Hampir Semua Penembak Massal di AS Memiliki Trauma Masa Kecil
Penyebab trauma, antara lain, akibat aksi kekerasan dalam rumah tangga, mengalami pelecehan seksual, orangtua bunuh diri, mengalami rundungan ekstrem.
Hampir semua pelaku penembakan massal di AS memiliki latar belakang serupa. Mereka menghadapi perlakuan buruk di masa kanak-kanak. Ini menjadi fondasi, yang kelak bisa membuat mereka berpotensi menjadi pembenci. Sikap kebencian bisa mendorong aksi bunuh diri. Di sisi lain, jika kebencian diterjemahkan ke orang lain, bukan dengan menyiksa diri, hal itu menimbulkan penembakan massal. Kepemilikan senjata menjadi insentif untuk aksi penembakan diri atau massal.
Hal itu terungkap dalam wawancara Politico, sebuah situs berita di AS, dengan dua pakar edisi 27 Mei. Mereka adalah Jillian Peterson seorang profesor kriminologi di Hamline University, dan James Densley, dan profesor peradilan kriminal di Metro State University.
Pada 2019 mereka meneliti profil para pelaku penembakan massal yang terjadi sejak 1966. Penelitian itu terkait rangkaian penembakan massal di AS. Penelitian mengambil pendekatan berbeda, yakni untuk menjawab apa akar masalah dari rangkaian penembakan massal di AS.
Penelitian didanai oleh National Institute of Justice, divisi riset Departemen Kehakiman AS. Mereka menyusun profil para pelaku penembakan massal yang terjadi sejak 1966 di tempat publik. Mereka melakukan hal serupa tentang profil para para penembak massal di sekolah-sekolah, tempat pekerjaan, lokasi ibadah yang terjadi sejak 1999.
Baca juga: Penembakan Massal Merebak di Amerika Serikat
Keduanya juga mendokumentasikan rincian profil 180 penembak dari hasil wawancara dengan pasangan penembak itu sendiri, para orangtua mereka, kawan masa kanak-kanak, rekan kerja dan para guru. Para pelaku penembak itu sendiri umumnya tewas saat kejadian oleh aksi tembak diri atau ditembak aparat. Akan tetapi, ada lima penembak yang sedang berada di penjara dengan hukuman seumur hidup dan berhasil ditemui. Dua peneliti itu juga menemukan beberapa orang yang pernah merencanakan penembakan massal tetapi berubah pikiran atau membatalkan niatnya.
Temuan mereka diterbitkan pada 2021 lewat buku berjudul The Violence Project: How to Stop a Mass Shooting Epidemic. Ringkasan temuan mereka juga dipajang di situs National Institute of Justice pada 3 Februari 2022. Public Mass Shootings: Database Amasses Details of a Half Century of U.S. Mass Shootings with Firearms, Generating Psychosocial Histories | National Institute of Justice (ojp.gov)
Isinya, para pelaku penembakan massal memiliki karakter serupa dan konsisten dari waktu ke waktu. Para pelaku mengidap trauma di masa kanak-kanak. Penyabab trauma, antara lain, akibat aksi kekerasan dalam rumah tangga, mengalami pelecehan seksual, orangtua bunuh diri, mengalami rundungan ekstrem (extreme bullying).
Semua itu bisa membentuk sikap putus harapan, frustrasi, sikap menyendiri, pemuasan diri, dan uniknya di masa dewasa sering mendapatkan penolakan dari kelompoknya. Hal itu bisa menjadi penentu tindakan mereka berikutnya, dan kadang mendorong niat bunuh diri.
Hal yang juga bisa terjadi kemudian adalah jika kebencian akibat trauma masa kecil itu bukan diarahkan pada diri sendiri, tetapi terhadap kelompok. Untuk kasus pelaku penembakan massal, mereka akan bertanya siapa yang jadi penyebab semua trauma ini? Apakah itu akibat rasialisme, perempuan, kelompok keagamaan atau rekan sekelas. Intinya kebencian itu bisa diarahkan ke pihak lain.
Baca juga: AS Tak Bisa Melindungi Sekolah dari Senjata Api
Uniknya, dalam kasus kebencian diterjemahkan ke dalam aksi penembakan massal, hal itu malah berpotensi untuk ditiru. ”Jika ada berita tentang seseorang berusia 18 tahun melakukan penembakan, hal itu bisa mendorong seseorang yang juga traumatis di masa kecilnya untuk melakukan hal serupa. Kita telah melihat hal ini terjadi sebelumnya,” kata Peterson.
Densley menimpali, penembak massal mempelajari penembak massal lainnya, dan merasa memiliki kesamaan nasib. ”Ada orang di luar sana yang bernasib seperti saya,” demikian Densley menjelaskan efek viral itu.
Senjata menjadi pendorong
Lalu bagaimana mengatasi itu? Dua pakar itu menyarankan agar senjata diamankan di tempat yang sulit dijangkau remaja. Sebab, ada kasus senjata yang dipakai adalah milik keluarga sendiri. Solusi lain adalah penciptaan suasana baik di masa kanak-kanak. Bagi mereka yang mengalami trauma masa kecil, dua peneliti menyarankan agar dilakukan pendekatan, bukan dengan menyudutkan semata. Ini adalah cara untuk mencegah tindakan buruk, bukan dengan menuduh mereka sebagai monster atau setan.
Simak juga: Kesedihan dan Kemarahan atas Penembakan di Texas
Keduanya belum melihat langkah ke arah pencegahan potensi penembakan massal berikutnya, termasuk pendekatan terhadap pada pelaku yang berpotensi melakukan penembakan. Relatif mudah untuk mengidentifikasi beberapa potensi pelaku, sebab mereka sering mengumumkan niatnya sebelum melakukan penembakan masal. ”Banyak pelaku yang aktif menunjukkan pertanda sebelum kejadian,” kata Peterson. Bahkan beberapa di antara mengumumkan niat penembakan.
”Sebanyak 56 persen dari semua penembakan massal, pelaku memperlihatkan tanda-tanda berbahaya sebelum melakukan penembakan,” demikian tertulis di situs Everytown Research & Policy. Mass Shootings in America | Everytown Research & Policy | Everytown Research & Policy
Usulan lain dari dua peneliti, yang bisa dilakukan demi mencegah potensi penembakan massal berikutnya adalah dengan pengetatan kepemilikan senjata. Jadi, jika dikatakan bahwa kepemilikan senjata akan mencegah penembakan, malah kepemilikan senjata menjadi insentif untuk penembakan. Atau sebaliknya, pelaku penembakan akan berpotensi tertembak oleh orang lain yang juga memiliki senjata.
Mental di Senat AS
Dua pakar itu tidak menyebutkan bahwa pengetatan kepemilikan senjata sebagai solusi inti. Akan tetapi, keduanya mendukung pengetatan perolehan senjata. Sebagian besar publik AS turut mendukung pengetatan kepemilikan senjata. Ini terlihat dari jajak pendapat yang dilakukan Reuters/Ipsos dan diumumkan pada Rabu, 25 Mei.
Latar belakang kehidupan calon pembeli senjata, misalnya, diusulkan untuk menjadi faktor yang menentukan boleh tidaknya seseorang membeli senjata. Akan tetapi, responden menyebutkan juga bahwa mereka tidak yakin pada kemauan politik oleh sebagian kalangan penentu di AS.
Baca juga: Negeri Koboi Kembali Diguncang Tragedi Penembakan Massal
Kubu Demokrat adalah pihak yang paling gencar mengusulkan pengetatan kepemilikan sejata. Akan tetapi, upaya ini selalu mental di Senat AS karena penolakan kubu Republikan. Kubu Republikan tidak mendengar usulan ini. Dalam istilah Ketua Senat AS Chuck Schumer, kubu Republikan budek terhadap setiap tangisan korban penembakan massal. Ia menambahkan, kubu Republikan lebih perduli pada NRA, singkatan dari National Rifle Association. Schumer accuses GOP of choosing NRA over American people (axios.com)
Faktor NRA ini memang turut menjadi kambing hitam di balik mentalnya setiap upaya pengetatan kepemilikan senjata. Kelompok yang awalnya merupakan kumpulan penembak profesional untuk tujuan sains, berkembang menjadi kelompok lobi politik yang kuat demi melanggengkan kepentingan bisnis senjata.
Mengapa? Kongres AS dari kubu Republikan mendapatkan dukungan banyak dana politik dari NRA, yang mendukung industri senjata di AS. Harian The Washington Post edisi 27 Mei 2022 menyebutkan senjata yang dipakai Salvador Ramos dalam penembakan massal di Uvalde, Texas, adalah jenis AR-15. Senjata ini adalah buatan Daniel Defense sebuah perusahaan senjata yang berbasis di Georgia.
Densley mengatakan, narasi Republikan adalah kita tidak akan menyentuh kepemilikan senjata karena ini semua soal masalah mental. Anggota Dewan NRA, Phillip Journey, dalam wawancara dengan CNN, 30 Mei, menegaskan, kasus ini sama sekali tidak terkait dengan kepemilikan senjata. Hal itu didukung penyataan Gubernur Texas Greg Abbot yang juga seorang Republikan bahwa penembakan di Uvalde terkait masalah mental. Abbott calls Texas school shooting a mental health issue but cut state spending for it (nbcnews.com)
Akan tetapi, jika demikian, kata Densley, ”Marilah kita bersama-sama mengatasi masalah kesehatan ini, yang belum kunjung terlihat. Menurut Densley, dua paket ini harus seiring sejalan, pembenahan masalah mental dan pengontrolan kepemilikan senjata.”
Baca juga: Kepemilikan Senjata dan Politik di AS
Pihak Republikan sebaliknya lebih menekankan usulan pengamanan sekolah-sekolah. Hal seperti itu juga kembali disuarakan oleh Senator AS Ted Cruz (Republikan, Texas). Akan tetapi, dalam kasus penembakan di Minnesotta terlihat bahwa faktor pengamanan itu tidak jalan. Khusus untuk pelaku penembakan umum yang terjadi di sekolah-sekolah, 90 persen pelaku justru melakukan aksi penembakan di almamaternya, sekolahnya sendiri. ”Mereka ini orang dalam sekolah, bukan luar sekolah,” kata Peterson.
Demikianlah debat soal senjata di AS ini terkait dengan isu penembakan massal tidak memiliki ujungnya.