Negeri Koboi Kembali Diguncang Tragedi Penembakan Massal
Penembakan massal lagi-lagi mengguncang Amerika Serikat. Kali ini, 19 anak sekolah dasar tewas. Insiden ini terjadi sepuluh hari setelah kasus serupa di New York sekaligus menjadi kasus paling fatal sejak 2012.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·4 menit baca
Amerika Serikat kembali diguncang tragedi penembakan massal yang menewaskan sejumlah warga. Kali ini, negeri koboi itu dikejutkan dengan kasus penembakan massal yang menewaskan 19 pelajar sekolah dasar dan seorang guru di Sekolah Dasar Robb di kota Uvalde, Negara Bagian Texas, Amerika Serikat, Selasa (24/5/2022) siang waktu setempat.
Laporan sejumlah sumber menyebutkan, seorang tersangka masuk ke Sekolah Dasar Robb di kota Uvalde saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Salvador Ramos (18), pria yang diidentifikasi sebagai pelaku, kemudian masuk dari kelas ke kelas dan menembaki murid.
Insiden ini terjadi sepuluh hari setelah kasus penembakan massal di sebuah supermarket di New York yang menewaskan 10 orang.
Sejauh ini, 19 pelajar dilaporkan tewas dalam insiden itu. Para pelajar yang menjadi korban penembakan duduk di kelas II, III, dan IV. Artinya, usianya berkisar 7-9 tahun. Seorang guru juga dilaporkan tewas, yakni Eva Mireles yang berusia awal 40 tahunan. Sementara pelaku dikabarkan juga tewas setelah ditembak polisi.
Insiden ini terjadi sepuluh hari setelah kasus penembakan massal di sebuah supermarket di New York yang menewaskan 10 orang. Sentimen rasisme terhadap penduduk kulit hitam menjadi latar belakangnya. Insiden mutakhir di Texas ini sekaligus merupakan kasus paling fatal sejak penembakan massal di Sekolah Dasar Sandy Hook di Newtown, Connecticut, 2012. Sebanyak 26 orang tewas, termasuk 20 pelajar sekolah dasar, dalam peristiwa satu dekade silam itu.
Sersan Erick Estrada dari Departemen Keamanan Masyarakat Texas kepada CNN mengatakan, tersangka melakukan aksinya seorang diri. Mengenakan pelindung tubuh, tersangka menabrakkan mobilnya di luar sekolah, lalu masuk ke dalam sekolah.
Senator Texas, Roland Gutierrez, yang mendapatkan informasi dari polisi menyatakan, tersangka membunuh neneknya sebelum meluncur menuju Sekolah Dasar Robb. Tersangka menenteng dua senapan model militer yang ia beli pada hari ulang tahunnya. ”Itu hal pertama yang ia lakukan pada hari ulang tahunnya yang ke-18,” katanya.
Tersangka, lanjut Gutierrez, mengisyaratkan pada akun media sosialnya bahwa akan ada serangan. Tersangka bahkan memperingatkan kepada anak-anak agar berhati-hati.
Otoritas terkait belum mengumumkan motif penembakan massal itu. Sejauh ini, informasi yang diumumkan baru sebatas identitas pelaku, yakni bahwa pelaku adalah warga kota setempat dan siswa sekolah menengah atas di daerah itu.
Menurut polisi setempat yang enggan disebutkan identitasnya, seorang petugas patroli perbatasan yang sedang di dekat Sekolah Dasar Robb mendengar suara letusan senapan. Ia lantas bergegas menuju lokasi tanpa menunggu bantuan petugas lain dan berhasil melumpuhkan tersangka.
Insiden penembakan massal tersebut terjadi dua hari menjelang libur musim panas. Merujuk akun Facebook Sekolah Dasar Robb, para pelajar belum lama ini mengunjungi kebun binatang dan menggelar acara pertunjukan bakat.
Berdasarkan kalender sekolah, hari saat kejadian berlangsung adalah hari untuk memberikan penghargaan. Oleh karena itu, pihak sekolah meminta para pelajar masuk sekolah mengenakan pakaian dan sepatu yang bagus.
Namun, pada pukul 11.43, Sekolah Dasar Robb memasang status pada akun Facebook mereka. Demikian isinya. ”Mohon diketahui, saat ini Sekolah Dasar Robb dalam status dikunci karena adanya penembakan di lokasi. Anak-anak dan staf sekolah dalam kondisi aman di dalam gedung.” Tak lama kemudian, pesan lanjutan muncul. Bunyinya, ”Ada penembak di Sekolah Dasar Robb. Penegakan hukum sedang berjalan di lokasi.”
Sekolah Dasar Robb berlokasi di dekat pusat kota Uvalde. Sekitar 570 pelajar tercatat bersekolah di sana, mayoritas berumur 7-10 tahun. Lebih kurang 90 persen pelajar adalah keturunan Hispanik dan hampir semua sisanya berkulit putih.
Merujuk data sensus, lebih dari 40 persen penduduk di lingkungan sekitar sekolah telah tinggal di rumah yang sama setidaknya selama 30 tahun terakhir. Adapun total jumlah penduduk kota kecil itu sekitar 15.000 jiwa. Lebih dari seperempat total penduduk adalah anak-anak. Ini jauh di atas rata-rata nasional. Lebih dari sepertiga penduduk hidup pada atau hampir di atas garis kemiskinan nasional.
Beberapa jam setelah insiden, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyerukan untuk adanya tindakan guna mengatasi kekerasan senjata. Ia menyalahkan produsen senjata api dan para pendukungnya yang memblokir rancangan undang-undang pembatasan kepemilihan senjata di AS yang pernah digulirkan pada era Presiden Barack Obama.
”Kapan, atas nama Tuhan, kita akan melawan lobi senjata. Mengapa kita rela hidup dengan pembantaian ini? Mengapa kita terus membiarkan ini terjadi,” kata Biden dengan emosi. Biden juga berempati dengan orangtua yang anak-anaknya menjadi korban dalam insiden di Texas. Dua anak Biden meninggal, tetapi bukan korban kekerasan bersenjata.
”Kehilangan seorang anak seperti memiliki sepotong jiwa yang telah direnggut dari Anda. Ada kehampaan di dadamu. Anda merasa seperti tersedot ke dalamnya dan tidak akan pernah bisa keluar,” kata Biden.
Kapan, atas nama Tuhan, kita akan melawan lobi senjata? Mengapa kita rela hidup dengan pembantaian ini? Mengapa kita terus membiarkan ini terjadi?
Penembakan massal semacam itu, Biden menambahkan, jarang terjadi di negara lain. ”Mereka (negara-negara lain) memiliki masalah kesehatan mental. Mereka memiliki perselisihan domestik. Mereka memiliki orang-orang yang tersesat. Tapi, penembakan massal semacam ini tidak pernah terjadi dengan frekuensi seperti yang terjadi di Amerika. Mengapa? Mengapa kita rela hidup dengan pembantaian ini,” katanya.
Biden sebelumnya telah menyerukan larangan senjata serta pengetatan persyaratan federal untuk pemeriksaan latar belakang pengguna senjata. Ia juga menyerukan penerapan undang-undang ”bendera merah” di negara-negara bagian. Ini semua bertujuan untuk menjauhkan senjata dari tangan mereka yang memiliki masalah kesehatan mental. (AP/REUTERS)