Tengah. Panitia hukum adat merupakan salah satu prasyarat agar pemerintah bisa mengakui komunitas masyarakat adat sekaligus hutan adat.
Hutan adat pertama dalam skema perhutanan sosial di Kalimantan Tengah berada di Kabupaten Pulang Pisau, tepatnya di Desa Pilang. Hutan itu diberi nama Hutan Adat Basarak dengan luas 102 hektar.
Syarat utamanya ada di panitia hukum adat (PHA). Kalau itu sudah ada, proses verifikasinya bisa jauh lebih cepat.
Kepala Bidang Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Ihtisan, di Palangkaraya, Selasa (28/1/2020), mengungkapkan, pengakuan hutan adat di Pulang Pisau bisa jauh lebih cepat karena proses pendampingan dari banyak pihak. Pemerintah pusat pun langsung merespons. “Syarat utamanya ada di panitia hukum adat (PHA). Kalau itu sudah ada, proses verifikasinya bisa jauh lebih cepat,” katanya.
Keberadaan PHA sangat penting dalam proses pengakuan dan pengukuhan hutan adat. PHA terdiri dari pejabat pemerintah daerah, tokoh adat, dan komunitas masyarakat adat. Dinas Kehutanan Kalteng menerima 12 peta wilayah adat dengan total luas 119.777,76 hektar dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Provinsi Kalteng.
Menurut Ihtisan, ada dua kabupaten lain yang dalam waktu dekat akan ditetapkan hutan adatnya. Kabupaten itu yakni Seruyan dan Lamandau, dengan total luas hutan adat mencapai 624 hektar.
Sampai saat ini, dalam skema perhutanan sosial, total terdapat 151 izin yang diberikan dinas kehutanan kepada masyarakat dengan total luas lahan 205.381,95 hektar. Rinciannya, 28 izin hutan desa (79.531 hektar), 69 izin hutan kemasyarakatan (68.107,99 hektar), 51 izin hutan tanaman rakyat (57.640,96 hektar), dan satu izin hutan adat di Pulang Pisau tadi.
“Tujuan perhutanan sosial adalah untuk kesejahteraan masyarakat yang berada dalam kawasan atau di sekitar kawasan sehingga mereka bisa mandiri secara ekonomi,” kata Ihtisan.
Untuk memastikan izin-izin yang diberikan bisa bermanfaat, pemerintah melakukan pendampingan juga memfasilitasi masyarakat. “Ada juga bantuan-bantuan ekonomi produktif dan pelatihan-pelatihan,” kata Ihtisan.
Manajer Program Yayasan Pusaka Ditta Wisnu mengungkapkan, pihaknya bersama Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah terus mendorong pengakuan masyarakat adat sejak 2019 di mana banyak peladang ditangkapi. Dalam konteks hukum, banyak peladang yang melaksanakan ritual adat sebelum membakar lahan ditangkap aparat hukum.
Yayasan Pusaka mencatat, terdapat tujuh kabupaten yang sudah membentuk panitia hukum adat, yakni Murung Raya, Pulang Pisau, Katingan, Barito Utara, Barito Timur, Barito Selatan, dan Kapuas. Namun, baru Pulang Pisau yang sudah memiliki hutan adat.
Selain itu, lanjut Ditta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah pun sudah membentuk PHA untuk provinsi. Kebutuhan yang paling mendesak, lanjut Ditta, karena banyaknya kriminalisasi terhadap peladang yang merupakan bagian dari masyarakat adat.
Jadi, kearifan lokal hanya bisa diterapkan di wilayah adat yang sudah ditetapkan.
“Dalam berbagai kasus persidangan karhutla (kebakaran hutan dan lahan), penegak hukum mempertanyakan wilayah adat para peladang yang ditangkap. Jadi, kearifan lokal hanya bisa diterapkan di wilayah adat yang sudah ditetapkan,” kata Ditta.
Ditta menjelaskan, selama ini, banyak peladang dikriminalisasi hanya karena membakar lahan yang tidak sampai dua hektar. Hal itu dilakukan untuk menyambung hidup. Oleh karena itu, pengakuan wilayah adat atau hutan adat dan masyarakat adat sangat diperlukan.
“Selain itu, ada beberapa rancangan peraturan daerah yang sedang digodok di legislatif. Jadi, daerah sudah mulai sadar dengan pentingnya keberadaan masyarakat adat,” kata Ditta.