KPK Didesak Ungkap Tuntas Kasus Suap Jaksa di Yogyakarta
Komisi Pemberantasan Korupsi didesak mengungkap tuntas kasus suap terkait proyek rehabilitasi saluran air hujan di Yogyakarta. Selain dua jaksa dan satu pengusaha, kasus itu diduga juga melibatkan pihak lain.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi didesak mengungkap tuntas kasus suap terhadap dua jaksa terkait proyek rehabilitasi saluran air hujan di Yogyakarta. Selain dua jaksa dan satu pengusaha, kasus itu diduga juga melibatkan pihak lain, baik dari unsur swasta maupun pemerintah.
”Publik berharap perkara ini dibongkar tuntas hingga semua pihak yang terlibat,” kata Koordinator Gerakan Anti Korupsi Yogyakarta (GAKY) Tri Wahyu seusai memantau sidang kasus korupsi rehabilitasi saluran air hujan di Yogyakarta, Kamis (9/1/2020), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Yogyakarta.
Kasus suap terhadap dua jaksa itu terungkap saat KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada 19 Agustus 2019. Dalam kasus itu, KPK menetapkan tiga tersangka, yakni jaksa Kejaksaan Negeri (Kejari) Yogyakarta Eka Safitra, jaksa Kejari Surakarta Satriawan Sulaksono, dan pengusaha asal Solo, Gabriella Yuan Anna Kusuma.
Eka dan Satriawan diduga menerima suap senilai Rp 221.740.000 dari Gabriella. Suap itu diberikan agar perusahaan yang dibawa Gabriella, yakni PT Widoro Kandang, bisa menang lelang proyek rehabilitasi saluran air hujan (SAH) di Jalan Supomo, Yogyakarta, dan beberapa jalan sekitarnya.
Proyek di Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta itu biasa disebut dengan rehabilitasi SAH Jalan Supomo Cs. Anggaran proyek itu Rp 10,887 miliar, sedangkan nilai kontrak proyek setelah lelang Rp 8,382 miliar.
Tiga pelaku yang terlibat dalam kasus itu sudah dibawa ke persidangan. Gabriella telah menjalani sidang sejak 31 Oktober 2019. Pada Kamis (9/1/2020) ini, Gabriella menjalani sidang dengan agenda pembacaan pleidoi atau pembelaan. Sementara Eka dan Satriawan menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan pada Rabu (8/1/2020).
Tri Wahyu menyatakan, pengusutan kasus tersebut tidak boleh hanya berhenti pada dua jaksa dan satu pengusaha. Dia menyebut, jika ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus itu, KPK harus menindak. Apalagi, dalam kasus ini, KPK telah memeriksa sejumlah saksi dari Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta dan DPRD Kota Yogyakarta.
”KPK harus optimal menjalankan tugasnya dengan ’menyeret’ semua pihak yang terlibat dan tidak hanya berhenti pada tiga terdakwa,” kata Tri Wahyu.
Menanggapi desakan itu, jaksa penuntut umum (JPU) KPK, Bayu Satriyo, mengatakan, jika memang ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus tersebut, hal itu akan dibuktikan dalam persidangan dengan terdakwa Eka Safitra dan Satriawan Sulaksono. ”Kemungkinan hal itu akan kita lihat di persidangan,” katanya.
Mantan penasihat KPK, Budi Santoso, menyatakan, apabila ditemukan keterlibatan pihak lain dalam kasus tersebut, KPK pasti akan menindaklanjutinya. Ia meyakini, KPK pasti akan memproses orang-orang lain yang terlibat dalam kasus itu.
”Di KPK itu prosedur standarnya sudah jelas. Kalau di tengah jalan ditemukan pihak lain yang diduga terlibat, pasti akan diproses. Cuma yang saya tidak bisa menjawab dan tidak bisa memastikan adalah kapan proses itu akan dilakukan," ujar Budi ditemui di sela-sela memantau sidang di Pengadilan Tipikor Yogyakarta.
Sementara itu, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Yogyakarta, Kamis ini, terdakwa Gabriella Yuan Anna Kusuma dan kuasa hukumnya membacakan pleidoi atau pembelaan. Kuasa hukum Gabriella, Widhi Wicaksono, mengatakan, kliennya mengakui telah memberikan uang kepada jaksa Eka Safitra. Total uang yang diberikan sebesar Rp 221.741.395.
Widhi menyebut, pemberian uang itu dilakukan setelah Eka menawari Gabriella untuk ikut dalam lelang proyek rehabilitasi SAH Jalan Supomo Cs. Eka juga mengatakan dirinya bisa membuat perusahaan yang dibawa Gabriella, yakni PT Widoro Kandang, menang dalam lelang itu.
”Terdakwa (Gabriella) tidak berbuat aktif untuk mencari proyek. Justru terdakwa ini ditawari proyek, kemudian terkecoh dan termakan bujuk rayu,” kata Widhi.
Widhi juga menilai, kemenangan PT Widoro Kandang dalam lelang proyek rehabilitasi SAH Jalan Supomo Cs sebenarnya bukan karena campur tangan Eka Safitra. Dia menambahkan, kemenangan itu bisa tercapai karena PT Widoro Kandang telah memenuhi persyaratan dan memberikan penawaran terendah dalam lelang.
Kuasa hukum Gabriella lainnya, Mohammad Sofyan, memaparkan, pihaknya menilai tuntutan JPU KPK terhadap Gabriella kurang tepat karena menggunakan Pasal 5 Ayat 1 Huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001.
Pasal itu mengatur tentang seseorang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Sofyan berpandangan, Gabriella lebih tepat dijerat dengan Pasal 13 UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001. Pasal itu mengatur tentang orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya.
Oleh karena itu, Sofyan mengatakan, tuntutan JPU KPK terhadap Gabriella terlalu berat. Sebelumnya, JPU KPK menuntut Gabriella dengan hukuman pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider kurungan 3 bulan.
”Kami keberatan dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Karena itu, kami mohon hukuman yang seringan-ringannya untuk terdakwa (Gabriella),” kata Sofyan.
Sementara itu, saat membacakan pleidoi pribadinya, Gabriella menyebut dirinya merasa telah dimanfaatkan oleh Eka Safitra dan Satriawan Sulaksono untuk kepentingan pribadi kedua jaksa tersebut.
”Atas kekuranghati-hatian saya dalam mencari peluang pekerjaan, saya telah terjebak dan dimanfaatkan dalam permainan yang penuh rekayasa dari Eka Safitra dan Satriawan Sulaksono demi dan untuk kepentingannya secara pribadi,” kata Gabriella.
Menanggapi pleidoi itu, JPU KPK, Bayu Satriyo, mengatakan, pihaknya menilai penggunaan pasal dalam tuntutan terhadap Gabriella sudah tepat. Oleh karena itu, Bayu menyatakan, JPU KPK tetap menuntut Gabriella dengan pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sidang dengan terdakwa Gabriella akan dilanjutkan pada Kamis (16/1/2020) dengan agenda pembacaan putusan. Majelis hakim sidang itu adalah Suryo Hendratmoko selaku ketua serta Samsul Hadi dan Rina Listyowati sebagai anggota.