Generasi muda Papua kini jauh lebih baik terutama dalam hal pendidikan, tetapi masih perlu lebih percaya diri.
Oleh
WISNU DEWABRATA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks pembangunan manusia terutama terkait generasi muda di Papua diyakini mengalami kenaikan signifikan, setidaknya dalam satu dekade terakhir. Hal itu terjadi seiring dengan semakin meningkatnya akses terhadap dunia pendidikan, pekerjaan, serta kesempatan untuk berkarya.
Hal itu mengemuka dalam seminar daring Kompas Talks bertema ”Muda Berani Beda, dari Papua untuk Indonesia” yang digelar harian Kompas bekerja sama dengan PT Freeport Indonesia (FI), Kamis (29/9/2022). Pembicara yang hadir adalah Staf Khusus Presiden RI Bidang Inovasi, Pendidikan, dan Daerah Terluar Billy Mambrasar; Presiden Direktur PT FI Tony Wenas; Rektor Universitas Cenderawasih Apolo Safanpo; Wakil Ketua Umum Youth of Indonesia Aditya Percaya; pegiat pemuda Papua, Jeni Karay; dan Direktur Papua Football Academy Wolfgang Pikal.
Menurut Billy Mambrasar, kondisi itu juga tampak dari hasil survei yang pernah dia lakukan bersama timnya. Dari hasil survei diketahui, kini terdapat sekitar 96.000 pemuda Papua yang telah terdidik dan terlatih.
”Dari situ pekerjaan rumah terbesarnya kini tinggal bagaimana melibatkan mereka (96.000 pemuda) ke dalam berbagai proses percepatan pembangunan Papua lewat strategi yang tepat,” ujar Billy.
Billy menambahkan, akselerasi percepatan pembangunan di Papua bisa dilibatkan terutama dengan memberikan kesempatan kepada para pemuda Papua. Kesempatan tertutama dalam konteks berkolaborasi dan bekerja sama dalam menuntaskan berbagai persoalan yang ada di wilayah mereka masing-masing.
Hal itu bisa dilakukan tak hanya dibebankan kepada kalangan swasta, melainkan juga bisa dilakukan pemerintah daerah setempat. Pemerintah daerah bisa membuka dirinya melibatkan para pemuda setempat, semisal dalam hal pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selain itu, juga terkait persoalan setempat lain, semisal bagaimana mengelola dan menangani masalah sampah.
”Anak-anak muda Papua sekarang berbeda dengan yang dulu. Mereka sudah bersekolah, punya ilmu yang baik, dan berwawasan luas. Libatkan dan ajak mereka untuk bermitra dan berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah di tempat mereka sendiri, semisal terkait persoalan sampah tadi,” ujar Billy.
Dalam kesempatan sama, Tony Wenas menekankan, pihaknya selama ini memiliki keyakinan besar terhadap kemampuan generasi muda Papua. Hal itu didasari pengalaman mereka sejak lebih dari setengah abad terakhir beroperasi di sana.Ada banyak putra Papua asli, tambah Tony, yang kini menduduki sejumlah jabatan penting di perusahaannya. Padahal, mereka pada tiga dekade lalu berasal dari kalangan generasi muda yang berlatar belakang kondisi pendidikan dan akses terhadap teknologi belum sebaik sekarang. Meskipun demikian, mereka dinilai berhasil mencapai jenjang karier pekerjaan yang baik di PT FI.
”Saya punya seorang direktur, 9 wakil presiden, dan 50-an manajer asli putra Papua. Sampai sekarang pun proses regenerasinya berjalan dengan baik,” ujar Tony.
Lebih lanjut, untuk membantu meningkatkan kualitas generasi muda Papua, pihak PT FI, tambah Tony, telah membangun sekolah asrama khusus, Sekolah Taruna Papua. Sekolah berkurikulum di atas standar nasional ini tak hanya mendidik dan mengajarkan kedisiplinan, tetapi juga memperhatikan hal-hal pendukung lain, seperti kesehatan dan jaminan asupan gizi yang baik.
Selain itu, PT FI baru-baru ini juga membangun sekolah sepak bola, Papua Football Academy. Lebih lanjut, masih di bidang pendidikan, PT FI juga telah memberikan lebih dari 12.000 beasiswa dan juga membangun Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN). Lembaga pendidikan vokasi non-formal itu memiliki fasilitas pelatihan kelas dunia.
”Program ini (IPN) terbilang berhasil mendidik tenaga kerja ahli asli Papua yang terampil dan siap pakai. Lulusannya sudah mencapai 4.000 orang dengan 3.000 orang dari mereka bekerja di Freeport. Mereka yang sudah bekerja dan (dinilai) high potential didorong meningkatkan kemampuan tak hanya hard, tapi juga soft skill-nya. Para pemuda Papua itu dicarikan program-program yang tepat oleh bagian khusus, Papuan Affairs Department,” tambah Tony.
Halangan mental
Dalam webinar juga terungkap adanya kendala halangan mental (mental block) yang dinilai masih kerap dialami kalangan muda Papua. Hal itu terjadi terutama saat mereka bertemu dalam satu kegiatan dengan sesama kalangan anak muda dari daerah lain seperti salah satunya digelar Komunitas Youth of Indonesia (YOI).
Menurut Wakil Ketua Umum Komunitas YOI, Aditya Percaya, dalam sejumlah kegiatan edukasi yang mereka gelar keikutsertaan peserta asal Papua terbilang besar. Pada salah satu acara tahun 2019 ada sebanyak 47 persen peserta berasal dari Papua.
”Saat dievaluasi saya memperhatikan rekan-rekan peserta dari Papua tampak masih (menunjukkan) adanya mental block dan semacam inferiority complex atau perasaan inferior,” tambah Aditya.
Padahal, tambah Aditya, ada banyak gagasan bagus disampaikan dari para peserta asal Papua, tetapi mereka kerap terkendala soal kurangnya kepercayaan diri. Kondisi seperti itu, menurutnya, bisa diperbaiki dengan memperbanyak keterlibatan mereka dalam berbagai organisasi anak muda terutama di Papua sendiri.
”Saya sering bilang ke teman-teman, termasuk yang dari Papua, kita semua sama sebetulnya. Kita tinggal di negeri yang sama. Sama-sama punya KTP. Enggak perlu ada perasaan inferior lagi seperti itu. Memang, sih, kalau melihat sejarah dan data selama ini di kita masih terbilang Jawa sentris, ya,” ujar Aditya.
Menyikapi itu, Pegiat Pemuda Papua, Jeni Karay, menilai kondisi mental block tadi bisa diatasi salah satunya dengan menghadirkan figur-figur dan kelompok-kelompok kecil yang bisa memotivasi. Kepada anak muda Papua yang ditemuinya, Jeni menasihati mereka untuk berani memulai dari hal-hal kecil dan konsisten menjalani itu hingga menjadi besar.
Jeni juga mengajak kalangan muda di sana agar melihat tantangan bukan sebagai hambatan atau bahkan penutup jalan melainkan justru pintu masuk. Sikap merendahkan dari orang lain baginya juga hanya bisa dijawab dan dilawan dengan menunjukkan pencapaian lewat berbagai prestasi.
Lebih lanjut Rektor Universitas Cenderawasih Apolo Safanpo membenarkan, masih ada banyak tantangan dalam pembangunan di Papua, terutama terkait isu perluasan akses pendidikan. Hal itu terjadi terutama salah satunya lantaran keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan yang jumlahnya tak dapat mengimbangi angka pertumbuhan penduduk.
”Pendidikan sangatlah penting bagi eksistensi suatu kaum dan bangsa. Kami di Universitas Cendrawasih coba menggunakan seluruh potensi yang kami miliki untuk menyediakan akses pendidikan bagi masyarakat di berbagai daerah terutama pedalaman. Misalnya, membuka kelas paralel atau program studi di luar kampus utama,” ujar Apolo.
Kerja sama dengan banyak pihak juga dilakukan untuk mengatasi berbagai kendala yang dihadapi, semisal keterbatasan jumlah dosen, sarana prasarana, anggaran, dan bahkan perizinan. Langkah menggalang kemitraan dan kolaborasi diharapkan bisa membantu mengatasi persoalan yang ada selama ini.