Teror di Stasiun Bawah Tanah New York dan Kehidupan yang Harus Terus Berjalan
Sejumlah warga komuter di New York kesal terhadap serangan teror di stasiun bawah tanah. Namun, minat mereka menggunakan kereta sebagai penunjang mobilitas tidak berkurang.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
Di peron stasiun kereta bawah tanah yang sibuk, warga New York, Amerika Serikat, menekuni gawai, membaca buku, dan tidak sabar melirik jam saat mereka menunggu kereta. Pada Rabu (13/4/2022) itu, seakan tidak terasa jejak peristiwa penembakan dan ledakan granat asap sehari sebelumnya. Bagaimanapun, kehidupan tetap harus terus berjalan bersama sejarah panjang teror di kota besar itu.
Seorang pria yang diduga sebagai pelaku mulai menembak setelah menyalakan granat asap di tengah kereta yang sedang melaju pada Selasa (12/4/2022) pagi. Terdengar 33 kali tembakan. Insiden itu mengakibatkan 23 penumpang terluka.
Aparat keamanan telah menangkap Frank Robert James (62), orang yang diduga sebagai pelaku pada Rabu dini hari. Ia ditangkap di Manhattan, sekitar 13 kilometer dari tempat teror terjadi tak jauh dari stasiun 36th Street Brooklyn.
Pihak berwenang menemukan keberadaan James dengan bantuan petunjuk dari warga, beberapa di antaranya lewat unggahan penampakan James di media sosial.
Sejumlah warga komuter di New York menyatakan kesal terhadap serangan yang mengejutkan itu. Namun, meski terjadi beberapa serangan dan kekerasan sebelumnya di stasiun-stasiun kereta New York tahun ini, mereka tetap memilih kereta untuk menunjang aktivitas mereka.
Mereka punya tempat kerja, sekolah, atau rumah untuk dituju. Sistem kereta bawah tanah kota New York, salah satu yang terbesar di dunia, tetap menjadi cara paling efisien bagi mereka untuk bepergian.
”Saya sedikit berhati-hati, tapi lihatlah, kehidupan kembali normal,” kata Matthew Mosk, warga New York, di kereta jalur N, lokasi serangan sehari sebelumnya. ”Kota New York kuat. Seolah tidak pernah terjadi (penembakan).”
Sebagian warga berusia lanjut di New York bahkan menilai kereta bawah tanah pada masa kini jauh lebih aman dibandingkan saat mereka muda dulu. Kala itu mereka merasa kejahatan merajalela di gerbong kereta yang penuh grafiti. Para pendatang baru di New York juga merasa lebih tahan terhadap kondisi kereta bawah tanah.
Meski demikian, korban penembakan menuturkan hal berbeda. ”Saya kira saya tidak akan bisa naik kereta lagi,” ujar Hourari Benkada, manajer kebersihan hotel yang tertembak di kaki, kepada CNN.
Sebagian besar warga mendukung gagasan penambahan petugas kepolisian di kereta. Meski demikian, sebagian warga mempertanyakan seberapa besar bedanya.
Wali Kota New York Eric Adams, yang menjabat pada Januari, telah menambah jumlah polisi di Biro Transit menjadi 3.500 orang, naik 250 personel dibandingkan musim panas tahun lalu. Setelah insiden tersebut, Adams akan menggandakan jumlah personel kepolisian untuk sementara di stasiun-stasiun.
Namun, sebagaimana terlihat pada Rabu petang, tidak ada sama sekali keberadaan polisi di dalam Stasiun DeKalb Avenue di kawasan Brooklyn. Lyric Archibald (17), warga Brooklyn yang menggunakan kereta untuk menuju sekolah di Manhattan tempat dia mengajar kegiatan ekstrakurikuler, mengatakan, sebagian besar petugas polisi yang dia lihat berada di lantai atas stasiun. Polisi-polisi itu berjaga di dekat pintu masuk penumpang menuju peron kereta.
”Bagi saya, polisi seharusnya melindungi, tetapi kadang-kadang sepertinya tidak,” katanya beberapa saat sebelum kereta jalur Q yang hendak ditumpanginya datang.
Pejabat di Otoritas Transportasi Metropolitan (MTA) yang mengelola sistem kereta bawah tanah New York mengatakan, kejahatan serius relatif jarang terjadi atas sistem kereta bawah tanah. Kebanyakan penumpang merasa kurang aman ketika stasiun dan kereta kosong. Mereka khawatir terhadap aneka laporan kejahatan, baik di dalam kereta maupun di kompleks stasiun.
Penembakan massal di kereta bawah tanah New York pada Selasa mirip kejadian pada era 1980-an. Namun, sebagaimana terdata oleh Departemen Kepolisian New York, kejahatan lain bentuknya beragam, termasuk saat pandemi Covid-19. Jumlah penumpang kereta bawah tanah di New York saat ini dibandingkan dengan puncak masa pandemi Covid-19 telah mencapai 60 persen.
Dalam dua bulan pertama tahun 2022, kejahatan besar di kereta bawah tanah turun menjadi 383 kejadian, dibandingkan 524 kejadian dalam dua bulan pertama tahun 2020. Perampokan turun menjadi 110 kejadian, dibandingkan 151 kejadian pada periode yang sama pada tahun 2020. Jumlah kejahatan meningkat menjadi 87 kasus dari 76 kasus pada awal 2020.
Sebelum pandemi, terdapat sekitar 5,5 juta perjalanan kereta bawah tanah setiap hari kerja. Namun, jumlah penumpang anjlok pada paruh pertama tahun 2020 ketika Covid-19 melonjak. Banyak warga New York bekerja dari rumah selama pandemi, seperti halnya para komuter pinggiran kota. Semua turis menghilang.
MTA, yang mengandalkan tarif kereta api, bus, dan jalan tol untuk 40 persen dari pendapatannya, telah bekerja dengan pemerintah kota guna mendorong pengguna untuk naik kereta kembali.
Jumlah pengguna kereta terlihat mulai naik jumlahnya. Jika saat hari kerja pada September tahun lalu jumlah pengguna harian kereta bawah tanah sebanyak 3 juta orang, pada pekan lalu naik menjadi 3,3 juta orang.
Di peron stasiun kereta bawah tanah DeKalb Avenue, Josie Chu (19), mahasiswa ekonomi, terlihat memeriksa catatan di laptopnya. Dia pindah dari Los Angeles dua tahun lalu dan hanya naik kereta bawah tanah secara teratur selama era pandemi. ”Kereta bawah tanah tidak aman, terutama bagi warga keturunan Asia,” katanya.
Ia mencatat pembunuhan atas Michelle Go, perempuan keturunan Asia-Amerika, oleh seorang pria yang mendorongnya ke rel di Times Square pada Januari lalu. (REUTERS/AP)