Siswa-siswa AS Berunjuk Rasa Tuntut Pengetatan Aturan Senjata
Marah karena sekolah tidak menjadi tempat aman, para siswa di Amerika Serikat memutuskan ”walkout” dan menuntut pengendalian senjata api.
Ribuan siswa di seantero Amerika Serikat melakukan unjuk rasa pada hari yang berbeda-beda. Mereka meminta segenap masyarakat, terutama pemerintah, memberlakukan peraturan yang sangat ketat terkait peredaran dan pemakaian senjata api agar tidak ada lagi peristiwa penembakan massal.
Baca juga : Mengapa AS Jadi Endemi Kekerasan Senjata Api?
Belum selesai penduduk AS berkabung akibat penembakan di Brooklyn, New York, dua pekan lalu, pada hari Selasa (24/5/2022) terjadi penembakan di SD Robb di Uvalde, Texas. Pada hari Minggu (29/5/2022) juga ada penembakan di sebuah festival di Taft, Oklahoma.
Rentetan peristiwa ini membuat para siswa marah sehingga mereka menolak masuk kelas. Sebagai gantinya, mereka berdiri di pekarangan sekolah sambil membawa spanduk-spanduk bertuliskan protes terhadap lemahnya aturan senjata api di negara tersebut.
”Kami menuntut hak kami atas sekolah dan masyarakat yang aman dan bebas dari bahaya senjata api,” demikian kutipan dari situs resmi pergerakan siswa nasional Siswa Menuntut Aksi.
Jaclyn Corin, penyintas peristiwa penembakan tahun 2018 di SMA Marjory Stoneman Douglas si Parkland, Florida, menerangkan kepada CBS tentang trauma yang dialaminya. ”Pandangan kami mengenai sekolah berubah total. Ada ketakutan setiap melihat gedung sekolah dan kekhawatiran setiap kami kumpul-kumpul. Menamatkan SMA susahnya luar biasa,” ucapnya.
Surat kabar Washington Post melakukan analisis terkait kasus-kasus penembakan massal yang khusus menyasar sekolah. Pelaku penembakan umumnya mengincar sekolah karena merupakan tempat yang tidak dikawal ketat, bebas senjata api, dan dianggap memiliki banyak sasaran yang tidak bisa membela diri.
Baca juga : Kepemilikan Senjata dan Politik di AS
Adapun motif melakukan penembakan itu sendiri berbeda-beda. Ada yang membalaskan dendam setelah bertahun-tahun dirundung, kemarahan akibat mengalami penganiayaan di rumah ataupun lingkungan sosial, hingga termakan teori konspirasi ekstrem.
Terungkap, sejak tahun 1999 hingga 2022 ada 331 sekolah mengalami peristiwa penembakan. Sebanyak 331.000 siswa terpapar kekerasan akibat senjata api. Ada 185 siswa, guru, dan staf sekolah yang tewas tertembak. Dari sisi korban luka-luka jumlahnya 369 orang.
Sikap pemerintah mengenai pengendalian senjata api ini masih tarik ulur karena Asosiasi Senapan Nasional (NRA) terus melobi bahwa kekerasan terjadi bukan karena senjata api, melainkan penembak yang sakit jiwa. Narasi ini dikumandangkan, antara lain, oleh Gubernur Texas Greg Abbott. Bahkan, Presiden AS 2017-2021 Donald Trump mencuit agar sebaiknya guru-guru di sekolah dilengkapi dengan pistol agar bisa melakukan tembakan balasan jika diserang.
Lambannya sikap pemerintah ini membuat para kepala sekolah korban penembakan meluncurkan petisi meminta agar pemerintah segera mengetatkan aturan persenjataan. Ada 333 juta senjata api di AS dan jumlah ini hampir setara dengan jumlah penduduk negara itu.
Apabila tidak semua orang memiliki senjata api, artinya ada satu orang yang bisa mempunyai lebih dari tiga pucuk. Di Texas, misalnya, tahun lalu diluncurkan aturan yang mengatakan bahwa warga berusia 21 tahun ke atas diizinkan membeli ataupun memiliki senjata api tanpa perlu mengurus izin.
Baca juga : Teror di Stasiun Bawah Tanah New York dan Kehidupan yang Harus Terus Berjalan
Sementara Kongres sibuk berdebat, beberapa negara bagian yang dipimpin Partai Demokrat, seperti California, New York, dan New Jersey, mengambil inisiatif pengetatan aturan. Gubernur New Jersey Phil Murphy seperti dikutip oleh situs resmi pemerintah negara bagian tersebut mengatakan bahwa di wilayah itu penjualan dan peredaran senjata api kaliber 0.50 dilarang.
”Peningkatan batas usia kepemilikan senjata dari 18 tahun menjadi 21 tahun dan proses seleksi izin yang lebih ketat harus diterapkan. Demikian pula dengan membekali kepolisian data komprehensif serta sistem pemantauan para pemilik senjata api,” kata Murphy kepada media The Hill.
Pada kesempatan berbeda, Frank DeAngelis, mantan Kepala SMA Columbine di Littleton, Colorado, menilai aturan adalah salah satu faktor penting. SMA Columbine mengalami penembakan massal pada 20 April 1999. Sebanyak 13 orang tewas dan 21 orang terluka. Pelaku merupakan salah satu siswa sekolah yang sakit hati karena dirundung. Ia membeli senjata api di sebuah acara pameran.
”Aturan penjualan senjata jangan sampai ada celah, misalnya membeli senjata secara daring atau membeli komponen senjata rakitan,” kata DeAngelis yang aktif mengampanyekan penghentian kekerasan akibat senjata api kepada harian USA Today.
Baca juga : Biden Mulai Pengendalian Senjata
Ia menjelaskan ada berbagai faktor yang mengakibatkan peristiwa penembakan massal dan kekerasan di sekolah. Masalah kejiwaan adalah hal serius yang harus dipahami. Oleh sebab itu, penting melengkapi sekolah ataupun dinas pendidikan dengan guru bimbingan konseling, psikolog, dan pekerja sosial yang bisa membantu siswa.
”Kenapa orang menganggap perlu senjata api untuk membela diri? Ini karena lingkungan sosial yang tidak memberi solusi atas permasalahan yang dialami dan juga mudahnya mendapatkan senjata api di AS,” ujar DeAngelis.
Menurut dia, meminta agar guru mempersenjatai diri justru bertentangan dengan jiwa serta komitmen para pendidik. Seorang guru, meskipun cakap memakai senjata, tidak akan pernah menggunakannya ketika berhadapan dengan siswa yang bermasalah.
”Kita kunci dulu keran yang memberi akses warga ke senjata api, baru kita bisa fokus mengurai permasalahan sosialnya,” kata DeAngelis. (AP)