Senjata Merupakan Simbol Status Sosial bagi Kulit Putih
”The Second Amendment, bukan soal senjata, hal itu adalah tentang anti-kulit hitam. Undang-undang itu dirancang dan konsisten membuat Afrika Amerika lemah dan rentan,” kata profesor Carol Anderson.
Kubu Republikan AS dan konstituennya sepanjang waktu menolak pengetatan kepemilikan senjata. Itu jika pengetatan berlaku untuk kalangan kulit putih. Namun, kulit putih akan bicara beda jika pengetatan berlaku untuk kulit berwarna. Oleh sebab itulah, kubu Demokrat dan konstituennya gagal dalam perjuangan untuk memperketat kepemilikan senjata jika tujuannya adalah pengetatan untuk semua.
”Ada nuansa rasial di balik itu. Intensitas dan polarisasi perdebatan tentang senjata di AS hanya bisa dimengerti jika kita memahami konteks kulit putih dan privilese kulit putih,” kata Dr Jonathan Metzl, seorang psikiatri dan sosiolog dari Vanderbilt University, kepada harian Inggris, The Guardian, 9 Agustus 2019.
”Supremasi kulit putih adalah kunci untuk memahami polarisasi perdebatan tentang senjata di AS,” kata Metzl, penulis buku Dying of Whiteness: How the Politics of Racial Resentment is Killing America’s Heartland.
Nuansa rasial di balik debat soal senjata itu juga diperkuat dalam sajian pada situs CNN tanggal 17 September 2021 lewat artikel berjudul ”How race permeates the politics of gun control”.
Baca juga: Hampir Semua Penembak Massal di AS Memiliki Trauma Masa Kecil
Akan tetapi, tidak boleh dilupakan juga, tidak semua kulit putih bersikap serupa. Tidak sedikit kaum kulit putih yang berjuang untuk kesetaraan. Ada juga kulit putih yang cenderung beraliran liberal dan bersedia menolerir identitas mereka demi kesetaraan. Kelompok ini agak beda dari kulit putih konservatif pendukung Republikan. Akan tetapi, pandangan kaum konservatif ini mendominasi, termasuk soal persenjataan.
Lepas dari itu, kulit putih AS, menurut Metzl, bertujuan melindungi status mereka dalam hierarki sosial lewat penolakan terhadap pengetatan kepemilikan senjata. Kulit putih juga mempertahankan status sosial mereka dengan menolak perluasan layanan kesehatan dan pembiayaan sekolah publik, yang terjangkau kulit berwarna. Inilah inti permasalahan, upaya mempertahankan status dalam hierarki sosial oleh kulit putih.
Metzl menekankan debat soal senjata terkait erat dengan faktor ras. Ia telah mendalami sejarah dan juga mengikuti pertemuan-pertemuan sosial tentang mengapa senjata menjadi simbol status sosial. Banyak aspek tentang senjata terkait dengan kulit putih dan privilese kulit putih.
Bukti historis
Memegang senjata di area publik merupakan kode untuk privilese kulit putih itu. Di era kolonial AS, pemilik lahan membawa senjata dan menanamkan hak itu kepada warga kulit putih miskin di pedesaan untuk menghadapi perlawanan dari keturunan Negro dan Indian.
Baca juga: Mengapa AS Jadi Endemi Kekerasan Senjata Api?
Para akademisi telah menulis tentang bagaimana Ku Klux Klan berjuang untuk melucuti kepemilikan senjata bagi kalangan Afrika Amerika. Ketika Afrika Amerika mulai membawa senjara di publik, ingat kisah pejuang hak sipil kulit hitam Malcolm X, The Second Amendment belum menghinggapi pikiran kulit putih secara meluas.
The Second Amendment merujuk pada undang-undang tentang kepemilikan senjata, yang kemudian didukung kuat oleh kaum kulit putih. Namun, ketika Huey Newton, pendiri Black Panthers, mulai mendorong persenjataan diri bagi kulit hitam, setiap orang mendadak berkata, ”Kita butuh pengendalian kepemilikan senjata.”
Ketika negara bagian, seperti Missouri, mengizinkan warga membawa senjata di publik, muncul serangkaian parade kulit putih tentang siapa yang boleh membawa senjata di pusat kota St Louis, siapa yang boleh pergi ke Walmart dan restoran dengan membawa senjata, dan siapa yang berhak diberi kode sebagai para patriot. Saat bersamaan, muncul kisah warga Afrika Amerika yang membawa senjata, tetapi dilucuti atau ditembak.
Siapa yang boleh membawa senjata di area publik? Siapa yang diberi kode sebagai patriot? Siapa yang diberi cap sebagai ancaman atau teroris atau gangster? Apa artinya membawa senjata dan memiliki senjata atau membeli senjata? Semua pertanyaan ini tidak netral.
”Kita memiliki sejarah 200 tahun lebih yang mendefinisikan setiap terminologi yang sangat rasis. Tidak mungkin memahami debat tentang kontrol senjata Amerika tanpa berbicara tentang kulit putih?” kata Metzl.
Beda interpretasi
Setiap kali ada penembakan senjata, otomatis kejadian itu bercerita dengan sendirinya soal ras. Ketika seorang penembak massal adalah kulit putih, koteksnya adalah narasi individual bahwa ini adalah kulit putih yang terganggu jiwanya. Ketika penembak itu adalah kulit hitam atau kulit coklat, tiba-tiba mencuat isu kultur dan narasi yang muncul adalah tentang terorisme atau gang.
Ketika berbicara pada kulit putih tentang senjata, jawabannya adalah senjata bertujuan untuk melindungi diri mereka dari penyerang. Mereka ini akan gugup jika tidak membawa senjata. ”Sebaliknya, saat saya berbicara dengan sejumlah warga kulit hitam tentang arti kepemilikan senjata, mereka menyimbolkan bahwa membawa senjata berarti akan tertembak oleh polisi,” kata Metzl.
”The Second Amendment, bukan soal senjata, hal itu adalah tentang anti-kulit hitam. Undang-undang itu dirancang dan konsisten membuat Afrika Amerika lemah dan rentan,” kata profesor Carol Anderson dari studi Afrika Amerika di Emory University dan penulis buku berjudul The Second: Race and Guns in a Fatally Unequal America, (CNN, 17 September 2021).
”Ketika AS bicara soal senjata, hal menarik bukan soal senjata itu sendiri. Ini adalah tentang kita yang mengkhianati suara siapa yang lebih penting,” demikian CNN.
Lihatlah kasus pembunuhan Philando Castile (32), pria kulit hitam di Saint Paul, Minnesota, pada Juli 2016. Saat dia sedang digeledah, polisi Castile memberi tahu bawa ia memiliki senjata yang dia miliki secara legal. Jeronimo Yanez, seorang polisi langsung, menembaknya beberapa kali dan Castile wafat tak lama kemudian. Dan NRA membisu saja tentang itu.
NRA, singkatan dari National Rifle Association, sebuah kelompok lobi politik kuat yang turut membiayai kampanye politik anggota Kongres AS dari kubu Republikan. NRA beranggotakan sejumlah perusahaan pembuat senjata. CNN menuliskan, NRA hanya berbicara jika warga Afrika Amerika menuntut agar The Second Amendment berlaku untuk siapa saja.
Baca juga: Siswa-siswa AS Berunjuk Rasa Tuntut Pengetatan Aturan Senjata
Ketika Kongres AS menyetujui pelarangan kepemilikan senjata, tujuannya adalah pelarangan kepemilikan senjata bagi warga dengan kulit berwarna. Profesor sejarah dari University of St Thomas, Yohuru Williams, di film dokumenter CNN berjudul The Price of Freedom mengatakan, ”Sepanjang sejarah kita, ada ketakutan meluas ketika orang Afrika-Amerika dapat memiliki akses terhadap senjata api dan menggunakan senjata api itu untuk merugikan orang kulit putih.”
Ketakutan akan Black Panthers pada dekade 1960-an mendorong politisi konservatif, bahkan NRA, mengesahkan peraturan tentang pengendalian senjata. Pada 1967, saat menjabat sebagai Gubernur California, Ronald Reagan meneken Mulford Act, yang melarang orang membawa senjata di area publik. Akan tetapi, tujuannya adalah melucuti senjata kulit hitam, atau Black Panther, menurut sejarawan Harvard University, Caroline Light.
Tentang UU itu, Reagan kemudian mengatakan bahwa hal itu ”Tidak akan menyulitkan warga negara yang jujur.” Warga negara yang dimaksudkan di sini, dapat kita asumsikan adalah White, lanjut CNN. Atau dengan kata lain, kemunafikan seputar kepemilikan senjata di AS adalah gambaran fundamental yang tak terbantahkan: perjuangan negara untuk menegakkan hierarki rasial.
Fakta lain terkait senjata menunjukkan bahwa mayoritas pelaku penembakan massal sejak 1982 juga dilakukan oleh kulit putih.
Hak privilese kulit putih ini muncul dari waktu ke waktu. ”Ada perasaan memiliki hak yang dianut pria kulit putih yang tidak dimiliki pria kulit hitam,” kata kriminolog James Alan Fox kepada The Washington Post pada 2012. Hal seperti ini tidak hanya berlaku untuk kepemilikan senjata. ”… Mereka merasa bahwa pekerjaan dengan gaji tinggi adalah hak utama.”
Fakta lain terkait senjata menunjukkan bahwa mayoritas pelaku penembakan massal sejak 1982 juga dilakukan oleh kulit putih, menurut Newsweek, 2 Oktober 2017. Meski demikian, privilese soal senjata ini juga membuat kulit putih itu sendiri menjadi korban akibat senjatanya sendiri.
Walau kurang mendapatkan perhatian lebih banyak ketimbang penembakan massal, penembakan dengan tujuan bunuh diri lebih banyak di AS ketimbang penembakan massal. Dalam istilah Metzl, warga kulit putih itu meninggal karena sebab, salah satunya akibat senjata itu sendiri.