Rencana Ganjil Genap di Bandung Dinilai Tidak Efektif
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Untuk mengatasi kemacetan, Pemerintah Kota Bandung berencana memberlakukan sistem ganjil genap di beberapa ruas jalan utama. Namun, rekayasa ini diprediksi tidak berjalan efektif karena jaringan moda transportasi belum merata. Penataan jalur dan trayek angkutan umum diperlukan sehingga masyarakat bisa memilih menggunakan moda itu.
Jalur yang dipersiapkan untuk ganjil-genap adalah jalur tengah, yaitu Jalan Ahmad Yani, Jalan Asia-Afrika, Jalan Supratman, dan Jalan Otto Iskandardinata. Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung Didi Ruswandi, Senin (1/10/2018), menyatakan, keempat rute itu dipilih karena dianggap memiliki moda transportasi yang lengkap, mulai dari angkutan kota (angkot) hingga bus.
Namun, pemberlakuan sistem ini tidak diiringi dengan pembangunan kantong-kantong parkir. Didi menuturkan, area parkir tidak dibutuhkan agar masyarakat meninggalkan kendaraan di rumah dan menggunakan kendaraan umum.
Rekayasa ini, tutur Didi, masih belum bisa ditentukan karena butuh pertimbangan tenaga ahli dan sosialisasi. Ia memprediksi sosialisasi akan memakan waktu seminggu dan uji coba akan dilakukan satu bulan seusai sosialisasi.
”Ganjil genap ini tidak untuk mengalihkan arus, tetapi mengalihkan dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Kami cari pendapat ahli dulu, baru sosialisasi.” ujarnya saat ditemui di Balai Kota Bandung.
Selain ganjil genap, rekayasa juga akan diberlakukan di jalur-jalur padat, seperti Jalan Setiabudi yang akan diberi pembatas hingga Jalan Sukawangi sepanjang 500 meter. Jalur ini mendapat perhatian karena sering mengalami kemacetan, terutama di akhir pekan. Menurut Didi, pembatas diberikan untuk menghindari kemacetan akibat kendaraan yang kerap berputar arah.
Dihubungi secara terpisah, pakar transportasi Institut Teknologi Bandung, Sony Sulaksono Wibowo, berpendapat, pembatasan kendaraan dengan mekanisme ganjil genap dianggap tidak efektif untuk mengurai kemacetan. Ia berujar, pembatasan di satu jalur akan berimbas terhadap beberapa jalur terhubung karena pengendara menghindari jalur ganjil genap.
”Kita tidak bisa menghalangi seseorang untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi. Apalagi beberapa kawasan di Bandung, seperti Bandung Timur, tidak memiliki sistem transportasi umum yang terhubung dari satu perumahan ke perumahan lainnya. Masyarakat, mau tidak mau, akan menggunakan kendaraan pribadi,” tuturnya.
Menurut Sony, pemerintah perlu mengkaji ulang sistem transportasi dengan memikirkan konektivitas antardaerah sehingga masyarakat memiliki pilihan untuk menggunakan angkutan umum. Jika itu bisa dilakukan, baru rekayasa jalur akan bisa berlaku efektif.
”Intinya, rekayasa seperti ini adalah cara untuk memaksa masyarakat meninggalkan kendaraan di rumah. Mereka diminta mengubah kebiasaan, dari kendaraan pribadi beralih menggunakan angkutan umum. Namun, untuk mencapai hal itu, moda transportasinya harus diperbaiki terlebih dahulu,” ujarnya.
Perubahan kebiasaan ini menjadi penting karena Bandung menjadi salah satu kota yang kerap mengalami kemacetan, terutama di jam-jam sibuk, seperti pagi dan sore hari. Sony berujar, rata-rata laju kendaraan di Bandung saat ini hanya berkisar 5-10 kilometer per jam. ”Padahal, laju rata-rata kendaraan di perkotaan itu idealnya 30 kilometer per jam,” ucap Sony.